Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang NTT Itu...

28 April 2020   21:30 Diperbarui: 28 April 2020   21:36 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini lahir dari pertanyaan dasar atas kasus kemanusiaan yang diliput dan dikawal media ini belakangan. Tindakan anarkis manusia atas manusia yang diangkat sejujurnya mengugah-lapangkan tanggungjawab kemanusiaan dan karena itu mengundang kita semua untuk bertanya siapakah manusia itu dan atau dalam dialek Kupang: 'Orang NTT itu Sapa?'

Mengawali keprihatinan ini, saya memulai dengan meminjam pertanyaan dari Mochtar Lubis ketika merumuskan bagaimana manusia Indonesia masa kini di Taman Ismail Marzuki pada beberapa dekade lalu. Lubis menderetkan ciri-ciri manusia Indonesia dalam empat butir. Pertama, yang menonjol dari manusia Indonesia ialah sikap hipokrit. 

Sikap ini merupakan produk penjajah, dalamnya kata hati, perasaan, pikiran malah keyakinannya tetap menyelubungi bagian luar dirinya karena ternyata menghidupkan dan menyelamatkannya. Kedua, manusia Indonesia segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikiran dan sebagainya dan karena itu berdalih, 'Saya hanya melakukan perintah atasan!' Ketiga, manusia Indonesia dengan jiwa feodalnya. 

Oleh kekuasaanlah sikap ini diamini dalam kesadaran bahwa yang berkuasa hendaknya ditaati, dihormati, dipatuhi dan sebagainya. Sebab jika tidak demikian maka nasib yang dikuasai siap naas. Keempat, manusia Indonesia masih percaya tahyul. Adalah tabu bila benda, alam semesta dan tanda-tanda heran di luar akal sehat tidak diyakini bahkan tidak disembah, yang bersekolah sama seperti yang tidak bersekolah.

Tidak terhindar dari kritik atas kritik, Lubis sepertinya sudah jauh masuk ke wilayah nubari manusia Indonesia; bahwa bagi saya, pertanyaan ini belumlah final, defenisi manusia Indonesia belum mendekati kesempurnaan. Karena itu, pada akhirnya Lubis mengingatkan bahwa, 'sejarah bangsa Indonesia akan jadi historical irrelevance apabila kita tidak digugat dan menggugat.  

Lantas, seperti apakah orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur? Di mana 'rasa' kita saat melihat para pekerja (TKI & TKW) kita dipulangkan dalam kondisi jazad? Berapa lama kita hanya bisa 'maklum' dengan persoalan itu? Dan berbagai pertanyaan lanjutan lainnya... // 'kawan, jawab jujur sa su, apa yang lu lihat dan lu alami' //

Mestinya, rentang pertanyaan kritis dibentang sejauh jumlah kasus yang ada setiap tahunnya, supaya kasus buta ini tidak sampai larut di pinggir timba. Dan kita atas nama narasi, entah agama atau budaya, martabat atau harga diri, anggapan atau praduga, haruslah keluar dari kenyamanan diri sendiri dan menemui orang lain, sebab bagi saya, orang lain bukanlah suatu entitas yang berbeda. Orang lain adalah 'saya yang lain'. Orang lain adalah saya yang berada di luar diri. Maka tepatlah, jawaban dari judul di atas: 'Orang NTT adalah 'saya' dalam bentuk lain.

Walau begitu, mata kita tak bisa terus terbutakan dengan keegoisan dan 'masa bodoh' yang tak bernurani. Sampai kapan saudara dan keluarga pihak korban berduka dirintikkan empati dan simpati murahan yang kita wujudkan. 

Kita mesti segera menyelami dan melampaui sudut terdalam lubuk setiap orang NTT untuk menunjukkan bagaimana besar getarannya, di mana posisi asali gusarannya dan ada apa dengan sumber kegetirannya untuk sampai pada mengapa penjualan manusia, pembunuhan atasnya, serta kasus lainnya yang masih terselubung-sudah pasti-jauh dari liputan media.

Tragedi kemanusiaa di wilayah kita, kemarin dan akhir-akhir ini sudah sampai di ambang batas yang tak terseberangi mitos ataupun magis. Bagaimana dengan Yang Mahakuasa yang kita sembah saban hari mendengar suara-Nya dari antara mereka yang menderita, mati karena kelalaian kita, berjazad karena keteledoran kita? 

Sampai titik manusiawi ini, kiranya frame yang humanis dalam kebudayaan kita bisa dijadikan dasar dalam menyelami luasnya masalah human trafficking. Suku Dawan (Uab Meto) dalam kalimat aok bian (harafiah: tubuh sebelah) menerima perlakuan manusiawi adalah tidak adil, mesti diadili. Yang dalam kastil kosmos patriarkal pun diberlakukan do ut des.

Mungkin  kita perlu menyelesaikan pikiran kita sendiri agar dapat memahami siapa itu orang NTT; mulai dari tentang profilnya, filosofinya, peradabannya, kesadarannya dan kesehariannya sedini mungkin. Satu yang paling menonjol adalah bahwa kita sering dianggap 'keras'. Ya,, memang demikian adanya. 

Kami keras karena alam kami juga keras. Walau begitu, kami tidak keras kalau bicara kemanusiaan. Bagi saya, inti pemikiran ini adalah SDM yang kelak sampai hari ini kita pusingkan. Ditambah lagi, ketukan palu untuk para 'penjual' seolah mengheningkan cipta bagi saudara/i kami yang kini telah tiada. Sangat celaka.

Sulit memang melihat realitas orang NTT yang selalu dicap 'miskin', bodoh, terbelakang dan beragam label negatif lain yang sudah biasa kami terima. Maaf kawan, walau stigma negatif melekat pada kami, tapi kami bukan dan bahkan tidak mau menjadi 'pengemis' seperti yang banyak berkeliaran di kota kalian. 

Kami selalu memberi senyum, sekalipun muka terlihat geram, dan kami hanya bisa beri salam cium hidung (ba'cium hidung) sebagai tanda kalau kami bersaudara. Terasa ganjil memang bagi orang baru, tapi itulah realitas kami. Yang ada pada kami hanya ini, tidak lebih. Jadi berhentilah melabeli kami dengan stigma negatif.

Dan bagi mereka yang berpulang sudah dalam peti, semoga leluhur kami bisa memberi petunjuk pada siapa yang ingin harta dengan menumbal manusia.  Sebab orang NTT bukan barang. 

Kami juga manusia sama seperti kalian. Ironis memang, karena sejauh ini orang NTT hanya ditelusuri dalam alam pikiran teks seperti kata Derrida yang memang kita akui dengan segala kemanusiaan tertenun tapi (seharusnya) tidak kita restui apabila sampai pada detik ini sesama kita terus diperlakukan tidak manusiawi. Demikianlah, barangkali kita tidak perlu   terlalu jau mendefenisikan orang NTT itu siapa, karena kita semua bersaudara. Mari satukan hati, dan dengan berani katakana : 'STOP BA'JUAL ORANG NTT!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun