Mohon tunggu...
Dicky CahyaGobel
Dicky CahyaGobel Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Mencari tahu dalam ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ada Apa dengan Film "JKDN"?

19 Agustus 2020   12:01 Diperbarui: 19 Agustus 2020   12:57 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bara.web.id

Intinya, ketika ingin berbicara soal sejarah maka dudukanlah ia (sejarah) pada koridor yang tepat dalam arti imu pengetahuan. Dan syarat untuk memenuhinya ialah dengan seberapa besar kapasitas intelektual kita untuk membicarakannya atau dalam mendiskusikannya.

Sebenarnya saya pribadi mengharapkan adannya sebuah penggambaran hebat dan sebuah kesan positif tersendiri ketika bisa menyimak langsung perilisan film ini nantinya, karena film-film yang mengangkat sejarah nusantara sangatlah sedikit bila dibandingkan dengan film-film yang berasal dari mancanegara.

Tentu kita juga bisa menaruh ekspetasi yang luar biasa, sama halnya ketika menyimak film “Sang Pencerah” yang mengisahkan tentang pendiri Muhammadiyah yaitu K.H Ahmad Dahlan dan “Sang Kiai’ yang menceritakan tentang perlawanan orang pribumi dalam melawan penjajah yang dimotori langsung oleh sang Rais Akbar Hadratush Syaikh K.H Hasyim Asy’ari.

Di awal tahun 2020 ini kita juga sempat disuguhkan dengan rilisnya cuplikan film “Jejak Langkah 2 Ulama” yang digarap langsung oleh PonPes (Pondok Pesantren) Tebuireng milik NU, yang berkolaborasi dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) milik Muhammadiyah. Walaupun hanya diputar di kalangan internal dari daerah ke daerah, tapi sudah bisa membuat kita terkesima lewat cuplikan-nya.

Penggambaran soal sejarah Nusantara memang sangtlah luas cakupannya. Dan semua orang bisa untuk mengekspresikan lewat khazanah pemikiran maupun seni perfilman. tak ada yang salah ketika anak bangsa bicara soal sejarah bangsanya sendiri, namun yang pasti bukan mendekonstruksi hal-hal yang akan berdampak buruk kepada bangsa dan negaranya.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat dari bapak pluralisme  Indonesia bahwa,

“Islam Datang Bukan Untuk Mengubah Budaya Leluhur Kita Jadi Budaya Arab. Bukan Untuk ‘Aku’ Jadi ‘Ana’, ‘Sampeyan’ Jadi ‘Antum’, ‘Sedulur’ Jadi ‘Akhi’,… Kita Pertahankan Milik Kita, Kita Harus Serap Ajarannya, Tapi bukan Budaya Arabnya”(K.H Abdurahman Wahid).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun