Saat penulis berkunjung pada situs bersejarah tersebut, penulis berkesimpulan bahwa kehidupan yang ada di lingkungan sekitar sangatlah harmonis dan toleran, masyarakat sekitar sangat terbuka dengan pendatang vihara dan tidak terganggu dengan banyaknya pengunjung yang akan melaksanakan peribadatan ke dalam vihara dan akan lebih ramai ketika hari libur atau weekend tiba.Â
Jika anda perhatikan bahwa, petugas kebersihan, pedagang UMKM dan parkir sekitar area vihara dikelola secara swadaya oleh masyarakat sekitar, yang mayoritas muslim. bahkan menjadi hubungan simbiosis mutualisme di mana dengan banyaknya pengunjung yang berkunjung ke vihara, yang datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang bahkan tidak jarang pengunjung dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar, seperti pengunjung akan berbelanja pernak-pernik dan jajanan di warung-warung UMKM sekitar vihara.Â
Pengunjung dari luar propinsi Banten, biasanya tidak hanya berkunjung ke satu situs, mereka akan berkunjung ke Benteng Speelwijk yang tepat berada di depan vihara, Komplek Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan, Keraton Kaibon dll. hal ini menjadi potensi tersendiri untuk pariwisata di Banten Lama, terdapat potensi yang besar untuk menjadi pendapatan daerah, dan tentu sebagai destinasi wisata religi yang menjadi ikon dari provinsi Banten.Â
Maka dari pada itu Penulis mendukung usaha Pemprov Banten untuk melakukan pembenahan yakni Kawasan Banten Lama terus dibenahi oleh Pemprov. Banten. Masjid Agung Banten tak hanya menjadi ikon wisata religi, tapi juga mempunyai jejak bernilai sejarah keberagaman dan toleransi.Â
Dari kegiatan praktikum profesi lapangan yang disingkat dengan PPL tersebut, penulis sadar bahwa toleransi dan moderasi beragama yang dikampanyekan selama ini, justru masyarakat di Banten telah mempraktikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, bahkan sejak abad ke 16.Â
Bahkan menurut hemat penulis, toleransi beragama ini, sudah diajarkan sejak masa penyebaran agama Islam oleh para Wali Songo terutama Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan Sultan Sultan Ageng Tirtayasa. karena masih terdapat dua versi cerita yang menjadi latar-belakang berdirinya Vihara Avalokitesvara pada abad 16, yang saat itu masuk dalam Kesultanan Banten.
PPL tersebut mengingatkan Penulis akan tentang baginda Nabi Muhammad SAW dalam mata kuliah tarikh al-Islam, bahwa Nabi Saw pernah melarang sahabatnya, untuk memaksa kepercayaan dalam hal ini agama Islam, kepada orang lain termasuk kepada orang terdekat seperti anak kandungnya sendiri.
Pada kehidupan awal Islam di Madinah nabi Muhammad Saw juga mencontohkan toleransi beragama yang luhur, di mana di Medinah banyak penganut agama Yahudi dan Nasrani, toh demikian baginda Nabi SAW tetap menghormati mereka, dan berbuat adil terhadap mereka dalam melindungi hak-hak mereka sebagai warga masyarakat Madinah.Â
Dalam hal ini Rasulallah SAW mengajarkan kepada para sahabatnya untuk berbuat adil, hidup harmonis, saling menghormati kepercayaan dan kehidupan keagamaan yang majemuk saat di Madinah, karena dakwah Islam akan diterima dengan perilaku dan akhlak yang luhur, sehingga toleransi dan moderasi kehidupan antar umat beragama sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw ketika periode awal dakwah pasca hijrah, yakni di kota Madinah.Â
Sehingga penulis sependapat dengan Saudara Rohmatul izad dalam sebuah artikelnya yang menyatakan bahwa Indonesia tidak hanya milik satu kelompok atau agama tertentu. Indonesia adalah milik kita bersama, milik orang-orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Semua golongan memiliki arti penting dan peran yang sama dalam berpartisipasi dan menciptakan suasana harmonis dalam berkeagamaan.