[caption caption="salah satu poster di rumah warga yang menolak adanya alih fungsi lahan pertanian untuk industri semen"][/caption]Pembangunan infrastruktur besar-besaran di Indonesia telah menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Pembangunan jalan misalnya, jelas membutuhkan semen yang tidak sedikit. Demi mewujudkan efisiensi, daripada mengimpor semen, pemerintah memilih untuk melakukan alih fungsi lahan menjadi areal industri seperti membangun pabrik semen. Bahan baku dari semen salah satunya adalah karst atau batu gamping.
Jawa Tengah memiliki potensi karst yang tersebar di pegunungan kendeng, yang meliputi wilayah Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan Blora. Pertambangan ini mengakibatkan masalah lingkungan yang serius sehingga menimbulkan perlawanan dari warga. Di Rembang misalnya, rencana pembangunan pabrik semen mendapat penolakan dari warga sekitar hingga mendirikan “tenda perjuangan” di sekitar lokasi didirikannya pabrik.
Dari kacamata sosio-legal, permasalahan pembangunan pabrik semen di pegunungan kendeng kini sudah berkembang bukan hanya menjadi masalah hukum semata. Bukan hanya persoalan apakah tambang yang akan dijalankan oleh pabrik semen itu sah atau tidak. Bukan hanya persoalan amdal, izin usaha, atau perizinan lainnya. Lebih dari itu, masalah sebenarnya adalah kehadiran pabrik semen yang mengancam lingkungan, ekonomi, dan sosial-kultural masyarakat setempat.
Pertama, ancaman terhadap lingkungan. Pegunungan kendeng terdiri dari hutan lindung dan memiliki banyak sumber air bawah tanah. Tambang yang dilakukan di atas pegunungan kendeng jelas akan semakin mengurangi jumlah hutan lindung serta merusak sumber air. Tambang karst sepertihalnya di Tuban, juga menimbulkan polusi udara dan polusi suara. Polusi udara karena debu dari tambang jelas akan bertaburan ke lingkungan warga, sedangkan tambang suara berasal dari adanya ledakan-ledakan di sekitar tambang sehingga mengganggu kenyamanan warga.
Pada akhirnya rusaknya lingkungan akan menyebabkan timbulnya kemiskinan dan penurunan kualitas hidup, karena masyarakat tidak lagi memiliki sumber daya alam yang bisa dijadikan aset untuk menopang kehidupan.
Kedua, ancaman terhadap perekonomian warga. Perlu diketahui bahwa warga sekitar pegunungan kendeng mayoritas bermatapencaharian sebagai petani. Ketika pabrik semen beroperasi, maka karst yang ada di pegunungan kendeng akan ditambang. Secara otomatis lahan pertanian warga akan hilang. Padahal dunia saat ini dihantui oleh krisis pangan dan menjadi agenda di PBB untuk selalu dibahas.
Indonesia bukannya merespon dengan memperkuat pertaniannya tetapi justru melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi industri. Pemerintah, seolah sengaja menutup mata atas kepentingan masyarakat kecil, terutama petani atas akses lahan pertaniannya yang terancam.
Pabrik semen pada umumnya akan mengiming-ngimingi pekerjaan pada warga untuk meningkatkan kesejahteraannya. Namun apakah masih mungkin warga yang sebelumnya menjadi petani dan berpendidikan rendah menjadi pekerja di pabrik? Bukankah persaingan kerja menuntut pendidikan tinggi dan keterampilan khusus? Bila pabrik tetap ngotot memberi pekerjaan, maka pekerjaan seperti apakah yang di dapat? Apakah ada jaminan bahwa menjadi buruh lebih sejahtera dibanding menjadi petani? Lebih dari itu seiring kemajuan zaman, para pekerja akan digantikan oleh mesin, dan hanya mereka yang bisa mengoperasikan mesinlah yang akan menjadi pekerja.
Ketiga, ancaman terhadap aspek sosial-budaya masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian menjadi sektor industri jelas akan mengacaukan struktur sosial dan budaya masyarakat. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa mayoritas warga adalah petani yang memiliki keterkaitan erat dengan alam dan memiliki kebebasan untuk menetukan komoditi pertaniannya.
Para petani akan kehilangan kebebasan tersebut, karena terikat pada kebijakan perusahaan. Warga yang terbiasa bekerja gotong-royong dengan corak komunal akan beralih menjadi lebih individualis. Begitupun dalam aspek budaya, masuknya berbagai masyarakat dari segala penjuru mengakibatkan terjadinya perubahan budaya lokal dengan sangat cepat, bukan tidak mungkin premanisme, perjudian, dan prostitusi akan timbul di wilayah tersebut. Kondisi ini lama kelamaan akan menimbulkan ketimpangan sosial karena perubahan terjadi dalam tempo singkat dan warga tak cukup siap mengantisipasinya.
Sepertinya pembangunan yang dijalankan di Jawa Tengah inilah yang perlu dievaluasi bersama. Kita perlu mempertanyakan kemanakah orientasi pembangunan dari pemerintah. Apakah benar untuk kepentingan masyarakat atau justru untuk kepentingan korporasi? Bukankah pada dasarnya pembangunan dilakukan untuk mencegah adanya bencana, bukan malah menghadirkan bencana.