Mahkamah konstitusi merupakan salah satu cabang kekuasaan kehakiman yang penting untuk memastikan bahwa supremasi hukum berdiri di atas determinasi politik kekuasaan perwakilan. Dengan wewenang pengujian yang dimiliki olehnya sebagaimana pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi menjadi garda terakhir atas sarana “constitutional complaint” warga negara yang mengalami kerugian konkret maupun kerugian potensial atas produk norma yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi awalnya didesain untuk hanya menjadi “Negative Legislator” dalam upaya untuk membatalkan suatu ayat, pasal, hingga undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Seiring berkembangnya dinamika hukum Indonesia, mahkamah kerap dihadapkan pada situasi dilematis seperti pertentangan antara hukum formil dan materiilnya. Misalnya mahkamah dihadapkan pada keharusan untuk menggeser fungsinya dari negative legislator menjadi positive legislator karena norma yang diujikan dalam pandangan Mahkamah telah melanggar moralitas, tak dibenarkan secara rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan. Namun, bagaimana jika pergeseran fungsi mahkamah tersebut justru malah berdampak pada intensitas ketidakadilan yang makin massif?? (misalnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023)
Melihat dinamika mahkamah yang memosisikan diri sebagai positive legislator tersebut dengan hasil putusan yang dianggap tak berkeadilan dan mencederai proses pembuatan putusannya sendiri, dengan logika yang sama sebagaimana legislatif melakukan kekeliruan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dalam hal ini kita patut merefleksikan hadirnya upaya pengujian formil putusan yang dianggap bermasalah. Tulisan ini berupaya untuk merefleksikan Ius Constituendum pengujian formil putusan Mahkamah Konstitusi serta bagaimana akibat hukum yang dapat terjadi tatkala Mahkamah Konstitusi melakukan uji formil atas putusan yang telah dibuat olehnya
Ihwal Pergeseran Fungsi Mahkamah Konstitusi
Urgensi untuk merefleksikan Ius Constituendum pengujian formil putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi konsekuensi logis dari pergeseran fungsi mahkamah yang telah beralih menjadi organ pembuat hukum (positive legislator). Bergeraknya fungsi mahkamah konstitusi dari negative legislator menjadi positive legislator juga memang bukan fenomena baru dalam pembacaan praktik ketatanegaraan Indonesia. Terdapat beberapa putusan yang bersifat positive legislator sebelumnya seperti putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009; Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009; Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009; Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017; Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023; dan putusan lainnya
Tentu anasir atas pergeseran fungsi Mahkamah tersebut juga tidak dapat dimaknai sebagai satu bentuk kesalahan. Sebab, prinsipil mahkamah sebagai “The guardian of constitution” harus dijalankan apabila menyangkut pemenuhan keadilan yang substantif, sekalipun kewenangan ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam pasal 24C UUD NRI 1945, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi hingga Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hal yang menarik dari pergeseran fungsi Mahkamah ini adalah kecacatan dalam bertindak sebagai organ pembuat hukum sangat dimungkinkan terjadi pada Mahkamah sebagaimana lahirnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian syarat usia Capres/Cawapres pasal 169 (q) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Merujuk pada masalah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Abusive Judicial Review yang dilakukan hakim konstitusi setidaknya prinsip ethics “Nemo Judex in Cuasa Sua”, proses administrasi yang ditempuh secara serampangan, hingga anomali pergeseran pendirian mahkamah atas norma yang sama dan tengah diujikan.
Pengujian Formil Putusan MK sebagai Judicial Activism
Pengujian formil atas putusan MK yang bermasalah pada akhirnya perlu dimaknai sebagai upaya judicial activism dan terobosan hukum progresif. Dikatakan demikan sebab, pengujian formil putusan MK selaras dengan bagaimana MK menghasilkan terobosan-terobosan hukum selama ini dalam pembacaan praktik ketatanegaraan di Indonesia. Misalnya ialah pergeseran fungsi Mahkamah dan putusan alternatif seperti putusan “Konstitusional/Inkonstitusional bersyarat” yang sebelumnya tidak dikenal dan tidak disebutkan dalam pasal 56-57 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK Juncto Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Judicial activism merupakan pendekatan yang tepat dalam menganasir pengujian formil putusan MK. Doktrin judicial activism merupakan pendekatan yang telah berkembang sebelum abad 20 dalam tradisi hukum Anglo-Saxon yang kemudian mengemuka pada tahun 1947 melalui majalah Fortune oleh Arthur Schlesinger.
Doktrin Judicial Activism merupakan kegiatan seorang hakim dalam mengembangkan teks-teks konstitusi untuk membuat sebuah perubahan sosial dengan tujuannya ialah untuk mengatasi kebuntuan hukum (legal vacuum). Secara gramatikal, melihat kewenangan MK dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 ihwal constitutional review memang disebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945,…”, namun dengan pembacaan alternatif dan berupaya mengembangkan teks-teks konstitusi, frasa “menguji” tersebut dapat juga berarti pengujian kembali norma yang telah berubah sebagaimana dimaknai putusan MK baik dalam konteks pengujian formil maupun materilnya.
Doktrin Judicial Activism juga selaras dengan pandangan hukum progresif Satjipto Raradjo yang kerap menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya semata-mata menekankan aspek formalistik-legalistik, namun bagaimana hukum tersebut harus berorientasi pada kebutuhan manusia untuk mengatasi kebuntuan hukum. Artinya, melakukan pengujian formil putusan MK harus dipandang sebagai upaya penyerahan keputusan hukum melalui keyakinan hakim ketika prosedur legalistik tidak mampu memenuhi keadilan substantif.
Menimbang Implikasi Pengujian Formil Putusan MK