Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
Karya Wiji Thukul
apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata berdiri gagah
kongkalikong dengan kaum cukong
di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah
apa guna banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
Puisi bukan hanya dapat digunakan untuk keindahan kata semata. Penggunaan puisi sangatlah luas dalam berbagai hal. Puisi dapat dijadikan alat untuk melakukan kritik terhadap pemerintah seperti yang dilakukan oleh Widji Thukul. Â Puisi yang dibuatnya identik dengan perlawanan. Kerasnya perlawanan yang ditujukan kepada Orde Baru membuatnya hilang dan belum ditemukan hingga saat ini. Pasca reformasi kata-kata yang dilontarkan pemuda kelahiran Surakarta itu bukannya tenggelam, tetapi malah semakin melambung hingga dijadikan slogan perjuangan.
Kegunaan puisi yang semakin banyak dan berkembang menjadikannya dapat digunakan dalam berbagai kondisi. Puisi Di Bawah Seliut Kedamaian Palsu yang diangkat akan membuka pengetahuan dengan kondisi Orde Baru. Oleh sebab itu, puisi dapat menjadi media efektif dalam melakukan kritik terhadap pemerintah pada saat itu. Orde Baru merupakan keadaan di mana masyarakat dibatasi dalam berbagai hal. Masyarakat diajak untuk tunduk pada pemerintah dan dilarang keras melakukan kritik terhadap pemerintah.
Namun, keberanian tidak dibangun dalam semalam, Widji Thukul dengan gagahnya menyampaikan pendapat dan kritiknya dengan lantang terhadap pemerintah. Sehingga lahirlah sebuah puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu yang menjadi bukti nyata dari keberanian Widji Thukul. Puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu bersumber dari buku gabungan puisi "Aku Ingin Menjadi Peluru" pada tahun 2000. Puisi tersebut juga menjadi tanda bahwa puisi dapat digunakan sebagai media perlawanan yang efektif.
Larik demi larik yang disampaikan sangat jelas merupakan sebuah perlawanan dengan selingan kekecewaan. Pada larik pertama dan kedua menggambarkan bagaimana kecewanya kaum intelektual dan terpelajar karena mereka hidup di bawah tirani pemerintah. Mereka dibungkam bahkan dihilangkan dari lika-liku kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, larik-larik akhir menjelaskan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang kehidupannya di bawah tekanan dan todongan senjata.
Kritik tajam terhadap pemerintah melalui puisi merupakan cara baru dalam menyampaikan pendapat kepada pemerintah Orde Baru. Kalimat apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli sangat menjelaskan bahwa banyak masyarakat terpelajar pada masa itu tergabung ke dalam pemerintahan yang busuk. Ilmu yang dimilikinya tidak dimanfaatkan untuk membantu rakyat, tetapi malah digunakan untuk menyerang rakyat dengan kebijakan yang di luar akal sehat. Larik ini juga seakan mengkritik bahwa banyak pembohong yang berasal dari kaum terpelajar.
Buku yang seharusnya menjadi akses pendidikan yang efektif malah dibatasi. Para pembaca yang memiliki akses terhadap buku-buku juga mendapat ancaman. Ungkapan apa gunanya banyak membaca buku kalau mulut kau bungkam melulu seakan menggambarkan bagaimana kerasnya kondisi masa lalu. Masyarakat yang gerak gerik hidupnya selalu dibatasi serta selalu dibungkam apabila tidak sejalan dengan pemerintah saat itu. Kondisi ini membuat kaum terpelajar merasa kecewa. Mereka yang seharusnya memberikan dampak positif namun hanya bisa diam bahkan terlibat dengan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah.
Hidup di negeri sendiri yang seharusnya penuh dengan kebebasan malah di bawah tekanan. Di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong merupakan larik yang sangat jelas menggambarkan kondisi serta keadaan hidup masyarakat Indonesia saat itu. Hidup di bawah tekanan seolah hidup di negeri orang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi rakyat pada masa itu. Dar-Der-Dor terdengar tak asing bagi mereka yang melawan pemerintah. Banyaknya persekutuan jahat yang dibuat oleh berbagai pihak menjadi alasan perlawanan pada masa Orde Baru tersebut.
Masyarakat desa yang identik dengan keramahan dan ketenangan juga diusik oleh mereka. di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah sehingga menjadikan ekonomi yang buruk semakin memburuk. Lagi-lagi semua ini karena paksaan yang dilakukan oleh rezim zaman itu. Entah apa yang ada di otak mereka, memaksa masyarakat kecil menjual tanah-tanah miliknya dengan harga yang sangat jatuh. Aneh tapi nyata, tapi kondisi inilah yang dirasakan rakyat pada masa itu. Hidup di bawah ekonomi yang buruk saja sudah sangat menyulitkan, lalu ditambah dengan paksaan-paksaan, rasanya slogan hidup segan mati tak mau pantas disematkan kepada masyarakat kala itu. Mereka seolah mengharapkan kehidupan yang lebih baik, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Selain harus menghadapi era global mereka juga dituntut untuk menghadapi pemerintah yang seharusnya melindungi hak-hak mereka malah seakan membunuh mereka secara perlahan.
      Perlu penegasan kambali bahwa kaum intelek dan terpelajar banyak yang melakukan penyimpangan. Larik terakhir merupakan pengulangan sekaligus penegasan kembali bahwa kaum yang dianggap terpelajar harus bersatu dengan rakyat. Mereka seharusnya bersinergi dengan rakyat bukan hanya membohongi, membungkam, dan menekan rakyat yang kurang dalam ilmu pengetahuan masa itu.
      Larik demi larik, bait demi bait yang diuraikan Widji Thukul dirasa tidak berlebihan dan sesuai dengan kondisi yang ada. Bagaimana tidak, kondisi negeri kita yang kala itu masih diambang kemiskinan dan krisis harus berhadapan dengan pihak pemerintah. Rakyat yang hidupnya melarat malah semakin melarat berbanding terbalik dengan wakilnya bahkan pemimpinnya yang hidup aman, damai, dan tentu saja bergelimang harta. Kondisi yang menyedihkan juga diperparah oleh tindakan sewenang-wenang para pemangku kebikajan. Rakyat merasa tidak ada peraturan yang berpihak kepada mereka. Peraturan yang dibuat hanya berpihak kepada oligarki yang menyengsarakan masyarakat.  Rakyat yang saat itu masih diambang kebodohan sehingga dengan mudah ditipu dan dihasut oleh kaum intelek yang serakah.
Kaum intelek sendiri masih terbagi ke dalam dua pihak, yaitu pihak yang mendukung pemerintah dan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Kondisi nahas dialami oleh pihak yang kontra terhadap pemerintah karena hidupnya selalu dalam ancaman serta dibatasi dalam pengembangan kemampuan yang dimilikinya. Seorang pria bertubuh kurus dengan beraninya berada di gerbong anti pemerintah. Menebar kritik sana-sini yang membuatnya berujung hilang hingga saat ini. Kini ada sebuah narasi yang terus di gemakan setiap membahas tentang pelanggaran ham "Di mana Widji Thukul?".
      Hidup adalah sebuah pilihan dan menyerah bukanlah sebuah pilihan yang tepat, maka Widji Thukul memilih melawan. Ia tidak terbawa arus negative yang ada disekitarnya kala itu. Persetan dengan kondisinya yang dalam bahaya. Kritik tajamnya dalam setiap sajak mewakili perasaan rakyat yang tertindas, yang hidupnya terbatas.
      Hidup adalah sebuah perjalanan dan pria kelahiran Surakarta itu memilih perjalanan yang lambat juga melelahkan. Perjalanan yang lambat inilah yang membuat namanya tetap abadi bahkan hingga dirinya tiada dan jasadnya tidak ditemukan hingga hari ini. Perjalanan melelahkan membersamai rakyat yang membuatnya dibenci oleh penguasa yang haus kekuasaan.
      Hidup bukanlah pelarian namun Widji Thukul memilih berlari bersama masyarakat demi kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan yang didambakan. Pria bertubuh kurus tersebut seolah menjadi pelatih bagi masyarakat yang ingin berlari. Berlari dari pemerintah yang tunduk terhadap oligarki. Pemerintah yang dapat memberi kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan kepada sanak saudara dan kolega namun nihil hasil kepada masyarakat biasa.
Puisi Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu merupakan satu dari sekian banyak karyanya yang sangat popular karena keberpihakan kepada rakyat Indonesia yang semakin terbelakang karena tindakan Orde Baru. Puisi perlawanan pada masa itu sudah dianggap barang haram tetapi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang jelas-jelas haram seolah halal. Puisi-puisi yang diterbitkan juga bukan tanpa alasan. Pemerintah yang semakin hari semakin sewenang-wenang akhirnya membuat rakyat muak dan memutuskan untuk melawan munggunakan puisi-puisi dan puncaknya adalah krisis dan kerusuhan 98 yang membuat Orde Baru kehilangan kekuasaanya. Krisis dan kerusuhan 98 bukan hanya membuat Orde Baru kehilangan kekuasaannya namun juga seorang pria kelahiran Surakarta, 26 Agustus 1963 hilang. Nahas bagi rekan-rekan dan sanak saudara Widji Thukul, selain Widji yang diambil, mereka juga tidak dapat melihat wajah sang ksatria Tangguh untuk terakhir kalinya bahkan hingga hari ini. Sudah banyak pemimpin yang berjanji akan mengungkap dalang penghilangan Widji Thukul, namun janji hanya sekedar janji yang penuh omong kosong dan kebohongan. Hingga hari ini, pelaku, dalang, serta motif penghilangan Widji Thukul belum diketahui bahkan setelah 25 tahun dirinya tiada.
Thukul, sapaan akrab Widji Thukul juga dikenal dengan sajak-sajak lain seperti Peringatan. Sajak tesebut merupakan karyanya yang tersohor. Kalimat paling lekat dengan diri Widji Thukul terdapat di dalam sajak tersebut. Maka hanya ada satu kata: LAWAN! Seakan menjadi isyarat bagi masyarakat untuk tidak selalu patuh dan tidak hanya tunduk kepada pemerintah. Masyarakat memiliki hak untuk bersuara dengan lantang tanpa perlu dibungkam oleh pemerintah yang otoriter. Widji Thukul memang mati tapi pikiran kritisnya tetap abadi. Hidup Perjuangan, Hidup Kebebasan, Hidup Rakyat Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H