Mohon tunggu...
Dibbsastra
Dibbsastra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Minat saya adalah sebagai penulis cerpen, puisi, quotes, artikel, novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Cursed Boy with a Devil's Heart - Part 5

7 September 2024   07:35 Diperbarui: 7 September 2024   07:37 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesialan yang Tak berujung

Hari itu seharusnya menjadi baru biasa di keluarga Mira, namun kesialan yang terus dibawa arka tampaknya tak mengenal batas. Arka, yang kini menginjak usia 12 tahun, telah lama menjadi sumber masalah bagi keluarga. Namun, kali ini, ulangnya memicu amarah yang tak terbendung dari kakaknya, bima.

Siang itu, bima pulang dari sekolah dalam kondisi yang memperihatinkan. Wajahnya penuh dengan luka lebam, bibir pecah, dan seragam sekolahnya kotor akibat perkelahian yang baru saja dialaminya. Mira, yang memilih kondisi anak sulungnya, terkejut dan langsung berlari menghampirinya. "Bima! Apa yang terjadi?" tanya Mira dengan nada cemas, memeluk anaknya erat

Bima menghempaskan pelukan ibunya dan menatap tajam ke arah Arka, yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponsel. "Ini semua gara-gara dia!" teriak Bima, menunjuk arka dengan tangan gemetar, penuh kemarahan. "Dia provokasi anak-anak di sekolah! Aku yang jadi sasarannya!"

Mira terdiam, menoleh ke arah Arka yang tampak acuh tak acuh. "Arka, apa yang kamu lakukan lagi?" tanya Mira lelah, mencoba mencari penjelasan dari putranya. Namun, bukannya merasa bersalah, Arka malah tersenyum sinis, seolah tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ya udah, kalau mereka bodoh, kenapa aku yang disalahin?" jawab Arka santai, matanya tak lepas dari layar ponselnya.

Bima yang mendengar jawaban itu langsung kehilangan kendali. Dengan gerakan cepat, dia melompat ke arah Arka, menendang adiknya dengan seluruh kekuatan amarah yang telah lama dipendam. "Kamu ini benar-benar anak iblis!" teriaknya, wajahnya memerah karena marah. "Semua yang kamu lakukan hanya membawa kesialan! Kamu menghancurkan hidup semua orang di rumah ini!"

Arka terjatuh ke lantai, tapi bukannya merasa takut atau menyesal, dia malah tertawa terbahak-bahak. Tawa itu terdengar seperti cemoohan yang menusuk hati siapa saja yang mendengarnya. "Hahaha! Kamu pikir aku peduli? Kalian semua cuma menyalahkan aku untuk masalah kalian sendiri. Aku gak peduli!" teriaknya sambil tertawa semakin keras.

Mira, yang sudah kehabisan cara untuk menenangkan anak-anaknya, hanya bisa berdiri terpaku ditengah-tengah ruang tamu, menyaksikan pertengkaran antara dua anaknya. Air mata mulai menggenang di matanya, namun dia tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghentikan kekacauan ini. Hatinya hancur melihat betapa jauhnya Arka terjatuh dalam sikap acuh tak acuh dan keras kepala.

"Arka, hentikan! Bima, kamu juga!" suara Mira terdengar bergetar, tapi tidak ada yang mendengarnya. Bima semakin murka, memukul Arka dengan tangan kosong. Sementara itu, Arka terus tertawa, seolah-olah rasa sakit tidak pernah menyentuhnya. Tawa itu membuat Bima semakin merasa direndahkan.

"Sudah cukup!" Teriak Mira, mencoba memisahkan mereka dengan memegang lengan Bima yang kini basah oleh keringat. "Bima, kamu bisa menyakiti dia! Jangan lakukan ini!" Namun, Bima tetap tidak bisa menahan amarahnya. Dia merasa seluruh kesialan dalam hidupnya berasal dari Arka, dan hari itu, ledakan kemarahan yang sudah lama tertahan akhirnya tidak bisa lagi dikontrol.

Akhirnya, setelah beberapa pukulan lagi, Bima berhenti. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar karena kemarahan yang meluap-luap. Arka, yang kini terbaring di lantai dengan beberapa luka di wajahnya, masih tetap tertawa, meskipun dengan suara yang lebih pelan. "Kamu pikir aku bakal berubah? Kamu pikir aku bakal minta maaf?" ejek Arka, sambil menyeka darah di sudut bibirnya. "Kalian semua bodoh kalau berpikir begitu."

Bima mundur beberapa langkah, matanya berkilat penuh kebencian. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tanpa menatap Mira, dia mengambil tas sekolahnya dan berjalan keluar rumah dengan langkah berat. Mira hanya bisa melihatnya pergi, tak mampu mengatakan apa-apa. Perasaan bersalah dan putus asa membebani hatinya.

Malam itu, suasana rumah begitu sunyi, seperti ada jarak yang begitu lebar di antara semua anggota keluarga. Rana, yang selama ini menjadi saksi bisu dari semua kekacauan, tersembunyi di balik pintu kamarnya, menangis tanpa suara. Dia terlalu takut untuk terlibat, terlalu kecil untuk mengerti mengapa keluarganya hancur seperti. Dalam pikirannya yang polos, dia hanya bisa bertanya-tanya mengapa kakaknya, Arka, begitu berbeda dari yang lain.

Setelah peristiwa tersebut, Bima mulai menjauh dari keluarga. Dia pulang lebih larut setiap harinya, dan kadang-kadang tidak pulang sama sekali. Mira tahu bahwa anak sulungnya mencoba melarikan diri dari tekanan yang ditimbulkan oleh Arka, tetapi dia merasa tidak berdaya untuk menghentikan hal itu. Sementara itu, Arka semakin menjadi-jadi. Dia seperti menikmati setiap kekacauan yang dibuatnya, seolah-olah dia merasa berkuasa dengan membuat orang lain menderita.

Di sekolah, tingkah laku Arka juga semakin parah. Beban yang di pikul sebagai ibu tunggal semakin berat, dan dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari pertolongan. Dia sudah berkali-kali mencoba berbicara baik-baik dengan Arka, tetapi anak itu tampaknya tidak peduli dengan apa pun yang dia katakan.

Setiap hari, Mira merasa hidupnya semakin hancur. Beban yang dia pikul sebagai ibu tunggal semakin berat, dan dia tidak tahu harus ke mana lagi mencari pertolongan. Dia sudah berkali-kali mencoba berbicara baik-baik dengan Arka, tetapi anak itu tampaknya tidak peduli dengan apa pun yang dia katakan.

Kesialan yang ditimbulkan Arka tidak hanya berdampak pada keluarga, tetap juga lingkungan sekitarnya. Setiap kali ada peristiwa buruk yang terjadi di sekitar kampung, orang-orang selalu menyalahkan Arka. "Anak itu memang pembawa sial," bisik-bisik mereka. Bahkan beberapa tetangga mulai menghindari keluarga Mira, seolah takut tertular nasib buruk yang dibawa oleh Arka.

Mira tidak pernah berhenti berdoa agar anaknya berubah, agar keluarganya bisa kembali hidup dengan damai. Namun, semakin lama dia semakin merasa bahwa harapannya hanyalah sebuah ilusi. Arka terus membawa kesialan, dan tidak ada tanda-tanda bahwa semua ini akan berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun