"Bapak nggak ngerti apa-apa! Sekolah nggak ada gunanya. Aku nggak mau pergi, dan Bapak nggak bisa maksa!" Arka berteriak, melompat dari tempat tidur, dan berdiri berhadapan dengan ayahnya. Tatapan penuh kebencian di mata anak itu membuat Iwan terpukul. Dia tidak mengerti dari mana semua kemarahan ini berasal.
Iwan menatap anaknya dengan campuran amarah dan kepedihan. Dalam hatinya, dia tidak bisa memahami mengapa anaknya bisa berubah menjadi seperti ini. Dia mencoba menahan diri, meskipun tubuhnya sudah tidak kuat lagi menahan emosi yang membuncah. Tangan kirinya perlahan meraba dadanya yang mulai terasa sakit, tetapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Arka.
Dengan langkah berat, Iwan berbalik meninggalkan kamar tanpa berkata sepatah kata pun. Dadanya semakin sesak, dan napasnya mulai terasa semakin sulit. Dia berjalan kembali ke ruang tamu, duduk dengan lemah di kursi, sambil memegang dadanya yang terasa berdenyut. Tatapan dingin Arka, serta kata-kata pedasnya, terus terngiang-ngiang di telinganya.
Dua hari kemudian, Iwan mengalami serangan jantung yang lebih parah dari sebelumnya. Saat itu, dia sedang duduk sendirian di ruang tamu, memikirkan segala hal yang terjadi dengan keluarganya. Tubuhnya tiba-tiba terkulai lemas, dan napasnya tersengal-sengal. Serangan jantung kali ini berbeda---lebih kuat, lebih menyakitkan. Dengan sisa tenaganya, Iwan berusaha memanggil Mira, tapi suaranya hanya terdengar lirih.
Mira, yang sedang berada di dapur, langsung berlari ketika mendengar suara benda jatuh di ruang tamu. Ketika dia sampai, dia melihat Iwan tergeletak di lantai, wajahnya pucat pasi, dan napasnya hampir tidak terdengar. Dengan panik, Mira mencoba memanggil bantuan, namun semuanya terlambat. Iwan menghembuskan napas terakhirnya di hadapan Mira, meninggalkan keluarga itu dalam kehancuran.
Mira hanya bisa menangis tanpa suara, merasakan hancurnya dunianya. Dia tahu bahwa kemarahan dan kebencian yang Arka lontarkan telah menyakiti suaminya hingga akhirnya menyerah pada penyakitnya. Di dalam hatinya, perlahan-lahan tumbuh perasaan benci dan takut terhadap anaknya sendiri. Arka, bagi Mira, bukan lagi anak kecil yang perlu dibimbing. Dia adalah kutukan yang membawa malapetaka bagi siapa saja di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H