Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mampukah UU Tapera Jadi Jawaban soal Rumah Impian Pekerja?

9 Juni 2020   08:05 Diperbarui: 9 Juni 2020   15:59 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membeli rumah. (SHUTTERSTOCK/CHIRAPHAN)

Saat ini, siapa yang tidak mendambakan rumah? Semua orang, dari semua kalangan, tentu mendambakan untuk bisa tinggal dalam sebuah rumah yang nyaman (baca: layak).

Kenyamanan dan kelayakan rumah tentu didasarkan pada konsep dan pemahaman di lingkungan dan daerah kita masing-masing. Rumah kemudian menjadi tujuan dan kebutuhan primer seorang karena nanti di dalamnya anggota keluarga bisa tinggal dan hidup bersama, berbagi impian dan harapan masa depan.

Atas niat mulia dan kebutuhan primer itu, Pemerintah (Negara) pun tidak tinggal diam. Pemerintah tentu menginginkan agar rakyatnya hidup dan tinggal dalam rumah yang layak huni.

Karena itu, ditekenlah landasan hukum operasional Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

Dengan demikian, para pekerja di Indonesia "wajib" menjadi peserta dan gaji mereka akan dipangkas 3% per bulan untuk iuran Tapera. Program pemerintah ini dirancang untuk mempermudah pembiayaan rumah bagi warga (pekerja) yang belum memiliki hunian.

Apabila disandingkan, iuran Tapera tidak jauh berbeda dengan iuran-iuran lain yang digagas pemerintah, dengan mekanisme yang sama yakni iuran ditanggung oleh perusahaan dan pekerja, seperti iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Kalau membaca sejarah, sebenarnya Tapera bukanlah program baru. Karena sudah ada program perumahan di Indonesia yang digagas sejak adanya Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada tahun 1950 di Bandung, berdasarkan SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952.

Hasil yang paling nyata yakni terbangunnya Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai perintis rumah murah di Indonesia pada umumnya, dan di semua daerah pada khususnya.

Ya, paling tidak, ada wujud nyata yang sudah dirasakan walaupun bagi saya dan beberapa generasi milenial, hanya mengenal kompleks Perumnas sebagai perumahan rakyat namun belum paham soal sejarah masa lalu dan bagaimana mekanisme yang dilaksanakan sehingga masyarakat bisa mendapatkannya. Maklumlah, saya belum lahir di era itu.

Kita semua tahu bahwa di masa sulit karena pandemi Covid-19, banyak sekali tugas yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Karena itu, Pemerintah harus jeli melihat kebutuhan utama rakyatnya yang paling dibutuhkan sekarang.

Melihat pemberlakuan PP Tapera ini, ada beberapa poin yang ingin saya utarakan:

Pertama, saya melihat bahwa adanya Tapera di satu sisi memang cukup dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, muncul semacam beban yang harus ditanggung para pekerja. Ini membuat Tapera bisa menjadi "bumerang" bagi pesertanya.

Pertanyaan sekarang adalah, apakah pengelolaan dana yang terhimpun itu bisa transparan? Karena kita tahu bahwa iuran itu bersifat jangka panjang sehingga pasti akan menjadi dana yang sangat besar. Kita tidak mau Tapera dikelola secara tertutup, sebab menyangkut dana urungan masyarakat pekerja.

Karena itu, iuran yang sudah dibayarkan harus dievaluasi minimal setiap 6 bulan atau satu tahun sekali agar jelas dan transparan.

Kedua, berbicara tentang rumah, tentu tidak terlepas dari persoalan kepemilikan tanah. Kita semua tentu tahu bahwa persoalan harga tanah hampir pasti selalu naik setiap tahunnya.

Bahkan harga tanah itu selalu "dimainkan" oleh para makelar. Kalau demikian, apakah Pemerintah sanggup mengatasinya dengan uang yang ditabung para pekerja melalui Tapera agar tidak terganggu oleh para mafia tanah?

Ketiga, satu pertanyaan sederhana, apakah masyarakat yang saat ini sudah punya rumah dapat menggunakan uang iuran itu, semisal, untuk renovasi rumah, atau membeli perabot rumah tangga, atau membeli tanah dan membeli rumah yang lain?

Benar bahwa dalam PP itu, jika peserta Tapera sudah memiliki rumah, maka masih ada beberapa layanan lain yang disediakan BP Tapera. Namun hal tersebut harus diperjelas lagi.

Selain untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, peserta yang sudah memiliki rumah bisa mengajukan fasilitas pinjaman. Fasilitas ini khusus untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bergaji antara Rp 4-8 juta (Kompas.com/2020/06/04).

Keempat, Saya seide dengan perkataan dari pengamat Tata Kota dan Perumahan Universitas Trisaksi Yayat Supriyatna yang mengkritik program Tapera ini.

Menurut dia, program itu tidak menjamin peserta memiliki rumah, meskipun peserta rutin membayarkan iuran. Hal ini nampak jelas karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tidak disebutkan (dijelaskan) secara rinci poin dan mekanisme untuk memastikan pemanfaatan dana tabungan tersebut.

Misal, ketika seorang pekerja pensiun, maka akumulasi dari pemotongan (iuran) ini apakah bisa dipakai untuk membeli rumah yang kita tahu setiap hari harganya meningkat?

Karena itu, Pemerintah harus memerhatikan lebih detail lagi mengenai jaminan dan kepastian bagi para pekerja yang mengikuti Tapera. Kasihan ya, kalau sampai ada ASN yang pensiun tapi tidak bisa mendapat rumah karena mekanisme yang berbelit dan tidak terincikan.

Pertanyaan dasarnya, apakah Tapera bisa mencarikan atau menyediakan rumah yang layak bagi para pekerja atau pensiunan yang berada di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) seperti di daerah saya NTT, atau di Papua dan Papua Barat? Saya kira ini pertanyaan penting yang patut diindahkan Pemerintah.

Kelima, kita tahu bersama bahwa dana Tapera merupakan kumpulan dana dari peserta tabungan yang notabene berasal dari masyarakat luas (para pekerja). Maka itu, kepemilikan dana Tapera sejatinya adalah milik pekerja dan/atau pemberi kerja.

Namun, kalau diteliti dalam proses pengelolaannya, kedua pemilik dana itu tak dilibatkan dalam perencanaan. Hal ini terlihat jelas dari tidak adanya keterwakilan dari kelompok pekerja di dalam Badan Pengelola (BP) Tapera maupun Komite Tapera.

Pertanyaannya, di mana posisi pekerja dan pemberi kerja sebagai pemilik dana? Hal terkait lainnya yaitu, pemanfaatan dana Tapera akan dikendalikan oleh BP Tapera dengan menunjuk pihak lain yakni manajer investasi dan perbankan untuk merencanakan dan mengaturnya.

Saya rasa, ini merupakan ‘keanehan’ yang berbahaya karena perencanaan dan pelaksanaannya tidak melibatkan kelompok pekerja. Seandainya pihak lain (bank atau manager investasi) itu mengalami defisit atau bangkrut, siapa yang akan bertanggung jawab?

Terlepas dari 5 poin di atas, saya melihat bahwa adanya Tapera merupakan ‘keterpaksaan’ yang dibuat untuk mempercepat realisasi program sejuta rumah yang menjadi program unggulan Presiden Jokowi.

Niat ini memang baik, tetapi di sisi yang berbeda, bisa dikata bahwa Tapera justru jadi sorotan unik sebab dianggap memberatkan masyarakat (pekerja), karena pembayaran iurannya terkesan memaksa.

Karena itu, hemat saya, Pemerintah perlu mengkaji dan mengevaluasi pemberlakuan PP Tapera yang sudah diteken itu agar tidak memberatkan dan disalahgunakan.

Mungkin di masa pandemi yang belum surut ini, Tapera hanya bisa dilaksanakan ketika kondisi ekonomi sudah membaik, kemudian kas perusahaan (pemberi kerja) sudah mencukupi dan pendapatan pekerja juga telah normal.

Hanya dengan itu, pemberlakuan PP Tapera akan sangat efektif membantu pekerja mendapatkan rumah yang layak dan tidak hanya menjadi sebuah utopia tanpa kejelasan dan ketidakpastian.

Usulan lebih yang lebih ekstrem, mungkin PP tersebut untuk sementara dicabut dan diterbitkan kembali pada waktu yang tepat, sebab dalam masa sulit ini, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang pro-bisnis dan pro-dunia usaha yang cepat dan tepat sehingga ekonomi kembali pulih dan berjalan normal.

Besar harapan, semoga pemberlakuan PP Tapera ini tidak menjadi momok yang menakutkan dan merugikan publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun