Lembaga sekelas Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dianggap menjadi biang keladi murkanya presiden. BI dan OJK sama-sama menerapkan kebijakan business as usual dalam penanganan Covid-19. Kinerja kedua lembaga ini dianggap menghambat kebijakan yang sudah dibuat pemerintah selama pandemi. BI dianggap enggan menyerap Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah. Sementara, OJK dinilai tidak menjalankan relaksasi kredit kepada debitur perbankan di kalangan UMKM (www.mediaindonesia.com).
Akibat dari semua ini, wajarlah kalau Presiden marah. Dan saya kira akan semakin aneh jika Presiden tidak marah, sebab bisa diartikan Presiden mungkin 'mati rasa' pada jerit-tangis rakyat di masa krisis ini. Karena itu, kemarahan Presiden Jokowi adalah kemarahan 'demi' dan 'untuk' rakyat. Hemat saya, kemarahan Presiden Jokowi memiliki pesan yang begitu elegan dan memiliki spirit keberpihakannya pada rakyat sangat besar. Kepeduliaannya tergambar lewat kemarahan dan sindiran serta ancaman perombakan kabinet. Hal ini terbukti atas instruksi Presiden yang memberikan perhatian pada UMKM, sektor padat karya, industri manufaktur dan kesehatan. Sebab itu, bagi saya, kemarahan Presiden Jokowi adalah kemarahan kenegarawanan (statesmenship anger) sebab ia sangat peduli pada rakyatnya, sehingga beragam kritik yang dilontarkan terhadap murka Presiden, hanyalah sebuah sikap political anger (kemarahan politis) semata. Analisis politis dari para lawan politik yang berbeda terhadap kemarahan Jokowi saya kira itu sah dan benar dalam hidup berdemokrasi.
Kalau dibedah secara implisit, di balik kemarahan Presiden tersirat suatu gambaran bahwa dalam kerja kabinetnya, ternyata ada banyak kelemahan dan kekurangan yang harus diperbaiki. Itu semua diakui dengan jiwa besar oleh Presiden, dan berhadap dengan adanya teguran ini, kerja para Mentrinya bisa semakin optimal. Sikap jiwa besar, mengakui ada kelemahan, serta ekspresi marah Presiden Jokowi pada nyatanya telah menghancurkan sistem yang sangat kaku dan ideal dalam Istana. Kita tahu bahwa selama ini, semua informasi dan berita yang keluar dari Istana, hanyalah hal-hal yang baik dan bagus, bahkan nyaris sempurna, tak ada kesalahan. Tapi sekarang, semuanya terbalik. Presiden Jokowi dengan berani mengungkap hal lain, yakni sisi buruk atau kekeliruan yang dibuat Istana. Jelas bahwa Presiden Jokowi tidak mau bersikap 'munafik'. Ia malah berani berkata jujur bahwa kinerja para Mentrinya masih perlu diperbaiki.
Berbagai problem pemicu murkanya presiden tersebut tak pelak membuat mencuatnya isu reshuffle kian terang. Jika memang terjadi, itu sangat wajar, rakyat pun sebenarnya juga marah dengan buruknya kinerja beberapa menteri selama pandemi. Apalagi, reshuffle kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Tak ada gunanya memelihara ulat dalam pot bunga (keep caterpillars in flower pots), yang ada malah merusak keindahan. Lokomotif pemerintahan harus diisi oleh orang-orang yang mumpuni. Menteri-menteri yang tahan banting di situasi yang genting.
Presiden berhak mengevaluasi secara kritis-analitis terhadap anak buahnya. Di tengah kepungan wabah Covid-19 yang berdampak pada multiple-krisis ini. Yang kita butuhkan bukan menteri yang bekerja biasa-biasa saja, dan tanpa memiliki sense of crisis. Melainkan pejabat kelas wahid yang punya high order thingking dalam situasi darurat sekalipun. Harapannya, dengan diisi oleh orang-orang yang mumpuni di struktur kabinet, bangsa Indonesia mampu segera keluar dari seabrek persoalan imbas dari hantaman wabah Covid-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H