Sistem zonasi dalam PPDB kembali menuai pro kontra. Rupanya tahun ini gelombang kontra nya demikian besar hingga membuat Pak menteri menerbitkan peraturan baru, bahwa jalur prestasi menjadi 15%.
Sebagai pelaku pendidikan, penulis merasakan betul panas dingin persekolahan dengan sistem zonasi. SUdah tiga tahun sistem ini dijalankan, mulai dari tahun ajaran 2016/2017, 2017/2018, dan PPDB tahun ini, tahun 2018/2019. Penulis ingin sedikit berbagi rasa.
Sistem Zonasi tahun pertama, 2017 tidak begitu dirasa karena masing-masing daerah memiliki aturan awal sebab masih harus ada sosialisasi. Menginjak di tahun kedua, kesadaran akan zonasi mulai dirasa orang tua dan murid agak mengkhawatirkan cenderung merugikan. Betapa riuh media sosial yang mengeluhkan PPDB tahun lalu mengenai SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu).Â
Dan tahun ini, eskalasi penolakan publik terhadap sistem zonasi makin meningkat. Bahkan viral surat terbuka untuk presiden dari dosen UGM mengenai sistem zonasi.
Membaca berbagai keluhan masyarakat dan bantahan kementerian tentang sistem zonasi, jiwa guru jelata saya meronta. Orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, atau anak sendiri, menyayangkan betapa mereka atau anak mereka gagal masuk sekolah favorit. Ya, wajar, soalnya mereka masih di level self-centered.Â
Beda dengan orang yang melihat masalah di level system-centred, atau sebagai praktisi pendidikan yang langsung bersentuhan dengan aturan tersebut. Saya melihat sistem zonasi menawarkan sesuatu yang baru. Gebrakan yang segar. Betapa upaya pemerintah dengan kementerian kebudayaan dan pendidikan memecah kebuntuan problem disparitas pendidikan sedang diuji.Â
Juga upaya untuk mencegah energi dan waktu habis di perjalanan menuju dan balik dari sekolah. Hal ini juga akan sejalan dengan ungkapan, "jangan sampai anak tercerabut dari akar budaya."
Sistem zonasi ingin membalikkan keadaan, sekolah yang selama ini menikmati status quo sebagai sekolah favorit harus berlapang dada, menyingsingkan lengan baju menegakkan kemampuan kognitif peserta didik yang memble.Â
Sebaliknya, sekolah biasa di pinggiran ditantang untuk memberi pelayanan setara dengan sekolah favorit. Dan tentu ada pihak yang diuntungkan juga, misalnya sekolah swasta dan pesantren.
Sekolah swasta dan pesantren menjadi alternatif orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri non-favorit. Sekolah saya misalnya, tahun 2017, jumpal PDB nya hanya di angka 58.Â
Dan pada tahun 2018, jumlah PDB mencapai angka 90, tertinggi sepanjang sejarang sekolah saya berdiri. Melihat angka itu, tentu tidak lepas dari kebijakan zonasi, banyak orang tua lebih memilih membayar (investasi di bidang pendidikan) dari pada gratisan tapi meragukan. Dan gejala ini dirasakan di hampir semua institusi pendidikan swasta sera pesantren.
Muara dari fenomena ini tentu sudah diperkirakan oleh pembuat kebijakan. Bahwa pendidikan harus merata, maka kualitsa guru harus pula merata. Kualitas pengajaran menjadi fokus utama, maka ada program Pendidikan Profesi Guru (PPG) baik dalam jabatan atau pra jabatan, dimana guru baik negeri atau swasta diberi pembekalan selama kurang lebih 4 bulan - 1 tahun untuk lebih memahami sistem pendidikan kita.
Penulis melihat, Pemerintah ingin mengajak semua kalangan untuk tidak hanya mencibir persekolahan dan dunia pendidikan Indonesia, melainkan bersama memajukan. caranya? Dengan pemerintah mengedukasi guru dengan pendidikan, dan mengedukasi publik dengan sistem zonasi. Tentu hal ini tidak bisa sekaligus terlihat hasilnya, sebab kerja pendidikan adalah kerja diam.Â
Sistem Zonasi diperlukan untuk motor perubahan, jika belum terlihat hasilnya sudah dihujat, mana pernah kita bisa mengevaluasi secara fair and square? Yang ada adalah, kita menjadi manusia penuh kejulidan. Maka, mari tunggu tahun depan, lihat hasil UN dan SBMPTN angkatan pertama sistem zonasi. Barulah saat itu bisa dibandingkan data befor zonasi dan after zonasi. Apakah sistem ini seksi atau killer.
 Akhir kata, izinkan saya kutipkan nasihat dalam buku Pidi Baiq, "Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H