Kebaikan dari Tuhan yang Maha Kuasa
Tulisan ini diawali dengan terjemahan dari Al-Quran Surat Faathir ayat 2 yang tertulis:
'Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahanNya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.'
Tanpa merujuk kepada kitab tafsirpun makna dari ayat ke 2 ini sudah jelas. Ayat ini menunjukkan hak mutlak dari Allah SWT dalam memberikan karunianya kepada yang dia kehendaki dan menahannya untuk tidak diberikan sekehendakNya juga.
Iqbal terkena Leukaemia
Tahun 1985 s.d. 1999 penulis bekerja di salah satu Instansi Pemerintah yang mengurusi Logistik bahan pangan di Pusdiklat Instansi tersebut bidang pendidikan Bahasa Inggris. Penulis bertanggungjawab mengkoordinasi dan menjalankan pelatihan bahasa Inggris bagi pegawai secara reguler dan pelatihan persiapan bagi pegawai yang akan ditugaskan belajar di luar negeri, di mana Bahasa Inggris adalah bahasa pengantar. Setelah menjalankan tugas dan juga mendapatkan tugas belajar di Inggris untuk mengambil S2 bidang pendidikan bahasa Inggris, penulis bekerja selama 12 tahun di Instansi tersebut.
Pada tahun ke 12 penulis bekerja, atau tahun 1998, anak penulis yang pertama, bernama Iqbal, terdiagnosa Leukaemia. Ketika mendapatkan berita tersebut dari dokter yang menanganinya, dunia terasa runtuh. Namun dengan keyakinan bahwa anak bukanlah milik kita melainkan yang dititipkan oleh Tuhan kepada kita, maka apapun harus diterima dan dijalani. Waktu itu setahun sejak kejadian kerusuhan 1998 yang menggetarkan, sehingga diperkirakan bahwa situasi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Kurs dollar AS waktu itu melonjak menjadi sekitar Rp. 7.000 per 1 USD, yang sebelumnya berada di angka Rp.4.000.
Setelah menyadari bahwa penyakit yang diderita Iqbal belum ada obatnya dan jenis yang dideritanya adalah Chronic Myelocytic Leukaemia (CML), artinya sifatnya tidak akut dan sudah berjalan beberapa lama. Yang menjadi masalah adalah perintah yang salah dari DNA dalam memproduksi terlalu banyak sel darah putih, padahal tidak diperlukan oleh tubuh. Diperkirakan oleh dokter spesialis kanker Iqbal akan berobat secara mingguan selama 2-3 tahun dan pada tahun ketiga kemungkinan akan tidak bisa lagi menerima obat apapun.
Karena perkiraan biaya yang diperlukan untuk pengobatan akan lumayan nilainya dan gaji dari kantor akan menjadi terlalu pas pasan, penulis mengundurkan diri dari Instansi tersebut dan melamar di perusahaan swasta multi-nasional yang membayar gaji dengan standar yang lebih tinggi; sesuai dengan kompetensi penulis di bidang konsultansi dan pelatihan (training) SDM. Sambil bekerja, penulis meminta ijin ke kantor untuk membawa Iqbal berobat ke RSCM, setiap hari Jum’at, untuk dicek kondisi sel darah putihnya dan indikator lainnya.
Bekerja di perusahaan swasta bertahan selama 6 bulan karena serasa tidak memiliki libur mingguan. Tuntutan kerja yang sangat tinggi membuat penulis sudah mulai gelisah ketika hari minggu sudah melewati tengah hari. Hal itu karena pikiran sudah merambah ke pekerjaan kembali. Bukannya penulis tidak ingin bekerja keras, namun ketika kita merasa libur akhir pekan hanya terasa 1 hari saja (Sabtu), itupun tidak penuh, maka pekerjaan yang dijalankan terasa memberi tekanan yang lumayan. Meskipun gaji dari pekerjaan lumayan besar dibanding dengan kebutuhan dan sebagian bisa ditabung, ternyata ketika kita tidak memiliki waktu untuk diri kita sendiri, uang yang kita miliki terasa kurang bermakna. Penulis merasa lebih baik jika berhenti dari perusahaan swasta tersebut dan mendirikan usaha sendiri.
Mungkin terasa aneh, dapat pekerjaan dengan gaji lumayan besar, lalu anaknya sedang sakit Leukaemia, malah memilih untuk berhenti dan memulai bisnis sendiri. Dari pengalaman sebagai pegawai di instansi pemerintah dan juga selama 6 bulan di perusahaan swasta multi nasional, penulis mengambil resiko dengan memulai bisnis sendiri. Ini merupakan keputusan yang besar karena memiliki keberanian untuk membiayai diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain.
Penulis lalu menyiapkan segala perangkat yang diperlukan untuk mendirikan suatu perusahaan. Secara paralel penulis melengkapi persyaratan, dan mulai mencari klien. Perusahaan dijalankan dari rumah dan menggunakan kamar yang berukuran kecil dibantu istri yang berperan sebagai sekretaris penulis. Sekretaris bertugas mengontak calon klien untuk membuat janji pertemuan. Sambil tetap mengantar anak untuk cek kondisi sel darah putihnya ke RSCM setiap Jumat, penulis terus melakukan upaya mencari klien bidang consulting dan training dan mulai mendapatkan pekerjaan. Tidak banyak raihannya dan dengan nilai kontrak pekerjaan yang cukup untuk menghidupi keluarga. Namun jika misalnya Iqbal harus dirawat pada suatu saat, tentu diperlukan lebih banyak biaya. Ini sering menjadi pemikiran, namun penulis pasrah saja karena di dalam masalah apapun yang terjadi tentu selalu ada jalan keluar.
Ternyata benar, pada tahun 2000, kira-kira 2,5 tahun setelah didiagnosa Leukaemia, Iqbal tidak bisa lagi berobat jalan karena seluruh indikator sakitnya menyala kuning. Dia harus dirawat di rumah sakit. Penulis memilih satu ruangan di Paviliun Tumbuh Kembang di RSCM dan tidak bersama pasien lain karena Iqbal harus mendapatkan pengobatan kemoterapi yang sangat tidak menyamankan. Dokter spesialis onkologi waktu itu berikhtiar melakukan tindakan kemoterapi, dengan harapan sesudah program dijalankan, sakitnya Iqbal akan dapat diatasi, meskipun secara statistik tipis harapannya. Namun, ikhtiar tetap harus dilakukan karena kita tidak pernah tahu seperti apa takdir kita.
Selama rencana pengobatan selama 3 bulan kemoterapi dokter spesialis yang menangani ternyata tidak bersedia dibayar untuk keahliannya. Dia meng-nolkan setiap slip pembayaran untuk jasa dokter dalam pengobatan ini. Sungguh suatu kebaikan yang luar biasa. Ketika penulis menanyakan mengapa tidak bersedia dibayar, dokter itu mengatakan: ‘dokter yang merujuk Iqbal ke saya itu kan murid Bapak waktu dia mengikuti program kursus dimana Bapak pengajarnya. Jadi kalau dokter spesialis yang junior saya itu murid Bapak, ya saya juga sama.” Penulis tak bisa berkata-kata, terharu.
Waktu itu perusahaan penulis sedang mendapatkan pekerjaan pelatihan di Puncak untuk beberapa batch. Karena Iqbal sedang dirawat dan penulis harus menginap di Rumah Sakit. Penulis menyiapkan bahan pelatihan dan berangkat dari Rumah Sakit, sementara staf perusahaan menyiapkan bahan bahan lain sebelumnya di kantor yang disewa di daerah Jakarta Barat. Meskipun ada asuransi untuk pengobatan Iqbal, nilai pertanggungannya kira-kira bisa meliput separuh dari seluruh biaya. Penulis mulai menggunakan tabungan untuk biaya pengobatan karena asuransi klaimnya dilakukan sesudah beberapa hari berjalan.
Ketika mulai ada kecemasan soal biaya yang diperlukan, penulis sudah mengantisipasi dengan siap-siap menjual kendaraan jika diperlukan. Pada suatu hari, sekitar 1,5 bulan sejak Iqbal dirawat, penulis waktu itu kembali dulu ke rumah untuk sekalian jenguk rumah yang ditinggal selama ini. Sewaktu berada di rumah, hati tiba-tiba tergerak untuk naik ke atas, ke lantai 2 tempat menyimpan barang-barang jika ada banjir. (Di kompleks penulis, kalau hujan besar dan lama, memang sering terjadi banjir).
Sesampai di atas mata langsung tertuju ke tas kerja sejenis Echolac yang ada di situ. Seperti ada yang memberi komando, penulis meraih dan membukanya dan di dalamnya tidak ada apa apa selain ada satu kartu nama yang sudah ada di situ lama, tapi namanya penulis kenal karena pernah menjadi peserta kursus di mana penulis adalah pengajarnya. Penulis mengamati kartu nama itu dan di paling bawah ada nomor handphonenya. Diliputi penasaran, penulis mencoba menelepon nomor yang ada di kartu nama tersebut. Ternyata tersambung dan telepon langsung di angkat oleh mantan murid itu. Beliau mengundang penulis untuk datang ke kantornya dengan sangat ramah. Ternyata mantan murid penulis itu sudah menjadi orang sangat penting di instansinya.
Peristiwa penemuan kartu nama tersebut adalah bagian dari perjalanan hidup penulis yang luar biasa penting. Sesudah ditemui di kantornya dan tentu penulis berangkat juga dari Rumah Sakit, beliau sangat hangat menyambut dan menginformasikan bahwa kantornya sedang memerlukan bantuan untuk pekerjaan pelatihan dan konsultansi. Hal itu tentu menjadi tantangan untuk dapat memenuhi kebutuhan instansinya. Dengan kesungguhan dan kerja keras, pekerjaan demi pekerjaan menghampiri dan itu di luar perkiraan penulis. Penulis menjadi ingat, ada salah satu surat dalam AlQuran yaitu surat At-Thalaq ayat 2-3.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 2-3).
Rupanya Allah Yang Maha Kuasa membukakan mata dan hati penulis dan membuat penulis menyadari apa yang ada di AlQuran di atas sangat benar adanya. Dia memberikan rejeki atau kebaikan dari arah yang tidak pernah kita duga.
Peristiwa yang lain yang merupakan cerita sesungguhnya yang lain dan menunjukkan validitas dari Surat di atas akan disampaikan pada tulisan selanjutnya. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H