Saat pandemi ini, kita tentu sulit melepas diri dari gadget. Saya kira keterikatan itu bukan tanpa alasan, sebab apa yang mau kita buat selain mencari alternatif lewat Internet? Ya, sungguh adanya internet sangat cukup membantu kita semua ketika menjalani masa stay at home. Bagi keluarga di kota yang jaringan internet-nya kuat, tidak akan menjadi masalah.Â
Tapi, bagi kami di sini (NTT), khususnya di beberapa daerah terpencil, di mana internet juga belum ada, apa yang mau kami lakukan, selain berkebun atau berkunjung ke rumah tetangga terdekat dan sekadar bersanda-gurau - berbagi kisah?
Untuk saat ini, internet dengan segala fasilitas didalamnya, sangat memperngaruhi hidup dan aktivitas kita. Siapapun mereka, baik itu orang tua atau muda, anak kecil atau orang dewasa, sampai lansia, semua sedang berlomba mempelajari hal-hal yang ditawarkan internet dan perlahan kita sedikit mulai tidak gaptek.Â
Dan itu nampaknya benar. Terlebih media sosial. Keberadaan media sosial saat ini sedikit demi sedikit sudah merubah perilaku kita dalam banyak aspek, misalnya, dalam hal penggalian suatu informasi, perilaku belanja, menghabiskan waktu luang, serta dalam hal bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain (Hamburger & Ben-Artzi, 2000).
Siapa yang tidak mengenal Instagram, Facebook, Twitter, You Tube, dan WhatsUp? Semua medsos itu merupakan sarana komunikasi yang saat ini sedang ramai-ramainya digunakan. Lonjakan akses internet, khususnya ke media sosial mengalami peningkatan. Yang lebih parah lagi, ada orang memiliki lebih dari satu akun media sosial. Aaneh sekali ya,,, untuk apa coba? Tapi itulah fakta.
Keterikatan kita untuk mengakses medsos dengan durasi waktu yang panjang, dapat menjadikan kita mengalami adiksi (kecanduan). Mengapa? Karena kita sebagai pengguna media sosial tentunya akan berusaha memelihara pertemanan secara intens dengan orang lain di dunia maya, (Raacke & Jennifer 2008). Saya kira, ada indikasi, di mana saat ini, kita menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk mengakses media sosial hanya untuk mengusir rasa jenuh.
Nah, kalau melihat fakta berdasarkan data yang ada, kita bisa temukan bahwa keinginan untuk terkoneksi dalam jaringan (daring) bersama orang lain di medsos, dapat terjadi karena kita mengalami rasa takut kehilangan moment penting dari orang lain. Â Ya, saya kira ini ada benarnya. Sebab, saya cukup heran dengan perilaku kita dalam masa pandemi ini. Saya kasi contoh, di akun mendsos saya sendiri, ada banyak permintaan pertemanan, yang kesemuanya itu lebih banyak tidak saya kenal (maaf buat kalian yang sudah follow).Â
Saya bukan menyalahkan mereka, tetapi fenomena ini membuat saya kemudian coba menganalisis bahwa, membludaknya akses dari para pengguna media sosial (yang baru) saat ini disebabkan karena adanya intensitas yang cukup tinggi dari pengguna dalam mengakses internet. Akibatnya, kita mulai merasa cemas, gelisah, bahkan menjadi takut tertinggal dari aktivitas virtual orang lain.
Berbagai perasaan negatif yang muncul itulah yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FoMO). Dalam ilmu psikologi, fear of missing out (FoMO) adalah suatu perasaan cemas, gelisah dan takut kehilangan momen berharga yang dimiliki teman atau kelompok teman sebaya dalam media sosial, karena ia tidak dapat terlibat di dalamnya. Mungkin bagi kita, istilah FoMO masih asing, tetapi dalam cyber psychology istilah ini sudah cukup familiar. Secara konseptual, fenomena FoMO ini baru diteliti secara ilmiah oleh JWT Intelligence di tahun 2012 dan oleh Andrew Przybylski tahun 2013.
Kalau diurutkan, dari mana FoMO ini bisa terjadi, sebenarnya dimulai dari adanya kecenderungan untuk 'kepo' pada apa yang orang lain lakukan di medsos. Karena rasa penasaran yang begitu tinggi, maka keinginan kita untuk terus terkoneksi pada medsos jadi meningkat. Salah satu tanda yang sangat nyata bahwa fenomena FoMO sudah mulai berkembang adalah adanya keinginan untuk terus berhubungan dengan apa yang orang lain lakukan di akun medsos mereka.
Hemat saya, FoMO itu adalah sebuah kecemasan sosial yang dalam masa pandemi ini mungkin dianggap biasa oleh sebagian kita. Perlu kita sadari bahwa jika FoMO diabaikan dan dianggap sebagai hal yang lumrah, maka lambat laun kita akan mengalami perasaan kehilangan, stres dan merasa jauh jika tidak mengetahui peristiwa atau kegiatan yang dilakukan orang lain.Â