INI hanya terjadi di negara antah berantah bernama Indoresah. Penulis mencoba memaparkan, adanya kemiripan Indonesia dan Indoresah itu. Kalau tentang Indonesia, tak perlu lah diceritakan.
Penulis yakin sidang pembaca sudah mengetahuinya lebih baik ketimbang penulis. Sang pemimpin di negara Indoresah itu menyebut kabinet menteri yang dipimpinnya bernama Kabinet Ngerjain.
Mungkin karena nama negaranya Indoresah, jadi ya sejak dipimpin oleh presidennya yang hobi blesekan, rakyat selalu merasa resah dengan keputusan-keputusan yang tidak biasa serta kerap kontroversi.
Apa-apa yang dilakukan di negara Indoresah yang konon agraris serta memiliki kekayaan alam serta laut yang tak terbatas itu ujung-ujungnya ya ada saja yang dikerjain atau ngerjain orang lainnya itu. Notabene, ngerjain rakyatnya.
Yang terbaru, yang membuat rakyat Indoresah benar-benar mulai terusik nuraninya dan resah seresah-resahnya.
Salah satu olah raga yang sejak nenek moyang mereka dulu sudah menjadi hiburan rakyat murah meriah, yaitu olah raga sepakbola jadi karut-marut.
Alih-alih dibenahi jadi bagus. Di seantero negara Indoresah semua klub sepakbola kebingungan atas keputusan menteri olah raga dari Kabinet Ngerjain.
Hingga kalau menggamit istilah penyanyi di negeri tetangganya Indonesia, yaitu lagu milik biduanita Cita Citata itu "Sakitnya Tuh Di Sini".
Nah, kalau di negara Indoresah karena sakitnya itu hampir di seluruh tubuh mulai dari otak hingga kaki yang sudah tak sanggup melangkah karena beratnya memikul beban kehidupan.
Jelas, bingung harus menunjuk ke bagian tubuh yang mana saat melantunkan lagu "Sakitnya Tuh Di Sini".
Rakyat Indoresah kini sudah dilanda keresahan yang tak terkira.
Mulai dari bahan pokok meski negara mereka sebagai negara agraris tapi masih saja harus impor beras dari luar negeri.
Dalam perjalanannya, beredar kabar adanya beras plastik alias palsu yang diduga dikonsumsi masyarakat Indoresah.
Keresahan makin menjadi dengan naik-turunnya harga BBM, kasus ijazah palsu, sejumlah urusan HAM yang tak beres, perseteruan antarlembaga negara, kelompok, atau perseorangan.
Belum lagi berbagai kebutuhan pokok yang jelang Ramadan ini perlahan tapi pasti merangkak naik, eh listrik diam-diam juga ikut merayap naik.
Ya, penulis tak bisa menceritakan keresahan-keresahan yang terjadi dan melanda negara Indoresah secara detail. Toh, penulis kan hidup di Indonesia. Jadi, kenapa harus resah.
Hanya jadi kepikiran saja. Pukul 09.30, Kamis (4/6/2015) penulis dapat telepon.
Dari suara telepon diujung sana mengatakan, tamu itu dalam perjalanan ke kantor.
Mengetahui yang datang bukan orang sembarangan, tentu seluruh pimpinan dan jajaran di kantor penulis sudah bersiap sedari pagi.
Tunggu punya tunggu, pimpinan dan teman-teman resah. Tamu kehormatan dari sebuah lembaga negara di Indonesia itu tak kunjung tiba.
Tepat pukul 11.57, ada pesan singkat masuk yang mengungkapkan permohonan maaf tak jadi bertamu karena ada jadwal mendadak dan harus segera ke Jakarta. Semudah itukah?
Â
Â
* Naskah ini bisa dibaca di sini atau di edisi cetak Tribun Jabar, Jumat (5/6/2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H