Saya sedang makan dengan khusyuk di sebuah rumah makan ketika seorang pengemis datang di pintu masuk rumah makan tersebut. Seorang pria berperawakan kurus, usia sekitar 50 tahunan, dan berpakaian lusuh.
Dia membawa kantong besar berwarna putih yang tidak kalah lusuh, mungkin berisi beras atau barang-barangnya, yang tergantung di bahunya. Dia tidak bersuara, hanya menengadahkan tangannya, meminta uang dari para pengunjung dan juga pemilik rumah makan.
Sebagian pengunjung tampak tidak peduli. Sebagian yang lain mulai mencari-cari uang receh untuk diberikan. Dan sebagian yang lain mulai terlihat terganggu dengan kehadirannya. Reaksi orang di dalam rumah makan tersebut berbeda-beda dalam menyikapi kedatangan si pengemis.
Tiga kelompok pengemis
Dari pengalaman saya bertemu pengemis, dan dari apa yang saya rasakan ketika pengemis datang, saya bisa mengelompokkan gaya mengemis seorang pengemis menjadi tiga kelompok. Dan karena kejadian di rumah makan itu, saya jadi ingin menuliskan tentang hal ini. Anda juga pasti akan familiar dengan apa yang akan saya tuliskan di sini.
1. Ibu muda dengan balitanya.
Saya sangat sering bertemu dengan pengemis tipe ini. Seorang ibu muda, kadang anak usia remaja, mungkin berperan sebagai kakak, membawa anak bayi atau balita.
Biasanya tubuh mereka terlihat cukup sehat. Dan dari yang saya amati, wajah mereka banyak yang terlihat keras. Saya tidak selalu melihat ada kasih sayang di mata mereka terhadap anak yang mereka bawa.
Saya pernah menonton liputan yang mengatakan kalau anak-anak itu sebenarnya adalah anak yang disewa untuk mengemis, tapi bukan itu yang mau saya tulis disini. Yang biasanya terlintas dalam pikiran saya, mungkin ini juga terpengaruh liputan yang saya tonton, adalah eksploitasi anak.
Saya rasa sebagian dari anda juga berpikir demikian. Terlebih jika terlihat mereka memarahi anak itu dan tidak terlihat sedikit pun kasih sayang di matanya. Ingin memberi juga jadi malas. Tapi, di lain sisi, kasihan sama si anak.
Mereka mengharapkan iba dari orang yang melihatnya untuk keuntungan mereka sendiri. Yang seringkali malah tidak mengena karena sikap mereka sendiri pada si anak.
2. Pengemis maksa.
Saya juga cukup sering bertemu dengan pengemis yang memaksa. Tiba-tiba dia datang saat saya sedang makan atau berbelanja. Terus mulai meminta, "Pak, kasihan pak. Pak. Pak. Pak."
Terus begitu sambil menengadahkan tangannya yang kadang sampai menyentuh badan saya. Sudah dibilang maaf karena tidak bisa memberi, tapi tetap saja. Terus dia bersikap seperti itu.
Kalau sudah capek, biasanya mereka diam. Tapi tetap ada disana. Tetap menengadahkan tangannya sambil menatap. "Ini orang, minta kok maksa.", pikir saya biasanya. Tinggal kuat-kuatan saja kalau sudah begitu, hahaha.
Dia atau saya yang menyerah. Dia ingin memanfaatkan ketidaknyamanan yang timbul di hati orang yang diminta untuk akhirnya mengalah dan memberinya uang. Siapa yang nyaman kalau ditempel terus begitu? Itu yang mereka lakukan. Menciptakan ketidaknyamanan.
Tapi, pengemis itu tidak tahu, kalau paksaan mereka juga bisa menimbulkan reaksi melawan atau mempertahankan diri dari orang yang diminta. Apalagi untuk orang-orang yang tidak mau kalah seperti saya, hehehe.
Bukannya iba, ketidaknyamanan itu malah bisa memunculkan amarah pada orang yang dimintai. Amarah untuk mempertahankan dirinya dan kadang egonya. Setelah dua puluh menit, si pengemis itu pergi juga. Dengan tangan hampa tentunya. Tidak mendapatkan sepeser uang pun dari kantong saya. Dihitung-hitung, mereka rugi waktu juga.
Dua puluh menit mungkin mereka bisa mendapatkan sesuatu dari orang yang tidak tahan dengan ketidaknyamanan yang mereka ciptakan. Tapi tidak dengan saya, hahaha.
3. Tidak mengemis, tapi dikasih.
Yang ini beda lagi. Mereka bukan pengemis. Mereka bukan orang minta-minta. Mereka bukan orang kaya. Mereka bisa jadi apa saja.
Saya sering melihat, seorang bapak, cukup berumur, berpakaian lusuh, sedang mengais-ngais bak sampah untuk kemudian mengambil isinya dan meletakkannya ke dalam gerobak yang dibawanya. Mencari apa pun yang masih bisa dijual.
Wajahnya terlihat lelah. Berpeluh. Orang yang melihatnya banyak yang tergerak untuk membantunya. Ada yang memberi uang, makanan, bahkan menghentikan mobilnya sebentar hanya untuk memberikan bantuan pada si bapak. Bapak itu mengucapkan terima kasih. Wajahnya berseri. Dan tetap melanjutkan aktifitasnya.
Dan menariknya, orang tergerak membantu bukan hanya kepada yang sudah berusia lanjut, tapi terkadang pada yang masih terlihat muda dan sehat pun mereka memberi bantuan.
Kenapa orang malah memberi? Padahal dia tidak meminta apapun dari mereka. Apalagi malah memberi pada orang yang masih muda dan sehat? Apresiasi. Itu sebabnya.
Orang mengapresiasi orang tersebut yang masih mau usaha apa saja untuk menyambung hidupnya dengan tetap menjaga kemuliaan harga dirinya. Dia pantang mengemis. Pantang mengharapkan belas kasihan orang lain. Dan orang-orang yang memberinya, saya kira bukan hanya sekedar berlandaskan kasihan, tapi ada apresiasi di sana.
Ada perasaan kagum karena kesulitan tidak membuatnya jadi pengemis yang sekedar mengharapkan pemberian orang lain. Betul, kan? Anda pasti juga pernah memberi orang yang bukan pengemis justru karena mereka tidak meminta-minta. Betul, kan?
Pengemis-pengemis dalam diri kita
Sadarkah anda, kalau kita sering kali atau terkadang telah menjadi salah satu dari pengemis-pengemis itu. Saya, anda, dan sebagian orang-orang lainnya, mungkin tidak berprofesi sebagai pengemis, tapi mempraktekkan yang mereka lakukan.
Apa itu? Masa iya? Meminta-minta jabatan, meminta-minta jatah pekerjaan, meminta-minta uang setoran, atau yang lainnya. Itu contohnya. Sama seperti yang pengemis-pengemis itu lakukan. Ada yang menjual cerita sedih, berharap orang iba, seperti pengemis wanita dan anaknya.
Cerita ngalor-ngidul betapa susah hidupnya, betapa ia sangat butuh untuk dibantu, dan betapa ia sangat membutuhkan pekerjaan itu. Yang sayangnya tidak diikuti dengan usahanya untuk meningkatkan kualitas dirinya sehingga layak diterima untuk pekerjaan itu.
Atau, mendatangi teman yang bahkan baru dikenalnya satu hari, itu pun cuma di media sosial, untuk meminta pekerjaan atau mungkin malah meminta uang tapi pakai alasan pinjam. Tidak cuma sekali, tapi terus menerus menindaklanjuti permintaan itu. Sampai apa?
Sampai timbul ketidaknyamanan si kawan dan akhirnya memberikan apa yang diinginkannya. Namanya teman, masa ngga membantu? Begitu pikiran si peminta dan pikiran yang ingin diciptakannya di dalam kepala si kawan. Betul kan?
Tidak nyaman kalau tidak membantu teman, walaupun sebenarnya dia sendiri tidak sedang dalam posisi bisa membantu. Begitu harapan si peminta akan isi kepala si kawan.
Siapa orang yang memanfaatkan rasa tidak nyaman untuk mendapatkan keinginannya? Tepat sekali! Si pengemis maksa. Kita sudah jadi seperti mereka kalau melakukan hal seperti itu. Bagaimana kalau kejadiannya seperti tipe ketiga? Kita kan tidak meminta?
Kalau kita bekerja dengan tulus, bukan bertujuan agar ada orang yang melihat dan kasihan plus mengapresiasi usaha kita, tidak apa-apa kan menerima bantuan orang? Yang membedakan antara mental pengemis dan bukan untuk tipe ketiga ini adalah apa niat yang ada di dalam hati.
Apakah kita berusaha dengan niat berharap dapat bantuan? Atau memang tulus berusaha sebaik mungkin untuk menjaga kemuliaan diri dari sikap meminta-minta?
Hidup bahagia tanpa mengemis
Rejeki itu sudah diatur. Cara untuk mendapatkannya pun sudah diatur. Ada yang halal, ada yang haram. Ada yang terhormat, ada yang tidak terhormat. Jangan pernah berharap pada manusia. Orang yang memberi, selalu lebih mulia daripada yang meminta.
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah kan? Apa dampak negatif dari sering meminta-minta pada orang lain? Kita akan malu saat bertemu dengan orang yang sering kita mintai pertolongan. Merasa tidak berharga di depannya. Merasa berhutang budi.
Dan namanya hutang, apapun bentuknya, membuat kita merasa harus membayarnya kan? Memangnya enak punya hutang? Menciptakan ketergantungan. Terlalu sering meminta-minta, bisa mengurangi kemampuan kita untuk berusaha sendiri. Tidak percaya diri. Dan merasa tidak bisa apa-apa tanpa pemberian orang lain.
Kecewa saat tidak diberi. Saat mendapatkan penolakan. Ya kan? Memangnya enak mendapatkan penolakan? Kita dibekali akal dan kemampuan untuk berusaha. Kita diajari cara berusaha yang terhormat.
Jangan hilangkan itu dengan mental pengemis yang ada di dalam diri kita. Akal dan kemampuan itu akan tumpul ketika tidak digunakan. Tentunya kita tidak ingin kalau pada akhirnya kita menjadi pengemis yang sebenarnya bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H