Marah adalah sesuatu yang sangat normal dan merupakan perasaan yang sehat. Namun sangatlah penting untuk membedakan antara marah, agresi atau kekerasan yang sering kali disamakan. Marah merupakan potensi perilaku, yakni emosi yang dirasakan dalam diri seseorang. Sedangkan agresi atau kekerasan merupakan perilaku yang muncul akibat emosi tertentu, khususnya marah. Emosi marah tidak harus berujung pada perilaku agresi. Marah yang dikelola dengan baik akan memunculkan perilaku yang dapat diterima norma sosial seperti perilaku asertif. Namun jika marah tidak mampu dikelola dengan baik, maka marah dapat berdampak pada munculnya perilaku agresi atau kekerasan yang tidak diterima norma sosial.
Dalam fenomena terbaru, media menyajikan emosi kemarahan Presiden Jokowi dalam video pidato pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta (18/6/ 2020). Jokowi menilai ada di antara menterinya yang tidak memiliki sense of crisis di tengah situasi pandemi virus corona. Presiden bahkan mengeluarkan ancaman untuk melakukan perombakan atau reshuffle kabinet.
Kita tahu bahwa Presiden Jokowi selama ini tampak dan dingin ketika bekerja maupun berbicara. Pembawaan yang tenang dan kalamnya Presiden, seketika berubah "garang" di dalam sidang kabinet karena ketidakberesan kinerja anak buahnya. Wajar memang kalau presiden marah, publik pun bisa melihat dan menilai sendiri soal ketidak-becusan kinerja beberapa kementerian selama pandemi ini. Mereka terkesan leha-leha dan biasa saja, seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal, situasi negeri teramat genting. Ekspansi ganas Covid-19 bukan bencana sepele yang sudah seharusnya ditangani dengan manajemen penanganan bencana yang disiplin, ketat, dan akurat.
Ada seabrek pemicu yang membuat amarah presiden tersulut. Beragam inovasi kebijakan telah ditetapkan pemerintah dengan menyiapkan juga anggaran mencapai triliunan guna menghadapi pandemi ini, malah eksekusinya justru buruk di tangan anak buahnya. Sejumlah menteri seolah santai-santai saja. Padahal, saat ini kondisi kesehatan negeri sedang kronis, ekonomi tampak lesu, dan banyak rakyat yang merana karena kesulitan ekonomi juga membutuhkan bantuan. Tapi, kinerja menteri di sektor-sektor vital justru mengecewakan, (semisal, pada Kementrian Kesehatan)
Sejumlah program krusial stagnan, jalan di tempat. Padahal, realisasi dari program tersebut sangat mendesak dibutuhkan rakyat. Sektor kesehatan misalnya, dalam tiga bulan terakhir ini, pemerintah sudah menyiapkan dana Rp 75 triliun, tetapi yang disalurkan baru 1,53 persen. Ini suatu kelucuan yang tidak boleh terjadi. Di tengah kekurangan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), peralatan kesehatan, dan fasilitas rumah sakit lainya, bisa-bisanya serapan anggaran masih minim.
Harus diingat, satu detik saja kita lengah, taruhannya adalah nyawa manusia banyak yang melayang. Lonjakan kasus Covid-19 yang meningkat tajam harusnya menjadi tanda bahaya untuk segera ditangani. Presiden pun sudah jauh-jauh hari meminta untuk menekan kasus terpapar positif Covid-19. Namun, realitanya yang terjadi penurunan kurva kasus potitif Covid-19 masih jauh panggang dari api.
Belum lagi, kalau kita menilik data yang diterima DPR terkait dengan dana intensif tenaga kesehatan di masa pandemi Rp 5,9 triliun yang baru 40 persen terserap. Itu artinya masyarakat belum dapat dana ini, karena tenaga kesehatannya belum dapat. Ini menunjukkan kinerja sektor kementerian kesehatan teramat lelet. Kalau alasannya karena pendataannya belum tepat atau datanya belum masuk, itu soal urusan birokrasi internal yang seharusnya cepat tanggap teratasi.
Sektor ekonomi juga tak luput menjadi sorotan pedas presiden. Hantaman wabah Covid-19 ini pastinya tidak hanya berimbas pada krisis kesehatan saja, melainkan merangsek ke sisi-sisi yang lain, termasuk memukul ekonomi nasional. Mulai dari ranah permintaan, suplai hingga produksi terdampak oleh wabah ini. Hal inilah yang membuat ekonomi terkapar nyaris sekarat.
Data yang dirilis Menteri Keuangan Sri Mulyani pun semakin menegaskan buruknya pengelolaan anggaran dalam mengatasi pendemi ini. Sebut saja, untuk perlindungan sosial, dari total anggaran Rp 203,9 triliun, baru 34,06 persen terserap. Realisasi insentif Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) senilai Rp 123,46 triliun juga baru 22,75 persen. Bahkan dana Rp 53,57 triliun pembiayaan korporasi belum ada yang terealisasi. Sangat keterlaluan.