Mohon tunggu...
Dicky Wibowo
Dicky Wibowo Mohon Tunggu... dokter hewan -

Instagram: Mlaku Wae Project / Menulis di www.mlakuwae.blogspot.co.id serta menulis fiksi di www.pawonfiksi.blogspot.co.id / dokter hewan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bencana di Dusun Gamping

5 Juli 2014   12:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:24 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya tersisa tiga pohon jati, satu pohon randu, dan satu pohon beringin  yang hidup di dusun Gamping. Kelima pohon yang sudah berumur tua tersebut tumbuh saling berdekatan satu sama lain membentuk kanopi yang begitu rimbun, sehingga ketika siang hari, tempat tersebut sangatlah teduh. Banyak warga yang melepas lelah di bawah kelima pohon tersebut ketika siang menjelang. Warga dusun sangat menghormati keberadaan kelima pohon tersebut, bahkan mbah Kuncung, sesepuh dusun pernah berpesan bahwa setiap warga harus mempertahankan kehidupan kelima pohon tersebut. Tidak ada yang tahu pasti maksud dari pesan mbah Kuncung, tetapi banyak warga yang menebak bahwa kehidupan kelima pohon tersebut berpengaruh terhadap kehidupan sumber air dusun Gamping. Memang di bawah kelima pohon tua tersebut terdapat satu sumur yang mungkin umurnya setua kelima pohon yang menaunginya. Ada yang bilang, sumur tua tersebut dibangun oleh salah satu wali songo, dan ada juga yang berpendapat bahwa sumur tua tersebut sudah ada sejak jaman Majapahit. Menurut penuturan warga, air di sumur tua tersebut tidak pernah berkurang sedikitpun meski setiap hari dipergunakan oleh hampir semua warga dusun. “Sumur bertuah”, begitu warga dusun menyebutnya, bahkan air dari sumur tersebut dipercaya menyembuhkan segala macam penyakit.

Namun, hari ini terjadi keadaan yang tidak biasanya, suatu keanehan bagi warga dusun Gamping, air sumur tiba-tiba mengering, sama sekali tidak ada setetes air pun di dasar sumur.  Tidak ada yang tahu penyebabnya. Beberapa warga menduga bahwa mengeringnya air sumur disebabkan oleh menghilangnya mbah Kuncung sejak kemarin malam. Lik Suket, anak sulung mbah Kuncung berujar bahwa bapaknya belum pulang ke rumah semenjak maghrib kemarin, setelah sebelumnya berpamitan untuk sholat maghrib berjamaah di dusun Jambu, yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari dusun Gamping. Sejak tengah malam, keluarga mbah Kuncung sudah berpencar untuk mencari keberadaannya, tetapi sampai pagi ini belum membuahkan hasil. Sebenarnya warga tidak begitu gempar mendengar mbah Kuncung menghilang, namun mereka menjadi gempar manakala air sumur mengering yang kemudian mereka kaitkan dengan menghilangnya mbah Kuncung. Sebelumnya, mbah Kuncung sering beberapa kali menghilang, tetapi tidak disertai oleh mengeringnya sumur. Dari kejadian menghilangnya mbah Kuncung sebelumnya, banyak warga beranggapan bahwa mbah Kuncung sering bertapa di gua Codot yang letaknya di ujung dusun Gamping. “Bertapa untuk keselamatan dusun”, begitulah warga dusun Gamping menyebutnya.

Tidak banyak warga dusun yang mengenal pribadi mbah Kuncung. Mbah Kuncung merupakan tipe orang pendiam, hanya berbicara jika perlu. Namun, warga dusun menyebut bahwa mbah Kuncung adalah salah satu orang yang membawa kebaikan bagi dusun Gamping. Warga yang mempunyai masalah, baik masalah keluarga maupun masalah ekonomi biasanya meminta bantuan mbah Kuncung. Nasehat-nasehat mbah Kuncung biasanya selalu dinanti-nantikan oleh hampir semua warga ketika acara sedekah bumi berlangsung. Meskipun umurnya yang sudah mencapai delapan puluh tahun, fisik mbah Kuncung masih terlihat kuat dan bugar. Setiap hari sehabis subuh dan ashar, mbah Kuncung selalu mengunjungi sumur tua dan selalu menyapu lantai sekitar sumur dari daun-daun kering yang berserakan.

Banyak warga bertanya-tanya mengenai keanehan yang terjadi hari ini. Beberapa warga beranggapan bahwa mengeringnya sumur dan menghilangnya mbah Kuncung diakibatkan oleh murkanya mbah Kuncung terhadap perilaku beberapa warga dusun Gamping yang tidak menuruti apa yang telah dipesankannya. Beberapa warga dusun dengan begitu mudahnya menjual tanahnya kepada orang-orang asing.

“Jika kalian terus menyerahkan tanah kalian kepada mereka, maka kekeringan akan melanda dusun Gamping!”, ucap mas Konyik, salah satu warga dusun menirukan ucapan mbah Kuncung beberapa waktu lalu.

Bencana besar benar-benar melanda dusun Gamping hari ini. Hampir seluruh warga dusun ribut dan kebingungan mencari air. Beberapa warga sudah berbondong-bondong membawa jerigen air dan ember-ember air menuju dusun Jambu. Dusun Jambu adalah dusun terdekat dari dusun Gamping, dan di sana terdapat beberapa sumber air. Beberapa warga terlihat mengantri di salah satu sumur dusun Jambu. Bahkan salah satu warga, mbah Rejo pingsan lantaran saking lamanya mengantri air.

Menurut mas Konyik, mengeringnya sumur dusun Gamping akan menyebabkan mengeringnya pula sumur-sumur lain di dusun sekitar dusun Gamping, tidak terkecuali dusun Jambu. Diantara warga yang mengantri air, mas Konyik terus menerus mengingatkan warga dusun Gamping untuk tidak berlebihan mengambil air di dusun Jambu, karena dusun Jambu adalah harapan satu-satunya sumber air bagi warga dusun Gamping dan dusun Jambu. Sebagian warga menganggap apa yang dikatakan mas Konyik ada benarnya, sedangkan sebagian yang lain menganggap bahwa mas Konyik hanyalah pembual.

Dusun Gamping hari ini benar-benar terlihat gersang, terik begitu menyengat kulit dan sama sekali tidak ada air. Beberapa warga berdiam di rumahnya, dan beberapa warga lainnya berdiam di bawah rindangnya kanopi yang disusun oleh lima pohon tua. Hanya lagu campursari yang mengalun beriringan dengan suara-suara ledakan dinamit di kejauhan serta bercampur teriknya mentari siang, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari warga yang berteduh tersebut. Beberapa dari mereka bertelanjang dada karena kegerahan dan diam menundukkan kepala, beberapa lainnya lagi bersandar di batang pohon sambil menatap langit. Mungkin penyesalan telah menghinggapi hati mereka.

Waktu pun bergulir dengan cepat, tidak terasa siang yang begitu terik berganti menjadi sore yang teduh. Mentari yang mulai jatuh ke ufuk barat melepaskan cahayanya yang begitu hangat, membentuk kilauan-kilauan kekuningan di tanah kapur dan  bukit kapur di sekeliling dusun Gamping. Waktu beranjak, tetapi sumur tetap kering dan mbah Kuncung tidak kunjung muncul. Raut-raut wajah kekhawatiran mulai terlihat di setiap warga dusun. Mungkin mereka sudah merasa khawatir lantaran kehidupan mereka di dusun Gamping akan berhenti mulai hari ini.

“Ini adalah salah kita semua, kenapa kita begitu mudahnya menjual tanah kita kepada orang-orang asing itu, lihatlah apa yang pernah dikatakan mbah Kuncung akhirnya terjadi.”, ujar mas Konyik diantara warga dusun yang masih berdiam di bawah rindangnya lima pohon tua.

“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, sudah tidak mungkin kita mengambil tanah-tanah kita lagi, mereka sudah memulai usahanya.”, jawab pak Brengos, salah satu warga dusun yang masih berdiam di bawah pohon tua tersebut.

“Ya, ini salah kami, betapa bodohnya kami, begitu mudahnya kami menggadaikan kehidupan dusun Gamping dengan beberapa harta yang tidak begitu bernilai.”, ujar pak Sukun, salah satu warga dusun yang tengah melihat-lihat ke arah dalam sumur.

Tidak begitu lama, adzan maghrib pun berkumandang, beberapa warga masih terdiam di bawah rindangnya pohon-pohon tua, beberapa lagi bergegas menuju rumah masing-masing. Tampaknya warga dusun masih belum percaya terhadap apa yang menimpa dusun ini. Air adalah sumber dari kehidupan, ketika air menghilang sama sekali, maka kehidupan pun akan lenyap, mungkin itulah yang mengendap di dalam pikiran setiap warga dusun saat ini. Dari kejauhan terlihat beberapa teriakan warga dusun yang mengajak untuk bertobat.

Selepas maghrib, beberapa warga menuju rumah mbah Kuncung yang letaknya tidak begitu jauh dari sumur tua dan lima pohon tua. Mereka merasa penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada mbah Kuncung, lantaran sudah satu hari ini mbah Kuncung tidak tampak batang hidungnya. Beberapa warga menganggap bahwa mbah Kuncung sengaja disembunyikan oleh keluarganya, dan yang lain beranggapan bahwa mbah Kuncung disembunyikan makhluk gaib. Rumah mbah Kuncung hanyalah rumah joglo kuno yang beralaskan tanah dengan halaman luas tanpa ditumbuhi pohon apapun. Saat ini rumah tersebut ditinggali Lik Suket beserta istri dan ketiga anaknya. Sebenarnya hampir semua warga merasa tidak begitu suka dengan Lik Suket karena sikap Lik Suket terhadap mbah Kuncung yang tidak mencerminkan sikap seorang anak kepada orang tuanya dan sering sekali Lik Suket bersikap semena-mena terhadap warga dusun. Selama ini hampir semua warga enggan berhubungan dengan Lik Suket dan keluarganya, bahkan sekedar menyapa pun mereka enggan. Jika bukan karena figur mbah Kuncung yang dituakan di dusun Gamping, mungkin Lik Suket beserta keluarganya sudah diusir dari dusun.

Dengan membawa obor, beberapa warga mengerumuni rumah mbah Kuncung, beberapa mengucapkan salam. Namun tidak terdengar jawaban dari dalam rumah, hanya sayup-sayup terdengar suara rintihan kesakitan. Suara rintihan kesakitan itu semakin lama semakin jelas terdengar. Beberapa warga dengan dipimpin mas Konyik memberanikan diri untuk masuk ke rumah joglo kuno itu. Pintu berbahan kayu jati yang tidak terkunci memudahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah mbah Kuncung. Keadaannya sepi, tidak ada seorang pun keluarga mbah Kuncung di dalam rumah, hanya suara rintihan yang mereka dengar. Mas Konyik dan pak Brengos langsung mencari dan menuju sumber suara tersebut. Suara rintihan tersebut berasal dari sebuah kamar tidak jauh dari ruang dapur.

“Brakkk!”, suara pintu didobrak.

Betapa kagetnya mas Konyik dan pak Brengos mendapati mbah Kuncung terkapar dan merintih kesakitan di lantai kamar. Dengan dibantu warga, mbah Kuncung dibawa menuju rumah mantri di dusun Jambu. Di sekitar tempat mbah Kuncung, didapati sepucuk surat dengan kop surat sebuah perusahaan penambangan batu gamping.  Surat tersebut merupakan surat persetujuan mengenai pembelian tanah, dan di bagian bawah surat belum berisikan tanda tangan mbah Kuncung selaku pemilik tanah.

Sejak sekitar enam bulan lalu, banyak perusahaan penambangan dan pengolahan batu gamping melirik potensi batu gamping di dusun Gamping. Mereka mengiming-imingi warga dusun dengan uang yang banyak supaya warga menjual tanahnya dan menandatangani surat persetujuan penambangan. “Ganti untung”, perusahaan tersebut menyebutnya.  Banyak warga yang tertarik dengan penawaran perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga beberapa warga sudah melepas tanahnya. Sejak satu bulan lalu, kegiatan penambangan di dusun Gamping sudah dilakukan, dan hari ini terjadi peningkatan kegiatan penambangan batu gamping.  Mbah Kuncung merupakan orang yang menolak penambangan batu gamping tersebut, mbah Kuncung selalu memperingatkan warga dusun akan bahayanya penambangan batu gamping. Namun, beberapa warga dusun tidak menghiraukan peringatan mbah Kuncung, karena banyak dari mereka yang terjerat kemiskinan.

“Kita akan semakin miskin ketika kita menjual tanah ini kepada penambang batu gamping.”, begitulah kira-kira kalimat yang pernah terlontar dari mulut mbah Kuncung.

Akhirnya,  kemiskinan dan lenyapnya kehidupan benar-benar akan mengancam dusun Gamping. Warga pun hanya berharap semoga bencana ini hanyalah bencana sesaat. Mereka masih berharap bahwa esok sumur tua di bawah lima pohon tua akan berisi air kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun