Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

6 Pelajaran Kesehatan Mental dari Pandemi

18 September 2021   11:59 Diperbarui: 18 September 2021   12:09 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: diolah dari Clker-Free-Vector-Images from Pixabay.

Sebagian besar fokus pandemi mungkin terkait dengan kesehatan fisik. Tapi itu juga sebenarnya berdampak serius pada kesehatan mental kita. Dan ngga mengherankan juga mengapa bisa begitu.

Pembelajaran jarak jauh, bekerja dari rumah, kesulitan keuangan, berita media tentang jumlah korban tewas, kurangnya interaksi sosial, dan ketidakpastian yang entah kapan akan berakhir, cuma beberapa dari stresor utama yang kita hadapi selama hampir dua tahun terakhir.

Betul, pengalaman setiap orang adalah akan berbeda-beda.

Untungnya, masa-masa sulit sekarang ini juga mengajari kita beberapa pelajaran penting tentang kesehatan mental.

Membawa pelajaran-pelajaran itu ke depan ke "normal baru" bisa membantu kita ingat untuk proaktif dalam merawat kesejahteraan psikologis kita.

Lingkungan memainkan peran besar dalam kesehatan mental

Pandemi menjadi pengingat yang sangat baik kalau lingkungan kita memainkan peran penting dalam kesehatan mental kita.

Ketika aktivitas kita yang biasa jadi ngga ada, mulai dari pergi ke kantor sampai makan malam bersama teman atau keluarga besar, kebanyakan dari kita sadar adanya perubahan pada kesehatan mental kita.

Gangguan pada rutinitas dan kurangnya aktivitas memengaruhi segalanya, mulai dari seberapa baik kita tidur sampai apa yang kita makan.

Ngga peduli seberapa sehat mental kita sebelum pandemi, tahun ini menunjukkan kepada kita kalau orang-orang yang berinteraksi dengan kita, dan hal-hal yang mengelilingi, kita adalah penting.

Kesehatan mental adalah kontinuum

Gambar: diolah dari mohamed Hassan from Pixabay
Gambar: diolah dari mohamed Hassan from Pixabay

Pandemi mengajari kita kalau kita itu ngga "sehat secara mental", tapi juga ngga bisa kita bilang "sakit secara mental".

Kesehatan mental adalah spektrum yang luas. Dan di mana kita berada pada spektrum itu, bervariasi dari hari ke hari, bahkan terkadang dari jam ke jam.

Kamu mungkin menyadari kalau kesehatan mental kamu sedikit menurun selama masa-masa sekarang ini.

Bahkan kalau kamu ngga memenuhi syarat untuk diagnosis depresi, kecemasan, atau penyakit mental lainnya sekali pun, kesehatan mental kamu saat ini mungkin tetap ngga sebaik yang seharusnya.

Apa pun mulai dari menonton berita sampai menghadiri rapat online, mungkin sangat memengaruhi perasaan kamu.

Dan kamu menjadi lebih sadar akan kesehatan mental kamu, lebih dari sebelumnya.

Siapapun rentan terhadap masalah kesehatan mental

Karena semakin banyak orang berbicara secara terbuka tentang pergulatan emosional mereka, stigma yang bisa melekat pada masalah kesehatan mental kelihatannya jadi sedikit memudar.

Selebriti, pakar kesehatan mental, atlet, dan orang biasa, tampil untuk membahas dampak pandemi terhadap kesejahteraan psikologis mereka.

Ini membantu banyak orang sadar kalau mereka ngga sendirian dalam kesusahan mereka.

Sangat penting untuk punya berbagai macam keterampilan untuk mengatasi

Gambar: diolah dari Clker-Free-Vector-Images from Pixabay.
Gambar: diolah dari Clker-Free-Vector-Images from Pixabay.

Banyak yang ngga bisa melakukan keterampilan mengatasi stres yang biasa dilakukan di tahun ini.

Gym ditutup, bertemu teman ngga boleh, dan acara besar dibatalkan.

Banyak orang mendapati diri mereka duduk di rumah tanpa mood booster seperti biasanya.

Akibatnya, orang mencari coping skills lainnya, seperti melakukan yoga di rumah atau membaca buku.

Dan itu mengingatkan kita, kalau penting untuk punya banyak tools berbeda untuk membantu kita mengelola emosi dan mengatasi kesulitan.

Biarpun mudah-mudahan pembatasan sosial ini bisa segera berakhir, mungkin tetap akan ada saat-saat ketika kamu kehilangan akses ke coping skills kamu yang biasa karena satu dan lain alasan.

Punya beberapa "alat" tambahan di "kotak peralatan" kamu, bisa membantu kamu mengelola kesusahan ketika kamu kehilangan akses ke hal-hal yang biasanya kamu andalkan untuk merasa lebih baik.

Terapi online adalah cara untuk mendapatkan bantuan

Banyak orang yang melihat terapis secara langsung, sekarang beralih ke terapi online.

Yang lainnya, memulai terapi mereka untuk pertama kalinya dengan penyedia layanan online.

Individu, organisasi, dan perusahaan asuransi pun mulai melihat seberapa efektif terapi online ini.

Sementara beberapa orang mungkin bersemangat untuk kembali menemui terapis secara langsung, yang lain mungkin memilih untuk melanjutkan terapi secara online.

Ngga harus bolak-balik ke janji temu, dan bisa berbicara dengan terapis dengan persyaratan yang lebih fleksibel (seperti mengirim pesan kapan saja), mungkin bermanfaat bagi sebagian orang yang ngga ingin menyerah dalam situasi sekarang ini.

Membangun kekuatan mental adalah proses yang berkelanjutan

Gambar: diolah dari Clker-Free-Vector-Images from Pixabay.
Gambar: diolah dari Clker-Free-Vector-Images from Pixabay.

Gampang banget untuk merasa kuat secara mental ketika hidup berjalan dengan baik. Betul kan?

Tapi, gangguan pandemi mengingatkan banyak dari kita, kalau kita punya ruang untuk tumbuh.

Liku-liku pandemi juga menunjukkan kepada kita kalau kita seharusnya ngga pernah mengatakan diri kita "cukup kuat."

Sama seperti otot fisik kamu yang butuh latihan kekuatan berkelanjutan, otot mental kamu juga begitu. Kalau ngga, mereka akan menjadi lemah.

Kita punya kesempatan untuk membangun otot mental kita setiap hari.

Apakah kamu memilih untuk menulis dalam jurnal rasa syukur atau kamu menantang diri sendiri secara fisik, kamu bisa berupaya untuk mengurangi keraguan diri, mengelola perasaan ngga nyaman, dan mengambil tindakan positif.

Kesimpulan

Transisi ke "normal baru" menimbulkan perasaan ngga nyaman bagi banyak orang.

Beberapa khawatir tentang keamanan secara fisik. Yang lain sedih tentang semua hal yang sudah berubah dan semua hal yang mereka lewatkan.

Tapi, kalau kita bisa melewati pandemi (bahkan dengan beberapa luka emosional lagi), kita pasti bisa menghadapi dampak emosional kehidupan sesudah COVID ini.

Mengingat masa-masa sulit yang sudah kita lalui sebelumnya, akan membantu kita mempertahankan keyakinan kalau kita pasti bisa menangani transisi ke "normal baru."

Itu ngga berarti kita ngga butuh dukungan apa pun di sepanjang perjalanannya. Dukungan emosional mungkin akan lebih diperlukan daripada sebelumnya.

Tapi, kita cenderung lebih kuat daripada yang kita hargai. Dan meminta bantuan, kadang kala merupakan tanda kekuatan, bukan kelemahan.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun