Mohon tunggu...
Dida Rachma Wandayati
Dida Rachma Wandayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - State Islamic University of Yogyakarta

Gadjah Mada University

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kartini dan Spirit Pengawalan Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual)

21 April 2022   13:31 Diperbarui: 21 April 2022   13:41 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Taukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' Melenyapkan rasa berani. Kalimat "aku mau" membuat kita mudah mendaki puncak gunung." (R.A. Kartini)

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 dengan menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penetapan ini didasarkan pada hari lahir Kartini yaitu tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai hari Kartini. 

Sosok Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Adanya Peringatan hari kartini ialah sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan beliau dalam berjuang mendapatkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki.

Gagasan-gagasan yang ada pada diri Kartini, merubah pandangannya terhadap kondisi wanita pada saat itu. Sebagaimana Perempuan dengan kondisi yang terlihat lemah, sering mengalah, dibatasi pergerakannya untuk dapat mengembangkan dirinya, 

serta pada kondisi direndahkan dari pada laki-laki, situasi politik Hindia Belanda tidak menentu, dan kuatnya pengaruh adat membuat perempuan peribumi menjadi terbelakang, terutama dalam hal pendidikan. Sehingga Kartini mendedikasikan intelektualitasnya untuk melakukan pendobrakan terhadap ketidakadilan atas apa yang ia lihat dan ia alamai disekitarnya.

Kartini dengan pemikiran-pemikiran yang maju pada waktu itu, ia mulai mencari cara dengan mengandalkan kemampuan ia dengan mendirkan sekolah untuk perempuan bangsawan, yang punya maksud bahwa para perempuan peribumi akan dapat memperbaiki kedudukan kaum perempuannya. 

Selain itu, ia menulis surat-surat yang berisi terutama tentang kondisi perempuan peribumi. Sebagain besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususunya menyangkut budaya di jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Ia ingin melihat wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. 

Surat-surat kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, kartini mengungkap keinginanya untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. 

Ia menggambarkan penderitaan perempuan jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu serta masih banyak surat-surat kritik yang lainnya.

Selain itu, Kartini juga sangat erat kaitannya dengan isu gender. Konsep gender ialah pemberian peran dan status yang melekat pada laki-laki atau perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya di masyarakat. 

Misalnya perempuan di identikkan didalam masyarakat dengan harus dirumah, tidak boleh bekerja, tidak boleh sekolah tinggi-tinggi, harus menurut kepada suami dan sebagainya. Pengidentikkan dengan kontruksi sosial yang ada membuat perempuan sulit untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih maju. 

Padahal diluar itu, perempuan-perempuan berhak mendapatkan lebih dari pada itu diluar kontruksi sosial yang dilekatkan kepada dirinya.

Adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan gender (gender based violence) yang ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas membuat dampak tersebut selanjutnya melahirkan marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, 

subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja berlebihan seperti kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. 

Realitas ini kemudian mengakibatkan ketidakadilan terjadi pada perempuan yang berpotensi membuat perempuan korban mengalami reviktimisasi, menghambat akses perempuan untuk mendapatkan hak-haknya serta mendapatkan keadilan.

Lalu bagaimana jika dikontekskan pada kondisi perempuan saat ini di Indonesia?

Pada saat ini di Indonesia kekerasan yang terjadi terhadap perempuan masih ada bahkan mengalami peningkatan. Sebagaimana Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019 telah membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan (KtP) dari tahun 2016 hingga 2018 mengalami peningkatan. 

Jumlah pelaporan kasus tahun 2018 sebesar 406.178 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yakni sebesar 14%. Data tersebut sebagaimana dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR).

Meskipun selanjutnya terjadi penurunan kasus yang terhimpun di dalam Catahu 2021 menunjukkan bahwa kemamuan pencatatan dan pendokumentasian kasus KtP di lembaga layanan dan di skala nasional perlu menjadi perioritas perhatian bersama. 

Sebanyak 2991.991 kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat 431.471 kasus. Hal ini dikarenakan kuesioner yang kembali menurun hampir 100% dari tahun sebelumnya. 

Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner sejumlah 29 lembaga, sedangkan tahun ini hanya 120 lembaga. Namun sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyataan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. 

Data pengaduan ke komnas perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus d tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Sehingga tidak menutup kemungkinan banyak dark number kasus KtP yang belum speak up dikarenakan kondisi pandemi yang ada.

Momentum peringatan hari kartini di Indonesia selalu menjadi refleksi tehadap perlindungan ataupun praktik-praktik kekerasan terhadap perempuan di Indonesia saat ini. Nampaknya satu minggu yang lalu tepatnya tanggal 12 April 2022 menjadi hadiah indah untuk peringatan hari Kartini tahun ini karena telah disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS. 

UU TPKS dengan segala rintangan pembentukannya mulai dari tahun 2016-2022 menjadi kunci betapa perjuangan perempuan baik individu maupun yang tergabung dalam organisasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan kedepannya dari kekerasan seksual mempunyai semangat yang tinggi tiada henti untuk mengawal hingga disahkannya menjadi UU.

Muatan yang diatur dalam UU TPKS telah komprehensif dengan diaturnya jenis-jenis kekerasan seksual yang lebih jelas, hukum acaranya pun telah diatur yang berkaitan dengan cara penanganan, perlindungan dan pemulihan. Dimana sebelumnya hal ini belum diatur, yang tentu dalam penanganannya pun mengakibatkan kasus-kasus kekerasan seksual mandeg dan tidak tertangani dengan baik dan jauh dari hak-hak korban.

Saat ini UU TPKS belum dapat diakses secara umum dan butuh waktu untuk masyarakat melihat secara utuhnya, akan tetapi dalam draft RUU TPKS versi final bisa menjadi kelegaan untuk menangni kasus-kasus KtP ketika mengalami kekerasan seksual.

Masih terdapat catatan penting bagi aparat penegak hukum dan masyarakat Indonesia untuk tetap mengawal impelentasi dari UU TPKS ini kedepannya. 

Sebagaimana masih perlu ada pengaturan lebih lanjut dalam aturan pelaksana UU TPKS kedalam Peraturan Pemerintah (PP) mengenai aturan restitusi, terkait dengan pedomannya serta jika ada  pelaku yang tidak mampu membayar, maka ada aturan tentang sita asset dan atau ketentuan lain yang ditujukan untuk mengganti kerugian korban. 

terkait dengan membuat aturan yang dimandatkan dalam UU TPKS baik dalam PP dan Peraturan presiden segera dibentuk dan dalam proses pembuatannya melibatkan secara terbuka partisipasi masyarakat.

Pengawalan implentasi UU TPKS menjadi penting untuk semangat dalam hari Kartini saat ini, untuk benar-benar menjadi konsen kita semua, apalagi dalam proses penegakan hukumnya agar hak-hak korban kekerasan seksual terkhususnya perempuan benar-benar terjamin. 

Kekerasan dimanapun harus diperangi dan dicegah, pencegahan memang butuh waktu, dalam penanganan pun juga tidak sederahna, kita butuh menyebarkan memperkenalkan UU TPKS secara lebih massif apalagi di dalam dunia pendidikan. 

Hal ini karena institusi pendidikan adalah harapan bangsa untuk menjalankan roda kehidupan dimasa mendatang untuk Negara Dari kampus ditanamkan dari mulai awal cara menangani kasus kekerasan seksual maka kita berkontribusi terhadap penanganna kasus kekerasan seksual di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun