Malah para milenial merasa kalau kata 'anjay' adalah kata yang keren dan layak diikuti. Karena itu, saya kira, kalau memang Komnas PA mau menghilangkan kata 'anjay', maka semua kata bermakna konotasi negatif (makian) di setiap daerah pun harus dhilangkan. Dan ini yang tidak mudah. Budaya dan kebiasaan kita berbeda.
Indonesia sangat luas dan kaya akan ragam bahasa daerah. Bagi saya orang Indonesia Timur, Khususnya NTT, kata 'anjay' tidak membuat saya merasa direndahkan, sebab kami di NTT malah menggunakan kata kasar lain yang lebih 'kasar' dari kata 'anjay' seperti 'tolo', uti, cukimai, lae, dasu, pukijangi, bangsat, bajingan'Â dll.
Jadi, sekali lagi, persoalan ini hanya menyangkut nilai rasa makna bahasa setiap daerah. Sehingga tidak bisa serta merta dihilangkan begitu saja tanpa adanya penelitian lebih jauh apakah memang efek kata 'anjay' bisa merendahkan martabat seseorang?
Hal terakhir yang mau saya tegaskan disini adalah bahwa penggunaan penggunaan kata 'anjay' dalam kajian psikolinguistik tidak memperlihatkan arti semantic yang utuh. Secara semantik kata 'anjay' memiliki makna yang kasar, bahkan diidentikan sebagai sarkasme.
Akan tetapi, dalam penggunaannya setiap hari (khususnya yang digunakan oleh milenial), kata 'anjay' lebih menekankan pada fungsi pragmatik bahasa, yaitu merujuk pada makna positif dalam interaksi harian antara para penggunanya, sehingga, akan menimbulkan rasa keakraban diantara penggunanya.
Sedangkan dinamika penggunaan kata 'anjay' dalam perilaku komunikasi dapat digunakan sebagai bentuk sapaan bagi orang yang sudah memiliki hubungan dekat atau akrab.
Sebaliknya, kata ini juga akan bisa digunakan untuk mengungkap dan meluapkan emosi marah atau kaget atau kesal. Kata 'anjay' juga dapat digunakan sebagai bentuk ekspresi kagum dan heran. Bahkan juga bisa digunakan sebagai bentuk ekspresi ketika seorang individu dalam keadaan sendirian. Dan masih banyak lagi makna dibalik pengucapan kata 'anjay'.
Saya kira kita semua perlu melihat persoalan ini secara koprehensif agar tidak salah menerka dan menafsir sesuatu seenaknya. Sekali lagi, Indonesia kaya akan bahasa. Jadi, jangan menjadikan bahasa sebagai agenda 'proyek' hanya untuk menarik simpati dan mencari kepopuleran atau ketenaran dan keuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H