Pada secangkir kopi, Â
kukirimkan rindu yang tak bertepi, Â
aroma pahitnya mengingatkanku, Â
pada kenangan yang tersisa dalam jejak waktu.
Butiran hitam yang mengalir, Â
seperti air mata yang jatuh perlahan, Â
mengalirkan keperihan yang tersembunyi, Â
dalam heningnya malam yang tak bertepi.
Rasa pahitnya, Â
menyisakan getir dalam setiap tegukan, Â
seperti hatiku yang tergores luka, Â
oleh bayangan yang enggan pergi.
Di balik uap yang mengepul, Â
tersembunyi rindu yang tak kunjung padam, Â
pada dirimu yang jauh di sana, Â
seperti bintang yang tak dapat kugapai.
Kopi ini adalah saksi bisu, Â
dari harapan yang terselip di antara serbuknya, Â
aku meneguk rindu yang tak terbalas, Â
hingga cangkir ini pun kosong dan hampa.
Namun, pahitnya tetap kurasa, Â
membekas di lidah dan hati yang terluka, Â
seperti cinta yang tak terucap, Â
meninggalkan jejak dalam setiap detik yang terlewat.
Pada cangkir kopi yang tinggal setengah, Â
kusimpan kenangan tentang kita, Â
yang perlahan memudar dalam kehangatan, Â
seperti kopi yang mendingin dalam kesunyian.
Cilacap, Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H