Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Merasa Perlu Berbagi di Media Sosial?

20 Mei 2021   07:04 Diperbarui: 20 Mei 2021   07:08 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi di media sosial.Berbagi di media sosial. (sumber foto: camilo jimenez on Unsplash)

Media sosial adalah sebuah fenomena yang mengubah hubungan kita dengan orang lain, bahkan dengan diri kita sendiri.

Kamu tentu familiar dengan Facebook dan Instagram. Atau, mungkin malah tumbuh besar bersamanya?

Penasaran ngga sih pada apa efek yang ditimbulkan media sosial seperti itu pada pikiran dan kesadaran kamu?

Ya, seperti semua hal pada umumnya, media sosial pun punya sisi positif dan negatifnya.

Sebagian orang sangat menyadari akan dampak negatif dari media sosial pada kehidupannya. Dan sebagian lain ngga sadar atau malah mungkin ngga peduli.

Tapi, pernah ngga kamu memperhatikan pola perilaku orang lain yang banyak terjadi di mana-mana? Maksud saya, perilaku orang secara online.

Ada yang sudah menghapus akun media sosialnya karena ngga mau terkena dampak negatif dari itu. Ada yang menghapus semua akunnya dan ada juga yang hanya akun media sosial tertentu saja. Masing-masing punya keputusannya sendiri-sendiri. Tergantung dari apa dampak negatif yang dia rasakan dari setiap media sosial tersebut.

Dan lucunya, yang biasa kita lakukan ketika melihat sesuatu yang bagus, yang menarik, biasanya secara otomatis kita akan meraih ponsel untuk mengambil foto sesuatu itu. Betul ya? Kamu juga kan?

Kita terdorong untuk mengabadikan momen tersebut.

Nah, apa yang dilakukan setelah itu?

Kalau yang masih punya akun media sosial, mungkin bakal langsung mengunggahnya. Tapi yang sudah dihapus? Kayaknya bakal bingung ya di mana mau membagikan momen tersebut.

Tapi, terlepas dari itu, satu hal yang menarik adalah adanya kebutuhan kita untuk memposting secara online!

Dan pertanyaannya menjadi, kenapa ya?

Kenapa kita membagikan sesuatu di media sosial?

Ya, itu adalah pertanyaannya.

Apa sih yang mendorong kita untuk mendokumentasikan kehidupan kita?

Lebih jauh lagi, apa yang membuat kita merasa benar-benar perlu memposting hal-hal yang kita lakukan di media sosial?

Apakah ada hubungannya dengan citra diri yang ingin kita perlihatkan secara online dan rasa harga diri kita saat offline?

Apa yang layak untuk diposting?

Dan kenapa kita cuma memposting hal-hal yang "keren" dan menyembunyikan hal-hal yang buruk?

Apa yang kita lakukan secara online, semua kembali pada rasa berharga kita saat offline.

Ini juga berkaitan dengan keadaan psikologis kita. Terutama apakah kita punya harga diri yang rendah dan kecenderungan tertentu lainnya seperti narsisme, kecemasan dan depresi, sehingga kita menerjemahkan itu dalam kebutuhan akan kekaguman, misalnya, kalau kita condong ke narsisme.

Media sosial bisa meningkatkan harga diri.

Kenapa?

Karena orang cenderung memperlihatkan pandangan diri yang positif dan diinginkan secara sosial kepada orang lain saat mereka online.

Tapi, yang terjadi adalah memang itu memberi mereka peningkatan harga diri, sayangnya akan diikuti penurunan pengendalian diri.

Maksudnya?

Semua itu terkait dengan ide untuk menjaga penampilan dan memberi gambaran sempurna hidup kita pada teman atau orang lain.

Yang menarik mengenai media sosial, kita bisa memilih informasi apa yang ingin kita posting. Menjaga identitas online tertentu mungkin bisa meningkatkan harga diri, tapi juga bisa menutupi kepribadian kita yang sebenarnya.

Bagi orang narsisis, ini memenuhi kebutuhan mereka untuk dikagumi. Dan semakin banyak penerimaan yang diterima sebuah postingan, semakin banyak pula yang masuk ke dalam jenis perilaku ini.

Untuk orang yang menderita kecemasan, interaksi online bisa saja mereka terjemahkan ke dalam interaksi kehidupan nyata mereka. Itu akan memberi "makan" perasaan cemas yang mereka punya tentang apakah orang-orang menyukai mereka atau ngga, sesuai dengan positif atau negatifnya postingan mereka diterima.

Seperti itulah beberapa contoh terkait dengan media sosial ini.

Mungkinkah mencari harga diri dari media sosial?

Yang perlu kamu tahu, mencari harga diri dan kepercayaan diri dari media sosial, ngga akan pernah bertahan lama.

Malah bisa dibilang, lebih banyak merugikannya daripada menguntungkan.

Mencari harga diri dari media sosial, ngga cuma membuat kamu lebih gampang dipengaruhi jumlah "like" dan komentar yang kamu terima, tapi juga bisa menyebabkan kecanduan psikologis.

Itu bisa merendahkan materi putih (white matter) yang ditemukan di otak kamu. Dan yang mengerikan, kecanduan tersebut bekerja dengan cara yang sama seperti kamu kecanduan narkoba.

Berbagi di media sosial.Mungkinkah mencari harga diri dari media sosial? (sumber foto: dole777 on Unsplash)
Berbagi di media sosial.Mungkinkah mencari harga diri dari media sosial? (sumber foto: dole777 on Unsplash)
Pada dasarnya, kita ngga boleh beralih ke media sosial untuk meningkatkan harga diri kita. Itu cuma menandakan kalau kita punya ketergantungan pada faktor eksternal untuk merasa bernilai tinggi, bukan karena apa yang ada di dalam diri kita.

Definisi harga diri sebenarnya adalah penilaian kognitif dan emosional dari nilai kita sendiri.

Dan ketika kita salah dalam menilai media sosial, like dan komentar, kita menjadi bagian dari sebuah siklus negatif dan menyalahartikan kepuasan jangka pendek sebagai kepuasan jangka panjang. Kenyataannya, kita harus melakukan sesuatu yang bermakna dalam jangka panjang pada diri kita sendiri untuk meningkatkan harga diri.

Ketika kita memposting sesuatu yang kita anggap layak, tapi menyembunyikan lebih banyak sisi negatif dari hidup kita, secara ngga sadar kita sedang menyingkirkan rasa malu yang kita sapu ke bawah karpet supaya ngga terlihat.

Kamu jadi ngga sadar kalau rasa harga diri yang sehat itu berarti bebas untuk tumbuh tanpa takut gagal. Kalau kegagalan itu ngga boleh mengubah siapa diri kamu sebenarnya.

Kecanduan kita juga terkait dengan kebutuhan untuk menemukan validasi dari orang lain dan kebutuhan untuk membagikan kehidupan kita secara online, yang sayangnya malah mengabaikan kebahagiaan kita sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan?

Ini yang menarik.

Sebuah studi menunjukkan kalau orang yang punya tujuan cenderung lebih kebal terhadap harga diri yang datang dari like dan komentar di media online.

Orang yang punya tujuan memperhatikan umpan balik positif tapi mereka ngga mengandalkan itu untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.

Para peneliti berhipotesis, karena orang yang punya tujuan punya kemampuan untuk melihat diri mereka sendiri di masa depan dan bertindak dengan cara yang membantu mereka mencapai tujuan mereka, mereka jadi mampu menghambat respon impulsif terhadap penghargaan yang dirasakan. Sehingga, mereka lebih memilih insentif di akhir nanti yang lebih besar daripada insentif langsung yang lebih kecil.

Jadi apa poinnya?

Penting bagi kita untuk menyadari kalau rasa harga diri kita ngga, dan seharusnya ngga, berasal dari media sosial.

Kita perlu untuk sangat menyadari kalau ngga mungkin untuk sepenuhnya meningkatkan harga diri kita dalam jangka panjang dengan memposting sesuatu secara online dan menerima umpan balik positif dari sana.

Sebaliknya, kita harus melihat ke dalam diri kita sendiri secara berkelanjutan dan sehat untuk mengembangkan penilaian kognitif dan emosional tentang harga diri kita sendiri.

Itu akan jauh lebih baik untuk dilakukan saat kita merasa rendah diri daripada kita meraih ponsel dan mencari harga diri semu dari media sosial sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun