Refleksi Hari Guru Nasional, 25 November 2020
'terpujilah wahai engkau ibu bapak guru,
 namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...'
Â
Penggalan lirik lagu himne guru yang selalu kita dengungkan ketika sekolah adalah suatu ungkapan pujian terhadap guru kita yang senantiasa membimbing dan mengajari kita berbagai hal. Betapa tidak, guru memang layak untuk kita puji dan beri apresiasi yang tinggi atas jasa mereka yang sungguh luar biasa. Bagaimanapun guru adalah salah satu penentu nasib kita. Sebab, apa yang diucapnya itulah yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita mendatang. Kalau ditanya profesi apa yang paling membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan ketulusan? Tentu banyak dari kita akan sepakat, salah satunya adalah profesi guru. Kalaupun ada yang tidak sependapat, itu bukan mayoritas, juga tidak populer. Meski bukan guru, mereka yang pernah terlibat dalam dunia pendidikan, pasti mengamininya.
Bagi saya, guru ibarat jembatan yang bisa menghubungkan seseorang dengan cita-citanya kelak. Di papan tulisnya terukir harapan anak bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok paling awal yang tahu arah potret masa depan bangsa Indonesia. Saking mulianya, tidak heran ketika banyak anak muda berlomba-lomba meraih profesi tersebut. Intensi mereka pun sangat beragam: ada yang berniat karena panggilan jiwa, merasa merupakan passion, bahkan ada juga yang menjadi guru karena 'keterpaksaan'. Apapun alasannya, yang pasti, guru adalah pencari nafkah yang mesti diperlakukan sama seperti pekerja lainnya, sebab menjadi seorang guru juga butuh perjuangan yang tak mudah dan tak murah.
Tidak bisa ditampik bahwa peranan guru dalam proses belajar mengajar merupakan tugas mulia yang patut diberi apresiasi tinggi. Betapa tidak, guru adalah pembaharu insan cendikia yang memainkan peran penting bagi perkembangan dan keberlangsungan hidup peserta didik. Kita tahu bahwa peran guru meliputi banyak hal, seperti sebagai pembimbing peserta didik, fasilitator yang menyenangkan, mediator yang yang mengefektifkan proses belajar mengajar yang edukatif, serta pendorong anak didiknya agar bergairah dan aktif dalam belajar. Saya rasa, guru adalah teladan yang seharusnya kita contohi, sembari tunduk dan memberi hormat atas dedikasi mereka yang besar.
Kendati begitu, harus diakui bahwa perkembangan pendidikan di Negara kita Indonesia masih lambat. Kalau melihat realitas saat ini, setidaknya ada empat persoalan dasar yang dialami guru saat ini, yakni (1) distribusi penempatan guru yang tidak seimbang, (2) kualitas guru yang tidak merata, (3) peran guru yang mulai 'tergeser' dengan adanya teknologi, serta (4) kesejahtaraan guru yang tidak memadai. Kalau dirinci, persoalan pertama, yakni distribusi penempatan guru yang tidak seimbang, saya rasa persoalan ini sebenarnya sudah ada solusi. Program SM-3T, Guru Garis Depan, Indonesia Mengajar, dan lain sebagainya, merupakan salah satu ikhtiar untuk mendistribusikan guru di seluruh penjuru tanah air. Lanjut ke persoalan kedua, saya kira, juga tidak bisa dinafikan. Memang banyak anak muda yang menggantungkan asanya untuk menjadi guru. Namun, harus diakui, output yang dihasilkan kurang merata. Kualitas guru di setiap sekolah juga kerap tak sepadan.
Hal ketiga, yakni peran guru saat ini yang rentan tergeser dengan perkembangan teknologi. Internet dengan variasi informasinya kadang dijadikan acuan utama oleh generasi Z dan generasi Alpha, dibandingkan dengan perkataan/penjelasan dari guru. Lahirnya platform pendidikan virtual turut menggeser posisi guru saat ini. Bahkan, di beberapa sekolah dan universitas, sudah menerapkan sistem belajar online, di mana tatap muka antara guru dan murid tidak lagi dibutuhkan. Kini, gurulah yang harus mengikuti perkembangan zaman dan menikmati proses bergesernya peran mereka di era disrupsi. Guru harus mulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan cara-cara lamanya, serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat.
Meski demikian, hemat saya, profesi guru tetap tidak akan tergantikan meski perkembangan teknologi terus meroket. Setiap orang bisa menimba ilmu dari teknologi yang kini serba digital. Namun, peran guru tetap dibutuhkan karena tugas mereka tidak sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan dan kebaikan, serta keteladanan yang tidak bisa dipelajari dari saluran informasi apapun. Inilah yang harus disadari setiap guru bahwa pribadi, karakter, dan perilaku mereka adalah ilmu tertinggi yang tidak bisa didownload dengan gratis.
Persoalan keempat, yang bagi saya cukup penting dan sangat berengaruh terhadap kualitas pendidikan kita adalah tentang kesejahteraan, terlebih menyangkut gaji. Persoalan ini menjadi hal sensitif yang sejak dulu urung menemui titik terang. Lebih khususnya dialami oleh para guru honorer. Mereka harus menunggu giliran, bahkan harus bersaing lagi untuk bisa diangkat menjadi PNS.
Hal itulah yang kemudian menuai kritikan dari berbagai pihak. Hemat saya, pemerintah tidak boleh mempersulit pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Sebab, selama ini guru honorer sudah membantu pemerintah mengatasi kekurangan guru, khususnya di daerah terpencil (3T). Bagi saya, kalau mau pendidikan kita maju dan berkembang, maka kesejahteraan guru harus mendapat porsi perhatian yang serius dan adil dari pemerintah. Saya berargumen seperti ini karena memang nasib tidak tentu, lebih terasa dialami oleh para guru honor yang sudah bertugas puluhan tahun di berbagai daerah terpencil.
Predikat guru sebagai 'pahlawan tanpa tanda jasa' kadang dimaknai keliru, sehingga banyak yang berkata bahwa para guru tidak boleh mengeluh atas keadaan dan profesi yang mereka jalani. Padahal, kita tahu bahwa profesi guru itu adalah profesi yang sulit dan berat. Sehingga kalau memang 'tanda jasa' tidak mereka dapatkan, maka cukuplah dengan memberi gaji yang setimpal atas pengambdian mereka, agar kesejahteraan guru bisa terpenuhi. Terlahir sebagai anak dari seorang guru, membuat saya tahu bahwa profesi guru tidak boleh dipandang sebelah mata.
Sekalipun guru adalah manusia biasa dengan segala plus-minusnya, akan tetapi merekalah yang menanamkan masa depan paling awal kepada anak bangsa. Beban menjadi guru amatlah besar, namun kadang tidak seirama dengan hak yang diterima. Karena itu, posisi guru haruslah ditempatkan dalam derajat yang lebih tinggi. Dengan begitu, mereka akan menjadi pembaharu insan cendikia yang memiliki integritas dan profesionalitas mumpuni.
Pada peringatan Hari Guru Nasional tahun ini, salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk memberi penghargaan tertinggi pada guru kita adalah dengan berprestasi dan menjadi orang yang berkarakter baik, berinovasi menuju sukses, dan terus berbagi, sebab kebahagiaan terbesar seorang guru adalah ketika ia bisa melihat anak didiknya berhasil mengukir masa depan-meraih cita-cita. Terima kasih berlimpah bapak ibu guru atas dedikasi dan pengabdianmu. Tetaplah bernyala sebagai pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk kehausan untuk kami anak-anakmu. Selamat Merayakan Hari Guru Nasional 25 November 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H