Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Itu New Normal dan Seberapa Siap Kita Menjalaninya?

29 Mei 2020   11:14 Diperbarui: 29 Mei 2020   11:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New normal. Ya, new normal adalah istilah yang sekarang ini akrab di telinga dan mata kita. Baik kita dengar dan lihat dari berita-berita di televisi maupun kita baca di berbagai portal berita online.

Bisa dibilang semua orang saat ini sangat sering mengucapkan dan memperbincangkannya. Sebagian sudah paham, yang lain masih bertanya-tanya, yang lain mungkin sudah bersiap-siap melakukannya. Atau, sebenarnya sudah dilakukan tanpa disadari?

Apa itu new normal?

Merujuk dari wikipedia, new normal adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perubahan tentang apa yang disebut kondisi normal.

Perubahan seperti apa?

Perubahan yang membuat suatu kondisi yang sebelumnya disebut abnormal menjadi diterima sebagai suatu kondisi normal. Normal yang baru alias the new normal.

Kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya suatu kejadian luar biasa yang tidak bisa kita hindari dan memaksa kita untuk mau tidak mau membiasakan diri hidup dengannya. Menerima keadaan abnormal tersebut sebagai sesuatu yang normal dalam hidup kita.

Inti dari semua itu adalah sebuah perubahan. Seperti pada masa pandemi sekarang ini, dimana segala sesuatu yang berjalan saat ini jauh dari kata normal jika kita bandingkan sebelum pandemi tersebut terjadi.

Sekarang, orang lebih banyak berdiam diri di rumah. Mengurangi aktifitas di luar rumah.

Bekerja, dilakukan di rumah. Belajar, dilakukan di rumah. Restoran, tidak lagi melayani makan di tempat. Semua itu adalah hal yang bisa kita bilang tidak normal beberapa bulan yang lalu. Tapi sekarang, itu menjadi sesuatu yang normal.

Dulu, orang bekerja di rumah dianggap asing. Kurang bergengsi jika dibandingkan dengan pekerja kantoran. Apalagi bersekolah dari rumah. Sangat sedikit orang yang melakukannya. Yang namanya bekerja, ya di kantor. Itu yang kita anggap normal. Sekolah? Tentu saja di ruang kelas yang berada di gedung-gedung sekolah lengkap dengan guru-gurunya.

Foto: unsplash.com
Foto: unsplash.com

Di luar itu? Kebiasaan orang-orang pun berubah.

Sekarang, semua orang memakai masker kalau harus keluar rumah. Menjaga jarak. Sesedikit mungkin memegang gagang pintu atau benda-benda di tempat-tempat umum. Tidak bersalaman. Banyak lagi hal yang kalau dilakukan pada masa sebelum pandemi, orang akan melihat kita sebagai orang sombong, sok bersih, atau mungkin aneh.

Tapi sekarang, semua itu menjadi sesuatu yang wajar. Sesuatu yang normal.

Apakah kondisi new normal ini membawa kita ke arah yang lebih baik atau lebih buruk?

Kalau dilihat dari dampak pandemi yang terjadi saat ini, seperti banyaknya PHK yang menimpa rekan-rekan kita, banyaknya orang yang terjangkit COVID-19, kegiatan ekonomi yang terganggu, bahkan kegiatan beribadah yang dibatasi, pasti anda akan sepakat kalau new normal ini lebih buruk dibandingkan dengan normal yang sebelumnya.

Begitu banyak hal saat ini yang terkesan membatasi ruang gerak kita untuk beraktifitas dan berkarya, bahkan untuk bersosialisasi.

Hidup kita berubah drastis yang mungkin paling dirasakan oleh mereka yang kehilangan pekerjaan karena situasi ini.

Keadaan seperti memaksakan dirinya untuk diterima sebagai suatu normal yang baru dengan memakan banyak korban.

Tapi, yang perlu diingat, menjadi korban atau tidak, keputusan sebenarnya ada di tangan kita masing-masing.

Keadaan saat ini, faktanya sudah seperti itu. Tidak bisa disangkal. Tidak bisa diulang. Dan setiap keadaan itu sejatinya bersifat netral. Dia tidak pilih kasih dalam memberikan dampaknya pada siapa pun. Yang artinya, semua orang bisa kita bilang menjadi korban tanpa terkecuali.

Menariknya, ternyata ada sebagian orang yang kelihatannya tidak terpengaruh dengan situasi pandemi ini.

Mereka terlihat biasa saja bahkan semakin bersinar sekarang ini dengan karya-karyanya yang bukankah mereka seharusnya juga korban dari keadaan?

Dan sebagai korban, sudah sewajarnya kalau mereka juga bersedih, kecewa, marah, dan mengeluhkan keadaan yang menimpa mereka saat ini. Tapi mengapa mereka tidak terlihat melakukan itu?

Sikap yang diambil seorang pemenang

Foto: unsplash.com
Foto: unsplash.com

Kondisi yang dialami boleh sama. Tapi ingat, respon yang dipilih untuk menyikapi kondisi tersebut berbeda-beda untuk setiap orangnya.

Ada yang memilih untuk menjadi korban. Tapi, ada juga yang memilih untuk menjadi pemenang.

Keadaan mungkin membuat bisnis berubah. Karyawan tidak bisa lagi ke kantor seperti dulu, restoran tidak lagi boleh melayani makan di tempat, tapi di era teknologi sekarang ini, bukankah ada langkah yang masih bisa diambil?

Pandemi ini seperti terjadi di jaman yang pas. Yang seharusnya. Dimana semua sudah siap. Misal, saat ini internet dengan kecepatan mumpuni sudah tersedia secara luas. Orang bisa bekerja di rumah. Rapat bisa dilakukan secara online.

Restoran, bisa beralih ke layanan antar. Semua bisa dipesan secara online. Jasa pengiriman sudah menjamur dimana-mana.

Bisa dibilang, pandemi ini datang memang di saat jaman sudah siap untuk menerimanya.

Sebagian industri, seperti otomotif misalnya, penjualannya menurun. Tapi, di sisi lain, bisnis kesehatan dan logistik meningkat. Plus minus.

Di PHK dari industri otomotif, lowongan terbuka di industri kesehatan dan logistik. Plus minus. Semua seperti hanya bergeser saja. Tapi secara keseluruhan, bisa dibilang nilainya tetap sama.

Lalu kenapa masih ada korban? Siapa mereka yang tetap menjadi korban?

Tidak semua orang memang mampu menangani sebuah perubahan.

Kemampuan beradaptasi sangat penting disini. Seberapa mampu dan cepat seseorang beradaptasi dengan new normal adalah faktor penentu apakah ia akan bertahan atau turut menjadi korban.

Kalau tidak semua orang mampu beradaptasi, apakah itu berarti korban tidak bisa dihindari?

Itulah tugas anda yang mampu beradaptasi dengan baik untuk turun tangan membantu mereka yang tidak punya kemampuan sebaik anda.

Anda yang punya kemampuan beradaptasi lebih baik, harus bersyukur sudah dianugerahi kemampuan tersebut dengan cara menggunakannya untuk membantu mereka yang tidak seberuntung anda.

***

Pada akhirnya, new normal adalah kondisi yang harus kita semua terima. Dan pada akhirnya, kemampuan beradaptasi itu tidak lagi dilihat secara individu tetapi harus dilihat secara kolektif.

Sebagian orang yang mampu beradaptasi dengan new normal, sudah selayaknya membantu mereka yang tidak mampu untuk juga berhasil menjalani new normal ini. Secara keseluruhan, semua akan mampu untuk beradaptasi sebagai satu komunitas.

Tunggu apalagi, bersiaplah menjalani the new normal. Bersiaplah untuk mengulurkan tangan anda membantu orang lain yang memerlukan. Karena bersama-sama, kita pasti bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun