"Arunika: Cahaya Cinta"
Di batas malam, saat kelam menggantung rendah Â
Tersebutlah Swastamita, pria yang berdiri di ujung senja Â
Mencari terang di tengah kabut kehidupan, Â
Menanti sesuatu yang tak pernah tiba.
Hidupnya adalah duri tanpa bunga, Â
Langkahnya berat, tertatih oleh luka lama. Â
Hingga suatu fajar, Arunika datang, Â
Seperti sinar pertama di ufuk pagi.
Cahayanya lembut, bukan membakar, Â
Melainkan menghangatkan jiwa yang membeku. Â
Dalam tatapannya, Swastamita melihat dunia baru, Â
Dunia yang ia pikir tak pernah ada untuknya.
Arunika tak berkata banyak, Â
Namun setiap gerak dan senyumnya, Â
Adalah janji keabadian yang ia tak tahu ia rindukan, Â
Cinta yang tulus, tanpa syarat, tanpa beban.
Dia adalah matahari bagi malam Swastamita, Â
Menerangi jalan yang tak lagi suram. Â
Dengan Arunika, luka-luka lama mulai sembuh, Â
Kekosongan pun terisi oleh kebahagiaan murni.
Kini, setiap pagi, Swastamita menyambut fajar, Â
Bukan dengan kekecewaan, Â
Tapi dengan harapan dan senyuman, Â
Sebab Arunika, sang cahaya cinta, Â
Telah menjadi miliknya untuk selamanya.
"Swastamita: Jiwa yang Bergetar"
Di ujung senja, Swastamita termenung, Â
Meresapi jingga yang membias di cakrawala, Â
Ketenangan yang tak pernah benar-benar ada, Â
Sebab jiwanya bergetar, tak pernah hening. Â
Arunika, sang mentari pagi yang selalu datang, Â
Mengusik relung terdalam tanpa pernah tahu, Â
Bahwa kehadirannya menyapu segala resah, Â
Menembus hati yang terbungkus dingin kabut. Â
Setiap kali Swastamita merasakan bayang itu, Â
Sekejap mata, arus hangat menyelimutinya, Â
Bukan cinta yang biasa, bukan gairah yang liar, Â
Namun kedalaman yang tak terucapkan kata. Â
Dalam setiap kehadiran Arunika, Â
Swastamita berdiri di antara rindu dan cemas, Â
Tak tahu bagaimana menyampaikan, Â
Getaran di dadanya yang kian hari memuncak. Â
Dia bukanlah awan, tapi bagian dari langit, Â
Selalu ada di tempat yang sama, tak tergapai, Â
Sementara Arunika hanya singgah, Â
Sejenak sebelum pergi menjemput hari. Â
Ah, Swastamita terus bergetar, Â
Menanti fajar, menanti hangatnya mentari, Â
Menyadari bahwa ia tak bisa berhenti berharap, Â
Pada sinar yang mungkin tak pernah jadi miliknya.
"Purnama Cinta Arunika"
Dalam kelamnya malam tanpa bintang, Â
Arunika hadir sebagai purnama terang, Â
Menerangi langit yang semula muram, Â
Seakan menghapus semua duka dan dendam. Â
Cintanya lembut, tak perlu suara, Â
Seperti bisikan angin di antara sela dedaunan tua, Â
Tak tergesa, tak meminta lebih, Â
Namun kehadirannya selalu meneduhkan hati yang letih. Â
Bagai purnama menggantung di langit hitam, Â
Arunika bertahta di hatiku yang kelam, Â
Tanpa pernah memaksa cahayanya terlihat, Â
Namun selalu ada, selalu dekat. Â
Saat dunia terlelap dalam mimpi-mimpi kosong, Â
Cinta Arunika tetap teguh dan kokoh, Â
Menjaga setiap sudut hati yang nyaris patah, Â
Memberi hangat tanpa pernah marah. Â
Oh, Purnama Cinta Arunika, Â
Kau adalah harap dalam malam gulita, Â
Di balik keraguan yang pernah ada, Â
Kau sinar, kau cinta, kau cahaya
Cilacap, September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H