Siang itu, Geni meneteskan air matanya. Â Para Algojo sedang mencambuk ayah Geni di atas tiang kayu. Punggungnya penuh luka terbuka menganga. Darah mengalir pelan dari luka-luka tersebut.
Tidak jauh dari ayah Geni, Raja Amurka juga memasung ibu Geni di halaman istana. Raja begitu marah, setelah Peramal Istana menubuatkan bahwa ia akan mati oleh seorang anak petani. Dan anak itu, Geni namanya.
"Katakan, tempat kau sembunyikan anakmu!" Â Raja Amurka membentak pada ayah Geni. Sambil melotot seakan kedua bola matanya mau melompat dari cangkangnya.
"Aku belum mempunyai anak!" Seru ayah Geni. Wajahnya penuh keringat, mulutnya meneteskan liur. Matanya setengah terpejam karena menahan penderitaan teramat sangat.
"Bohong!. Aku melihatnya dalam ramalanku, Yang Mulia! Dia berbohong! Aku melihat keluarga petani dengan gelang kayu kelapa di tangannya" Peramal Istana menunjuk-nujuk muka ayah Geni.
"Cambuk lagi, sampai dia menunjukkan persembunyian anaknya!" Lalu Raja Amurka dan pengawalnya masuk ke istana.
"Geni, selamatkan dirimu!" Ibu Geni berbisik pelan. Dari kejauhan Geni bisa melihat gerak bibir ibunya.
Diantara kaki-kaki orang-orang dewasa, Geni menyelinap, menyaksikan kedua orang tuanya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Bukankah kau adalah kobaran api matahari, Geni? Bukankah kau mampu membakar yang durjana?"
Suara itu muncul lagi dalam pikiran Geni. Geni menundukkan kepalanya, sambil berjalan pelan menjauhi keramaian halaman istana.
Matahari semakin terik. Siang itu terasa semakin panas. Geni terus berjalan menyusuri pinggiran jalan kota, menuju hutan untuk mencari suaka. Karena Geni kelelahan. Dia berhenti di sebuah rumah yang tak berpenghuni. Rumah itu cuma berisi kotoran kuda dan lalat saja. Karena kantuk tak tertahankan, Geni menyandarkan diri di dinding rumah tua itu.