Mohon tunggu...
Dicky CahyaGobel
Dicky CahyaGobel Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Mencari tahu dalam ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Esai: Tahun Baru, Kita Yang Baru

30 Desember 2020   16:55 Diperbarui: 31 Desember 2020   15:37 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan pergantian tahun sudah di depan mata. Semua orang : dari yang tua hingga muda ; anak-anak sampai orang dewasa, serasa tak ingin melewatkan kesempatan itu. Menikmati gemerlap cahaya kembang api dengan orang-orang terkasih atau hanya nongkrong sekedar mengambil waktu sendiri.

Momen perayaan pergantian tahun selalu diisi dengan hal-hal suka cita. Ini hal yang wajar, dan memang seperti itu demikian. Namun, kabar buruk datang bagi masyarakat Indonesia yang menanti perayaan itu. walaupun tidak semua orang merasakan aturan yang diterapkan, akan tetapi hampir di seluruh wilayah akan diberlakukanya penerapan pencegahan mobilitas masyarakat atau yang biasa di kenal dengan PSBB. Ini akan sangat berdampak bagi mereka yang ingin merayakan pergantian tahun. Tapi bukan itu masalahnya. Melainkan, seberapa mungkin dari kita yang dapat menyesuaikan diri dengan keterbatasan ini.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk mencegah penularan wabah corona. Namun PSBB bukanlah barang baru, sebab Kebijakan ini sudah diterapkan sejak awal tahun. Bahkan, di beberapa tempat masih jauh hari sebelumnya telah diberlakukan.

Selain dari pada itu, isu korupsi serta berbagai deretan kasus pelanggaran HAM masih mewarnai kalender tahun ini. terlebih pemaksaaan perberlakuan beberapa Undang-Undang baru yang juga merupakan bagian dari rangkaian upaya yang tersistematis oleh rezim untuk mengaputasi nilai kaudalatan rakyat. Dari sini bisa kita katakan, bahwa problematika sosial yang terjadi dalam kurun waktu setahun ini tidaklah sedikit. Dan seharusnya perayaan pergantian tahun tidak hanya sekedar melakukan seremoni belaka, melainkan perlu direfleksikan guna memperbaiki segala permasalahan yang terjadi selama ini.

Tidak bisa dipungkiri, apabila problematika sosial tetap akan berlangsung ada dalam realitas sosial. Dalam arti, semua kondisi sosial (baik maupun buruk), punya latar penyebabnya. Kita bisa memakai hukum kausalitas dalam hal ini, akan tetapi, tidak semua orang mampu membaca atau menganalisa kejadian-kejadian tersebut. Di sadari atau tidak, elemen yang harusnya menjadi pengontrol atau bahkan dianggap sebagai agen solutif pun gagap dalam menyikapi berbagai problematika sosial. Oleh karenanya, kondisi ini akan terus berlangsung lama, bahkan bisa jadi akan menimbulkan masalah baru apabila tidak cepat melakukan restorasi dengan mencari pemecahan masalahnya.

Bila diamati lebih seksama, fenomena kontrol sosial yang terjadi hari ini hanya bersifat reaksioner. Gaungan pembaharu dalam tubuh agen kontrol sosial belum terlihat signifikan. Gerakan-gerakan menciptakan solusi di setiap persoalan, terkesan momentual. Bukan mencari solusi malah lebih ke arah profit-individual atau eksistensi semata. Hal ini terlihat jelas di tubuh agen-agen kontrol sosial. Misalnya; Mahasiswa atau Pemuda. Tapi mengapa harus ada kontrol sosial? Seberapa pentingkah kontrol sosial?

Kontrol sosial adalah upaya atau suatu mekanisme dalam mencegah timbulnya penyimpangan sosial. Dengan adanya kontrol sosial, diharapkan  mampu menciptakan tatanan sosial yang berdasarkan pada norma-norma yang ada di masyarakat. Yang pada hakekatnya untuk mendorong situasi agar tetap kondusif, tanpa adanya penyimpangan sosial. Pemuda maupun mahasiswa yang merupakan salah satu aktor penting dalam jalannya roda kontrol sosial, harus mampu memahami peran dan tugasnya sebagai agen sosial. Kemampuan intelektual dan sikap idealisme merupakan modal dasar yang dimiliki pemuda maupun mahasiswa, dalam mengindahkan banyaknya persoalan penyimpangan sosial.

Tak heran bila catatan sejarah perjuangan melawan tirani kekuasaan  di negara ini, pemuda maupun mahasiswa punya kontribusi besar di dalamnya. Pergolakan perlawanan dari awal Abad ke 20, hingga punjak momentum tumbangnya rezim Soeharto, merupakan bukti kemampuan pemuda atau mahasiswa yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam urusan kontrol sosial. Akan tetapi, dalam kurun waktu pasca peristiwa reformasi, gerakan pemuda atau mahasiswa mulai bergeser. Disorientasi atas misi perlawanan dalam membawa visi keadilan mulai terkikis dengan model Pragmatisme, Hedonisme dan Apatisme. Ini merupakan kondisi yang menjadikan posisi pemuda dan mahasiswa hari ini tidak punya lagi nilai tawar dalam aspek kontrol sosial.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan arah perjuangan gerakan mahasiswa yang kian hari kian redup ini, misalnya :

Degradasi Moralitas / Kepekaan Sosial

Masalah sosial adalah suatu rangkaian fenomena penyimpangan sosial yang sangat berdampak pada tatanan sosial. pada gilirannya menciptakan kondisi ketidakstabilan, dimana ruang publik mulai diambil alih oleh para elite untuk kepentingan golongannya. Sedangkan, masyarakat kecil tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kehendak dari golongan tersebut, dengan menggunakan represifitas kekuatan maupun kekuasaan politik.

Hegemoni dan monopol kekuasaan di segala sektor menimbulkan penyimpangan atau ketidakstabilan. Dengan kondisi demikian, mahasiswa maupun pemuda harus tanggap dalam melihat segala persoalan seperti ini. Meningkatkan sensitivitas kepedulian atau kepekaan sosial merupakan indikator yang wajib diilhami oleh segenap mahasiswa dan pemuda. Karena mahasiswa maupun pemuda mempunyai peran serta fungsi yang tidak lain dan tidak bukan selalu mengedepankan kepentingan sosial atau rakyat.

Kepekaan sosial ini berangkat dari atas terbangunnya moralitas di dalam diri setiap orang. Ketika moralitas masyarakat berdiri atas dasar kepentingan bersama, maka sikap dan tindakan yang dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa harus beriringan atau bahkan menjadi inisiator dalam menciptakan solusi di tengah permasalahan sosial yang dialami masyarakat.

Dalam realitas sosial hari ini, mengedepankan aspek moralitas jarang ditemui pada elemen pemuda maupun mahasiswa. Adapun yang terlihat dari gerakan pemuda dan mahasiswa hanya sebatas mencari aksi panggung semata atau terjebak pada hal-hal pragmatisme dan bias terhadap esensinya. Tak mengherankan, jika hari ini tidak sedikit aksi-aksi mahasiswa dan pemuda yang mengatasnamakan kepentingan sosial atau rakyat, malah menjadi aksi yang ditunggangi oleh segelintir orang dan atau untuk kepentingan kelompok tertentu.

Minim Kemampuan Literasi

literasi adalah suatu kemampuan atau keterampilan yang digunakan untuk keperluan yang dibutuhkan segenap insan manusia. Kemampuan literasi merupakan rangkaian upaya untuk memaksimalkan potensi dalam mengolah dan memahami aktivitas membaca dan menulis. Bahkan kemampuan literasi adalah faktor utama seseorang dapat menemukan rangkaian persoalan hingga dapat memecahkannya.

Menurut seorang sejarawan sosial komparatif,  yang juga merupakan profesor Bahasa Inggris dan Sejarah di Ohio State University, Harvey J. Graff, mengartikan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Graff mengatakan setidaknya dengan dua hal tersebut masyarakat akan lebih melek terhadap pengetahuan. Ia menambahkan, bahwa dengan pengetahuan yang didapat dari aktivitas literasi, akan meningkatkan mutu kehidupan dalam keterampilan berkomunikasi (sosial). sedangkan menurut Education Development Center (EDC), adalah kemampuan seseorang dalam memaksimalkan potensi yang ada yang tidak hanya sekedar baca tulis saja, tetapi juga meliputi skill keterampilan yang dimiliki individu tersebut.

Kemampuan literasi sangatlah penting untuk berkehidupan. Semua orang dituntut untuk memiliki dan perlu meningkatkan kemapuan literasinya, agar bangsa negara ini bisa dapat bangkit dari keterpurukan dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain. Mengapa demikian? Sebab, literasi adalah instrumen yang harus dimiliki oleh pemuda maupun mahasiswa sebagai nahkoda selanjutnya, dalam membawa arah bangsa negara ini jauh lebih baik kedepannya .

Literasi juga merupakan indikator utama dalam memantaskan kecakapan hidup, yang menjadikan manusia berfungsi dalam memecahkan segala macam persoalan di dalam bermasyarakat. Akan tetapi, di era sekarang literasi bisa dikatakan sudah merosot jauh dalam pola hidup anak muda hari ini. kesadaran akan kebutuhan literasi mulai diabaikan, digantikan dengan pola hidup atau habits yang tidak produktif. Hal ini akan menjadi masalah besar dikemudian hari apabila diabaikan. Ini menjadikan alasan kuat asumsi generasi sekarang mulai termarjinalkan dalam peradabannya sendiri dan cenderung konsumtif dengan hal-hal yang kontra-produktif, ketimbang memaksimalkan diri untuk berwawasan luas dan berinovasi dengan skill yang dimiliki.

Hal-hal yang menyebabkan terdegradasinya budaya literasi, sangatlah beragam. Mulai dari kebiasaan yang lebih menghabiskan banyak waktu dengan gawai pribadi, kurangnya motivasi, hingga minimnya sarana atau wadah yang mampu mengakomodir dalam meningkatkan kualitas atau kemampuan diri.

Tak bisa dipungkiri, ruang atau sarana yang berorientasi terhadap peningkatan mutu keterampilan bahkan kemampuan kognitif sangatlah minim. walapun wadah yang bermunculan di dunia kemahasiswan atau kepemudaan tidaklah sedikit, akan tetapi, tidak sedikit juga yang hanya berorientasi ke hal-hal yang bias aspek sosial. tidak jarang, kondisi ini menimbulkan ketidakfungsiannya elemen mahasiswa ataupun pemuda yang mengemban tugas dan tanggung jawab akan nilai sosial itu sendiri. Efeknya, dalam menciptakan basis-basis sentral atau bahkan membangun relasi sosial, nihil adanya. Padahal, ruang mobilatas dalam membangun suatu relasi antar satu dengan kelompok yang lain sangat diperlukan. Sebab, dengan adanya relasi sosial akan lebih memperkuat ikatan dalam suatu hubungan sosial dan mudah mendapatkan wawasan baru dalam meningkatkan mutu diri tiap mahasiswa dan pemuda.

Selain itu, corak pendidikan di negeri ini memperparah kondisi yang ada. Model yang diterapkan dalam dunia pendidikan di indonesia layaknya pasar yang hanya mengedepankan persaingan, prestise, dan hal-hal yang bersifat kuantitatif. Alhasil, para peserta didik atau mahasiswa tidak bisa berpikir secara konstruktif, analitik, dan kritis.

pendidikan sudah tereduksi oleh pola-pola globalisasi, industrialisasi dan kapitalisasi, yang menjauhkan dari esensi yang sebenarnya, ialah membangun kesadaran akan nilai kemanusiaan. karena boleh dikatakan, bahwa pendidikan gaya perusahaan yang diterapkan selama ini telah mematikan sedikit demi sedikit rasa kemanusiaan, kepekaan lingkungan, dan hasrat akan kepedulian terhadap sesama.

Kesalahan dalam dunia pendidikan indonesia tidak hanya pada sistem pendidikannya, melainkan visi pendidikan indonesia yang tidak jelas adanya, alias hitam putih. Berbeda halnya dengan visi pendidikan yang ada di negara-negara Eropa atau Timur Tengah, yang selaras dengan visi negaranya. Misalnya Turki, yang dengan mengembangkan nuklir sebagai salah satu visi negaranya. Terlepas dari isu (kontroversi) global, Turki mampu melihat potensi yang ada di negaranya : yaitu nuklir, maka semua lini di negara tersebut pun dikerahkan ; termasuk pendidikan, untuk menopang visi tersebut.

Indonesia yang kita ketahui bersama, memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, harusnya bisa menjadi modal besar untuk membawa peradaban bangsa ini jauh lebih baik kedepannya, dengan menyelaraskan potensi sumberdaya daya alam yang ada dengan kemampuan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tentunya.

Memang cukup sulit untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di atas. Selain dengan membentuk kesadaran kognitif di tiap-tiap insan, keasadaran akan pentingnya aspek sosial sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai manusia. Terus berupaya melakukan berbendaharaan dalam segala dimensi sosial, diharapkan bisa menciptakan tatanan sosial yang lebih kondusif dengan manusia-manusia yang produktif tentunya.

Kembali ke pembahasan awal, bahwa mungkin perayaan pergantian tahun kali ini sangatlah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun banyak hal negatif yang terjadi, mulai dari aktivitas terbatas karena pandemi, kasus korupsi yang merajalela sana-sini, penuntasan HAM yang belum seutuhnya teratasi serta kegamangan besar menyelimuti generasi muda hari ini dan masih banyak lagi problem sosial lainya, tapi kita harus tetap berupaya untuk mencari problem solving itu kedepan. Artinya, dengan adanya momentum perayaan kali ini, seyogyanya kita melakukan refleksi guna memperbaiki diri dan menata kondisi yang jauh lebih baik di esok hari.

Terakhir, ucapan "Selamat" dari saya untuk mereka yang tetap ingin melakukan perayaan. sebab sedari awal saya tidak mempersiapkannya, karena bagi saya "akan sangat memalukan bila memaksakan perayaan di tengah situasi penjajahan". Berilah kesan di tahun baru dengan memaksimalkan potensi kita yang baru.

Sekian ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun