Mohon tunggu...
Farida Arroyani
Farida Arroyani Mohon Tunggu... Guru - ikhlas beramal

iqra' iqra' iqra

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Merdeka dari Prasangka

25 Agustus 2021   22:19 Diperbarui: 25 Agustus 2021   22:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Layang kagem Mbak Yu

Dear Mbak Yu, 

Agustus, selain bulan kemerdekaan juga bulan saya dilahirkan. Kersane Pengeran, setiap Agustus saya merasa dibebaskan dari belenggu baru. Gusti memang Maha kreatif, Mbak. Agustus tahun lalu saya merdeka untuk tersenyum, memejamkan mata dan hal-hal receh yang melibatkan gerak syaraf wajah; sembuh dari Bell's Palsy. 

Awal Juli saya terbangun dengan separuh wajah  kiri lumpuh, tidak bisa berkedip, tersenyum, meniup, mengunyah, bahkan minum dengan sedotan pun tumpah. Saat itu sering saya bertanya, 'Napa kudu kula, Gusti?' Diantara semua orang yang saya kenal dari saya lahir ceprot sampai gerang pongkrang ini, kenapa saya. Katanya Bell's Palsy disebabkan angin saat naik sepeda motor, AC atau kipas angin, padahal diantara ribuan orang yang saya kenal menggunakan ketiganya, tidak ada yang sakit Bell's Palsy. Kenapa?  Hanya Tuhan dan saya yang tahu rasanya berada di puncak putus asa. Seperti tidak diizinkan bahagia. Berat dan sakit sekali, Mbak. Saya takut tidak bisa sembuh seperti sedia kala. 

Singkat cerita, saya harus ke dokter syaraf dan menjalani terapi fisik seminggu dua kali. Alhamdulillah setelah mengikuti saran untuk rutin 2-3 kali sehari melakukan senam muka, pijat wajah, kompres dengan air hangat, dan latihan meniup dengan sedotan, di minggu ke empat sudah mulai normal. Pertengahan bulan Agustus, saat tidur, mata bisa terpejam sempurna tanpa bantuan eyepatch, Mbak Yu. Saya tidak bisa memilih kosa kata yang tepat untuk mengungkapkan betapa bersyukurnya saya karena bisa menutup mata. Duh Gusti, nyuwun pangapunten ingkang kathah karena sudah berburuk sangka. Ternyata begitu saja cara Allah mengingatkan hambanya untuk bersyukur. Puluhan tahun saya hidup, puluhan tahun pula saya menyepelekan nikmat. Belum pernah saya bersyukur karena bisa tersenyum, mengangkat kedua alis, atau berkumur.  Saya menerima nikmat seolah-olah memang begitu seharusnya.  Padahal tidak, nikmat yang saya terima tidak lebih dari wujud kasih sayang Sang Pencipta untuk makhluknya, saya saja yang ke-PDan. Lucu. Ironis. Kalau dipikir-pikir, memang Tuhan Maha Humoris.

Dan tahun ini, Mbak, Agustus ini saya kembali diingatkan untuk mensyukuri nikmat bisa membau. Sangat sepele, bukan? Mencium bau. Jadi ceritanya, Bulan lalu saya positif covid, Mbak. Serumah positif semua, di waktu hampir bersamaan. Meski kami sudah berusaha untuk menjaga kesehatan, vitamin, olah raga, makan, istirahat, cuci tangan, pakai masker, jaga jarak, dan dede, tapi rupanya Allah berkehendak lain. Kembali saya merasakan beratnya penyakit, seperti maut sudah mlipir mampir. Tidak ada daya sama sekali untuk menjaga diri.  
Tapi, Mbak Yu, benar kata orang, selalu ada anugrah di balik musibah. Dengan sakit ini, saya merasa beruntung tingga di lingkungan yang baik, saling menjaga. Memang tetangga kami seperti kebanyakan tetangga lain, mereka punya tugas menilai kehidupan orang. Dasarnya saya yang perasa atau mereka berlebihan, saya jadi merasa seperti di-scan keseharian saya. Dulu kalau saya tes dan dinilai guru, saya senang. Tetapi setelah bertetangga dan hidup saya dinilai dengan standar mereka, saya tidak nyaman, rasanya tidak ada kebebasan berekspresi. Bahkan untuk berbuat baik saja takut, takut disangka sok baik, sok benar, sok iyes. Saya melihat mereka seperti iblis tak bertanduk. Ramah di depan, julid di belakang.

Sekali lagi, Mbak, Tuhan bekerja dengan cara yang tidak kita sangka. Covid membebaskan saya, dari prasangka, Mbak. Prasangka seperti diawasi siang malam, dikuliti kejelekan kita oleh tetangga. Prasangka membuat saya menutup mata pada kebaikan mereka. Ternyata di kondisi saya yang drop, tetangga lah yang menjaga, memastikan kami sekeluarga mendapat pasokan makanan yang cukup selama karantina, memastikan mental kami terjaga dengan dukungan yang terus mengalir lewat pesan whatsapp. Bahkan sampai keperluan obat herbal seperti sirup Jahe, Kapsul JSH, masker, handsanitizer. Ada juga yang kirim Madu Baduy cap Rahsa Nusantara (belum sempat foto karena sudah habis). Rasanya istimewa, beda dengan madu yang pernah saya coba, bukan iklan, tapi beneran. Intinya, perhatian terus mengalir dari mereka, malaikat tak bersayap. Program Jogo Tonggo sangat membantu keluarga kami melewati covid dengan penuh harap. 

Saya jadi malu pernah menganggap mereka tidak tulus. Bisa saja justru selama ini saya takut berbuat baik karena saya berharap mereka membalas kebaikan saya. Padahal kalau mau berbuat baik, ya berbuat baik saja, tidak perlu membatasi dengan kata 'asal', saya mau berbuat baik asal kamu membaiki saya, kan tidak pas, itu, Mbak. Artinya saya belum merdeka, bahkan untuk berbuat baik saja tidak punya kebebasan. Padahal sejatinya berbuat baik untuk diri kita, untuk kebersyukuran kita. 

Jadi begini, Mbak Yu-k sayang, Agustus selain bulan kemerdekaan negara kita, buat saya Agustus juga penanda kemerdekaan saya untuk merayakan hidup dalam kebersyukuran pada Yang Maha Pencipta. Maha Baik. Maha kreatif. Maha Segalanya.

Terima kasih Mbak Yu, sudah memberi saya kesempatan bercerita. 

Bunga telang, pengobat asma

Mbak Yu sayang, sehat terus, ya

Anak dara jual miana

Rahsa Nusantara semakin mendunia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun