Akhirnya teka-teki mengenai batas usia Capres-Cawapres menemukan jawabannya. Mahkamah konstitusi (MK) mengabulkan gugatan usia Capres-Cawapres yang diajukan oleh mahasiswa UNS terhadap Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017. Dimana sebelum gugatan dikabulkan, berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, batas usia minimal Capres-Cawapres adalah 40 tahun. Namun, hal ini berubah hanya dalam satu ketukan palu. MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Dengan kata lain, seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi Capres atau Cawapres dengan syarat orang itu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.Â
Lalu yang menjadi masalah yang sebenarnya disini adalah mengenai kewenangan MK dalam menguji Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Apakah MK memiliki wewenang dalam menguji Undang-Undang tersebut? Inilah masalah yang sebenarnya. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyebutkan, bahwa mengenai batas usia dalam pegisian jabatan publik sebenarnya bukan isu konstitusioanal, melainkan merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Sehingga untuk menguji ketentuan mengenai batas usia Capres-Cawapres bukanlah wewenang dari Mahkamah Konstitusi. Melainkan yang berwenang dalam menguji ketentuan mengenai batas usia Capres-Cawapres adalah Presiden dan DPR sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam membuat Undang-Undang.
Lantas melihat kenyataan bahwa MK menguji suatu ketentuan yang sebenarnya bukan kewenangannya dan melihat kenyataan bahwa MK yang seharusnya menjadi harapan masyarakat dalam menjaga konstitusi dijadikan sebagai alat oleh penguasa untuk mendirikan sebuah 'Dinasti Politik', apakah MK sudah saatnya dirombak? Apakah MK yang selama ini menjadi nafas dari reformasi, sudah saatnya direformasi?
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah Mahkamah Konstitusi (MK) perlu direformasi untuk menjamin bahwa konstitusi negara tidak dijadikan alat oleh penguasa untuk membangun dinasti politiknya. Untuk itu, yang perlu direformasi dari Mahkamah Konstitusi adalah
1. Mengenai kewenangannya
= Di reformasi MK ini, kewenangan MK bukan lagi menguji Undang-Undang terhadap    Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi negara. Kewenangan MK setelah reformasi adalah menguji Rancangan Undang-Undang terhadap konstitusi negara yaitu UUD 1945 sebelum Rancangan Undang-Undang itu disahkan oleh Presiden. Jadi, jika ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang ada ketentuan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan UUD 1945, MK memiliki kewenangan untuk  mengembalikan Rancangan Undang-Undang itu kepada DPR dan Presiden untuk dibahas lebih lanjut lagi. Sehingga Undang-Undang yang akhirnya disahkan oleh Presiden adalah Undang-Undang yang sudah tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945. Sekalipun ada Undang-Undang yang diduga tidak sesuai dengan konstitusi, MK tetap memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang tersebut.Â
2. Mengenai susunan hakim
= Sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung. Ini bisa menyebabkan terjadinya nepotisme dalam pengisian posisi hakim konstitusi. Sebagai contoh, ketua MK sekarang adalah Anwar Usman, bukan rahasia lagi bahwa ia merupakan adik ipar dari Presiden Jokowi. Lantas apakah Jokowi ada ikut serta dalam terpilihnya Anwar Usman menjadi ketua MK untuk periode kedua? Kita tidak perlu menduga-duga hal ini lagi, hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Sehingga untuk meminimalisir terjadinya nepotisme dalam pengisian posisi hakim konstitusi, maka mengenai susunan hakim dan cara terpilihnya hakim konstitusi harus direformasi. Caranya adalah membentuk suatu lembaga baru yang khusus menangani lembaga MK. Di lembaga yang baru ini, akan memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim konstitusi dan mengawasi hakim konstitusi apakah melanggar kode etik sebagai seorang hakim konstitusi. Sehingga nepotisme dan pelanggaran kode etik hakim konstitusi bisa diminimalisir.Â
3. Mengenai cara pengambilan keputusan
= Dalam pengambilan keputusan atas suatu gugatan, MK harus melalui 3 tahapan. Tahap yang pertama adalah musyawarah, dimana kesembilan hakim konstitusi memaparkan argumentasi masing-masing hingga mendapatkan putusan. Namun, jika cara ini tidak berhasil mendapatkan keputusan, kesembilan hakim konstitusi akan melakukan tahap kedua yaitu voting. Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Apabila ada satu hakim yang abstain dan hasil suara imbang, kesembilan hakim konstitusi menjalani tahap terakhir, yaitu pengambilan putusan atas dasar pertimbangan dari ketua majelis hakim (Ketua MK). Rata-rata pengambilan keputusan atas suatu gugatan diambil melalui cara voting. Inilah yang menjadi masalahnya, dimana pengambilan keputusan yang melalui hasil voting ini tidak mencerminkan demokrasi Indonesia dimana berasas musyawarah atau dengan kata lain tidak sesuai dengan Sila Ke-4 Pancasila. Sehingga seharusnya penyelesaian suatu masalah yang diajukan ke MK harus diselesaikan dengan cara musyawarah tidak dengan voting. Lalu bagaimana jika setelah melakukan musyawarah masih tetap belum menemukan penyelesaian? Dicarilah solusi/jawaban yang paling memuaskan semua pihak, hingga akhirnya kata mufakat bisa tercapai. Tidak dengan cara pengambilan suara terbanyak/voting.
Mahkamah Konstitusi yang selama ini menjadi nafas dan nadi dari reformasi seakan-akan mengkhianati reformasi yang sudah berjalan 25 tahun ini. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga dan mempertahankan konstitusi, seakan-akan mempermainkan konstitusi sesuka mereka. Revisi UU KPK, KUHP, hingga UU Cipta Kerja adalah bukti bahwa demokrasi Indonesia adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk oligarki semata. Mahkamah Konstitusi sudah saatnya direformasi untuk menjamin konstitusi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mahkamah Konstitusi harus benar-benar menjadi Mahkamah Konstitusi bukan Mahkamah Keluarga dan bukan Mahkamah Kekuasaan. Â Â Â