Di dunia kerja saat ini, tidak jarang mendengar cerita karyawan baru yang resign dalam hitungan hari—bahkan ada yang cuma beberapa jam sesudah mulai bekerja. Baru-baru ini, seorang karyawan muda bergabung dengan perusahaan, tapi cuma dua hari kemudian dia memutuskan resign karena merasa pekerjaan itu "terlalu sulit."Â
Padahal, sebenarnya pekerjaannya tidak sesulit yang dibayangkannya. Keputusan yang begitu cepat ini mengejutkan perusahaan dan menimbulkan pertanyaan: Apakah keputusan tersebut tidak profesional, atau ada alasan lebih dalam di baliknya?
Mari kita bahas lebih dalam tentang motivasi, perspektif generasi, dan pelajaran yang bisa kita ambil dari situasi ini supaya lebih memahami apa yang sebenarnya terjadi di tempat kerja saat ini.
Perspektif Karyawan Baru: Ketika Kesan Pertama Terasa Menakutkan
Memulai pekerjaan baru memang bisa terasa menantang bagi siapa pun, tanpa memandang usia atau pengalaman. Beradaptasi dengan tanggung jawab baru, mengenal rekan kerja, serta memahami harapan pekerjaan adalah proses yang tidak mudah.Â
Di awal masa kerja, kita sering kali merasa terintimidasi dengan lingkungan dan tugas-tugas baru. Bisa jadi, kombinasi dari semua faktor ini membuat karyawan baru tersebut merasa kewalahan hingga akhirnya menyerah.
Dalam kasus ini, karyawan baru merasa pekerjaannya terlalu sulit meskipun kenyataannya tidak begitu. Dia mungkin merasa tidak siap atau bahkan kurang memahami apa yang diharapkan darinya. Hal ini menunjukkan kalau persepsi sangatlah kuat. Terkadang, apa yang terlihat mudah bagi satu orang bisa terasa berat bagi orang lain.
Mengapa Perasaan Kewalahan Bisa Terjadi?
Ada beberapa alasan umum mengapa karyawan baru sering merasa kewalahan:
- Kurangnya Persiapan atau Kejelasan: Karyawan baru mungkin belum sepenuhnya memahami peran mereka. Tanpa panduan yang jelas, mereka bisa merasa tersesat atau punya asumsi negatif tentang tanggung jawab yang diemban.
- Ekspektasi Pribadi yang Berbeda dengan Realita: Terkadang, seseorang datang ke pekerjaan baru dengan ekspektasi tertentu, dan ketika realitasnya berbeda, mereka merasa tidak nyaman atau kecewa.
- Kecemasan dan Tantangan Beradaptasi: Memulai pekerjaan baru bisa memicu kecemasan, terutama bagi mereka yang kurang pengalaman atau terlalu kritis terhadap diri sendiri. Ada orang yang mampu bertahan di bawah tekanan, sementara yang lain justru merasa tertekan.
Perspektif Generasi Z: Salah Paham dan Realita
Karyawan baru ini merupakan bagian dari Generasi Z—generasi yang sering digambarkan sebagai menginginkan fleksibilitas, pekerjaan bermakna, dan keseimbangan hidup yang jelas. Stereotip sering kali mengaitkan Gen Z dengan kurangnya ketahanan atau ketidaksukaan terhadap kerja keras, tapi kenyataannya jauh lebih kompleks.
Realita Gen Z di Dunia Kerja
Meskipun beberapa anggota Gen Z mungkin merasa sulit beradaptasi dengan ekspektasi kerja tradisional, banyak dari mereka yang sangat termotivasi dan berdedikasi pada pekerjaan. Mereka sering kali berpikir inovatif, mandiri, dan melek teknologi, dengan nilai tinggi pada kesehatan mental. Tapi, mereka juga cenderung menghindari pekerjaan yang dirasa tidak mendukung atau terlalu menekan.
Beberapa karakteristik Gen Z yang bisa mempengaruhi situasi seperti ini antara lain:
- Tujuan dan Kepuasan Kerja: Gen Z sangat menghargai pekerjaan yang sesuai dengan nilai pribadi mereka dan menawarkan makna lebih dari sekadar gaji. Kalau mereka merasa suatu peran tidak sesuai dengan minat atau tujuan mereka, mereka mungkin kehilangan ketertarikan sejak awal.
- Keseimbangan Hidup: Generasi ini sudah melihat generasi sebelumnya bekerja lama tanpa mendapat imbalan yang setara. Akibatnya, mereka sering kali menginginkan keseimbangan hidup yang sehat dan mungkin kurang toleran terhadap lingkungan kerja yang menuntut banyak tanpa imbalan yang jelas.
- Butuh Umpan Balik dan Peduli Kesehatan Mental: Gen Z sering kali menghargai umpan balik yang rutin dan melihat kesehatan mental sebagai prioritas. Mereka cenderung menghindari peran yang terasa berlebihan atau menekan tanpa dukungan yang memadai.