Mohon tunggu...
Tuwanto Pebri
Tuwanto Pebri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mari memanusiakan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyoal Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa

24 Februari 2015   14:36 Diperbarui: 24 November 2015   20:35 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pers dan pers mahasiswa. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pers mahasiswa adalah suatu bagian dari pers nasional. Pandangan tersebut menyederhanakan semua yang berbau pers, padahal pers mahasiswa memiliki entitasnya sendiri. Sungguh naif ketika kita mengamini hal tersebut, karena pada kenyataannya fakta justru berbicara lain. Ada sebuah kisah yang dialami oleh seorang pegiat pers mahasiswa disebuah kampus swasta di Kota Semarang. Pada suatu ketika dia mengkritik kebijakan rektor di kampusnya, lalu menuangkannya dalam laman kompasiana dan blognya. Berselang beberapa hari dia pun dipanggil oleh rektornya lalu diberikan dua pilihan. Pertama, silahkan mengundurkan diri sebagai mahasiswa di kampus ini dan segala biaya kuliah hingga semester terakhir dan uang gedung akan dikembalikan. Kedua, apabila tidak bersedia mengundurkan diri, maka permasalahan ini akan dibawa ke ranah hukum. Singkat kata mahasiswa tersebut memilih opsi pertama, meskipun sudah banyak dukungan dan menawarkan bantuan advokasi. Kisah ini tentunya hanyalah satu dari sekian banyak kisah akan risiko menjadi bagian pers mahasiswa. Namun, mengapa hal ini bisa terjadi berikut akan coba saya ulas dalam tulisan ini. Setidaknya sebelum kita beranjak ke sisi perlindungan hukum pers mahasiswa, ada baiknya kita telaah dahulu perbedaan antara pers mahasiswa dan pers nasional.

 

Perbedaan pertama dapat disimak dari sisi hierarki. Pers sering disebut sebagai the four estate setelah legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Dalam praktiknya memang harus diakui pada era ini pers memiliki peran yang krusial dalam suatu negara. Bahkan dalam praktik ketatanegaraan, bisa dinyatakan bahwa tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers. Semua itu bisa dijalankan dengan baik, karena pers nasional berdiri sejajar dengan bidang legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Tidak ada hierarki diantara mereka, sehingga fungsi pengawasan dan kontrol (seharusnya) dapat berjalan dengan baik. Tetapi apakah hal itu berlaku pula dalam dunia kampus? Pers kampus, layaknya organisasi mahasiswa lainnya tergabung dalam sebuah unit kegiatan mahasiswa yang secara hierarki berada di bawah rektor atau dekan. Itu semua bisa dilihat secara gamblang dalam Garis Besar Halauan Kemahasiswaan (GBHK) yang berlaku di kampus. Rektor selaku pucuk pimpinan kampus secara struktural juga menjadi pucuk pimpinan organisasi mahasiswa sehingga otomatis pers mahasiswa yang termasuk dalam unit kegiatan mahasiswa berada di posisi paling bawah, dibawah para birokrat kampus. Lalu bagaimana fungsi pengawasan dan kontrol dapat dilakukan oleh pers mahasiswa, karena posisinya sendiri ada dibawah eksekutif. Dengan adanya hierarki ini maka dengan mudah pimpinan kampus dapat menggunakan tangan besinya untuk menghukum pers mahasiswa yang kritis dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan kontrol terhadap kampusnya.Sungguh ironis, ketika di dalam perkuliahan mahasiswa dicekoki oleh beragam teori akan kebebasan pers dan fungsi pers, tetapi pada kenyataan hal tersebut justru dikebiri sendiri oleh dunia kampus.

Kedua, sumber keuangan. Sebagaimana kita ketahui pers nasional memiliki sumber pendanaan yang berasal dari swadaya sendiri untuk menutupi segala pengeluarannya bahkan juga meraih pendapatan lebih melalui iklan-iklan yang terpampang di produknya. Namun, yang perlu digaris bawahi disini adalah salah satu pemasukan bagi sebagian besar pers mahasiswa di Indonesia berasal dari dana kampus yang diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa. Dana yang diterima tersebut dipergunakan untuk menutupi ongkos cetak (meskipun terkadang pers mahasiswa tersebut juga masih harus tombok dengan cari iklan atau mencari donatur). Disatu sisi dengan adanya bantuan dari kampus tentunya dapat mengurangi beban dalam mencetak produk, tetapi disisi lain hal ini juga menjadikan pihak kampus memiliki daya tawar kuat terhadap pers mahasiswa. Bisa jadi kampus akan merasa berhak untuk intervensi ke kamar redaksi atau menarik produk yang tidak sesuai dengan selera mereka karena dana percetakan produk tersebut sebagian atau seluruhnya berasal dari mereka.

Ketiga, tidak ada payung hukum yang memberikan perlindungan terhadap pers mahasiswa. Ketika terjadi sengketa pers, maka pers nasional dapat menginduk pada UU no 40 tahun 1999 mengenai pers tetapi pers mahasiswa harus menginduk kemana sampai sekarang belum ada jawabnya. Pada UU Pers, disana sama sekali tidak ada yang menyebutkan mengenai pers mahasiswa, dan diawal tadi telah dijelaskan kalau pers mahasiswa berbeda dari pers mainstream karena ada hierarki dalam kampus. Selain itu dalam UU Pers, dalam ketentuan pokok telah dinyatakan bahwa "perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi....." Sedangakan syarat membentuk perusahaan berbadan hukum menurut UU Perseroan Terbatas adalah adanya penyertaan modal minimal 50.000.000. Nah, sekarang dimanakah kita bisa menemukan pers mahasiswa yang berbadan hukum dan modal sejumlah itu di Indonesia?

 

Dengan adanya perbedaan yang jelas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kasus yang dipaparkan diawal tadi terjadi karena skema penyelesaian sengketa pers dalam UU Pers tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa pers mahasiswa. Sehingga pers mahasiswa berjalan tanpa adanya perlindungan yang jelas, dituntut untuk mencapai sebuah tempat melalui jalan yang penuh kerikil tajam tanpa alas kaki. Lalu bagaimana ketika ada permasalahan antar pers mahasiswa dan kampus? selama ketiga perbedaan yang telah dipaparkan sejak awal tadi masih ada, maka posisi pers mahasiswa akan tetap lemah ketika berhadapan dengan kampus. Tindakan blow up berita antar pers mahasiswa dan pers nasioanal kadang bisa berjalan efektif dan kadang juga justru menjadi bumerang bagi pers mahasiswa itu sendiri. Apabila masalah sudah meruncing, sudah seharusnya dewan pers turun tangan dan menjembatani adanya mediasi antar pers mahasiswa dan kampus.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun