Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kualitas Pendidikan di NTT Rendah, Salah Siapa?

4 Mei 2020   16:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   16:02 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini, saya mengajak kita melihat realitas pendidikan yang kadang meningkat, namun tak jarang pula terjadi penurunan dan kemerosotan. Peningkatan dan penurunan kualitas dan kuantitas pendidikan yang terjadi sekarang ini, membuat kita terus bertanya, mengapa demikian? Inilah yang patut mendapat perhatian, bukan saja dari pemerintah, atau segelintir orang, tetapi juga kita semua. Lazimnya, pendidikan selalu berkaitan erat dengan manusia. 

Manusia adalah sosok makhluk yang "belum selesai". Artinya, sejarah manusia selalu dalam proses menjadi. Namun dalam perkembangannya, pendidikan sering mengalami deviasi dan kepincangan dalam menghadapi dunia modern saat ini. Zaman yang senantiasa bergulir dan terus berkembang, membuat manusia senantiasa berada dalam ketertutupan idealisasinya. Untuk menyingkapkan idealisasi itu, maka manusia harus dibentuk. Manifestasi dari pembentukan sebagai target pengaktualisasian diri, harus dijalankan melalui pendidikan yang menghasilkan manusia dewasa berkesadaran ilmu pengetahuan dan kreatif di masa depan.

Bentuk yang sederhana dari pengertian tentang pendidikan berarti usaha untuk menuntun. Tuntunan selalu diberikan oleh orang yang besar kepada yang kecil, atau oleh generasi tua kepada generasi muda, atau oleh guru kepada murid, atau pun oleh dosen kepada mahasiswa. Hubungan vertikal inilah yang senantiasa harus dipertahankan dalam tatanan pendidikan. Kalau kita lihat sepintas, maka pendidikan sebenarnya mengajak orang untuk bersikap bijak. Kebijaksanaan itu dibangun dari kesediaan untuk memberi. Dan, sikap yang terbuka adalah ciri yang sangat kongkret dan relevan.

Gubernur NTT, Vicktor Bungtilu Laiskodat, pernah mengungkapkan keprihatinannya terhadap dunia pendidikan di NTT. Beliau sangat perihatin, sebab pendidikan di NTT ini secara umum masih jauh tertinggal. Keprihatinan yang disampaikan Gubernur, bertolak dari kekagetannya terhadap seorang anak kelas V SD yang tinggal bertetangga dengannya tidak bisa membaca, lantaran merasa tertekan selama berada di sekolah. Sungguh aneh bin ajaib memang, 

Karena di kota Kupang saja, ternyata masih ada anak SD yang tidak bisa membaca, (Kompas.com, 10/12/19). Realita ini menjadi satu tanda tanya besar terhadap sekolah, terhadap kualitas dan kinerja para guru. Bertolak dari persoalan ini, maka sebenarnya yang menjadi kendala ada pada siapa? Apakah, para guru, para siswa, ataukah fasilitas sekolah yang kurang memadai?

Seharusnya kualitas dan profersionalitas para pendidik dan pengajar (Guru/Dosen), perlu dibenahi lagi. Dalam hal ini, tenaga pendidik dan pengajar di sekolah, paling kurang harus bergelar Sarjana Pendidikan, sebab merekalah yang tahu situasi pendidikan formal dan mampu melihat berbagai kepincangan dalam dunia pendidikan kita. 

Perlu diingat bahwa, yang dibutuhkan pertama-tama dari tenaga pendidik dan pengajar adalah kualitas dan profersionalitas, baru setelah itu kuantitas. Apa artinya kuantitas pengajar lebih mendominasi situasi pendidikan namun tidak berkualitas? Hal ini berarti bahwa berjuang untuk mendapat gelar sarjana pendidikan bagi seseorang tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Namun perjuangan itu harus dibayar mahal dengan keringat dan kerja keras.

Selain kualitas para pendidik dan pengajar perlu dibenahi, yang perlu diperhatikan juga adalah keaktifan siswa selama di Sekolah (kelas). Sangat tidak benar bila para pendidik hanya berjuang demi meningkatkan intelek peserta didiknya, tetapi dia hanya pasif saja. Perjuangan pendidik atau pengajar sungguh sangat mulia dan amat luhur, namun harus dibayar dengan keaktifan siswa. Dalam dunia pendidikan, antara guru dan murid harus ada interaksi. 

Dalam arti siswa harus menimba potensi apa yang ada pada guru kalau ia ingin memiliki masa depan yang cerah. Bagai hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Ingin pengetahuan yang memadai demi mewujudkan cita-citanya, namun siswa itu sendiri menanamkan benih kepasifan dalam dirinya. Kalau begitu, sebenarnya hal ini salah siapa, guru atau siswa?

Kalau para pengajar telah memiliki kualitas mengajar yang baik dan dalam kegiatan belajar mengajar, para peserta didik juga sangat aktif dan kreatif, lantas, mengapa kualitas pendidikan kita di NTT masih rendah? Apakah sarana dan prasarana sekolah juga turut mempengaruhi? Secara kasat mata, fasilitas sekolah sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas satuan pendidikan. Fasilitas sekolah merupakan sarana yang membantu kerlancaran Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah. Hemat saya, dengan adanya fasilitas yang memadai, maka KBM akan berjalan lancar, dan para siswa tentu akan lebih aktif di kelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun