Puncak gunung biliun bintang termenung.
Kaki gunung ribuan pendaki melantur.
Kata semangat sembari mengumpat.
Mulai melangkah di temani mimpi bergairah.
Mendung muncul sekawanan monyet mulai turun.
Merampas hak serupa dengan pelajaran ilmu barter di bangku sekolah.
Seperti timbal balik namun teliti pasti merugi.
Kaki tak lagi melangkah, tenganga menengok monyet merampas hak nya.
Gembira seolah tanpa dosa.
Macan kumbang datang menerkam dan mengaum.
Sekawanan kabur dan sekelompok lupa dengan tim dan menyelamatkan diri sendiri.
Kelompok yang lupa akan tujuan terbui dengan kisah heroik hewan liar di alam bebas.
Macan tetap mengaum karena lapar tak terbendung.
Kawanan babi hutan muncul auman macan berubah mendengkur.
Kawanan babi turun mencari anak cucu dan tak lupa minum.
Kubangan lumpur seolah tempat nyaman untuk mendengkur.
Dimana bintang hati, ketika kata hanya berisi fauna.
Apa arti fauna jika flora tak dalam berita perlindungan juga.
Siapa yang membuat berita karena media sudah mulai lupa.
Bintang hati aku sangka para juragan jumawa.
Kata berita bintang itu tidak ada.
Lantas cerita apa yang mampu melukiskan pendaki gunung di negara tercinta.
Tampaknya maestro mulai keluar dengan kata sahaja.
Namun kemajemukan menjadi nyata.
Nyata tanpa adanya sebuah fakta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H