Mohon tunggu...
Ferdiansyah Rivai
Ferdiansyah Rivai Mohon Tunggu... Administrasi - Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arief Budiman dan Seorang Penganggur di Sudut Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II

24 April 2020   17:44 Diperbarui: 24 April 2020   17:44 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurang lebih 8 tahun yang lalu, saya diwisuda dan secara resmi menyandang gelar sarjana ilmu politik. Seminggu kebahagiaan itu bertahan, sampai akhirnya tersadar bahwa telah secara resmi pula saya bergabung dengan para pencari kerja alias pengangguran. Ya, saya ada di barisan itu, karena saya memang tak punya cukup privilege dan koneksi untuk menciptakan lapangan kerjaan. Ide tentu berserakan, tapi bagaimana dengan akses modal? Siapa yang mau memodali manusia seperti saya? Apa jaminannnya?

Karena tak mungkin jadi pengusaha, maka saya harus jadi kelas pekerja. Masalahnya kerja apa? Saya renungi pelan-pelan, hingga akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa saya hanya tertarik dengan dunia sekolah dan tulis menulis. Maka pilihannya: jadi guru, dosen, atau jurnalis?

Menjadi guru saya coret, karena selama perenungan teringat bagaimana ajaibnya kelakuan saya dan teman-teman selama masa SMP-SMA. Sekarang tinggal jadi dosen atau jurnalis. Skala prioritasnya: dosen, baru kemudian jurnalis. Karena walau bagaimanapun ajaibnya kelakukan, sekolah tetap menjadi tempat ternyaman bagi saya selain rumah.

Celakanya, di tahun 2011 itu tidak ada lagi penerimaan dosen dengan latar belakang S1, harus S2: Master !!! Saya lemas, dan coba beralih dengan mencari lowongan jurnalis di koran-koran. Sembari itu juga, saya membangun pilihan lain: cari beasiswa S2 lalu jadi dosen.

Yang saya tahu waktu itu, semua beasiswa mau dalam negeri ataupun luar negeri, syarat utamanya bukan pintar, tapi mampu berbahasa inggris. Dan pergilah saya ke Kampung Inggris di Pare, untuk mendapatkan kemampuan itu. Dan ini, sebelum berangkat, saya menyempatkan diri datang ke Pameran Buku di Graha Wanitatama Jogja. Ya kalo mau jadi dosen harus baca buku donk. Dan dengan sisa sisa uang jajan yang saya punya waktu itu, saya membeli beberapa buku yang salah satunya berjudul: Kebebasan, Negara dan Pembangunan karya Arief Budiman.

Ini adalah kumpulan esai Pak Arief sejak tahun 1965-2005 dengan ragam tema; mulai dari politik hingga sastra. Alasan saya membeli buku ini adalah karena sebelumnya sudah mengenal adiknya Soe Hok Gie, melalui biopic dan catatan hariannya yang ternama itu. Buku pak arief ini kemudian menjadi salah satu teman terbaik saya dalam menjalani masa-masa pengangguran

Ada beberapa hal menarik yang masih saya ingat dari buku tersebut. Antara lain esai mengenai pengalamannya kembali lagi ke Jakarta setelah menyelesaikan S3nya di Amerika Serikat.

Saya sudah sejak lama mendengar cerita bagaimana sulitnya adaptasi orang-orang yang baru pulang sekolah dari luar negeri. Rata-rata mereka mengeluh karena harus menyesuaikan diri lagi dengan ritme hidup (masyarakat, birokrasi, bisnis dll) Indonesia yg tidak disiplin dan bertele-tele (tidak efektif dan efisien).

Tapi Pak Arief beda, yang pertama dia keluhkan adalah bagaimana perubahan Jakarta yang sangat  ironi: di satu sisi terdapat banyak gedung-gedung pencakar langit, tapi di sisi lain, di belakang gedung-gedung tersebut terdapat perkampungan kumuh. Selain itu ia juga merasa asing berada di antara teman-teman lamanya yang kini sudah tidak lagi berkumpul di warung-warung kopi rakyat. Mereka kini berkumpul di hotel-hotel mewah sambil minum wine, beer atau coke.

Saya rasa atas alasan ini pula Pak Arief akhirnya memilih untuk hidup dan mengabdi pada kampus sederhana UKSW yang ada di kota kecil nan sejuk di Jawa Tengah: Salatiga. Padahal dia adalah penerima Ph.D dari kampus nomer satu di dunia: Harvard University.  Yang mana alumninya tentu sangat langka, sehingga punya banyak kesempatan untuk memasuki dunia profesional manapun yang jauh lebih makmur secara finansial.

Tulisan lain yg juga sangat membekas adalah mengenai bagaimana Pak Arief mengkritik Sastra yang ada di Majalah Horison yang menurutnya surealis, kebarat-kebaratan, dan keungu-unguan. Pak Arief dan kelompoknya menwarkan Sastra Kontekstual, yaitu sastra yang mengakar dan mengabdi pada persoalan-persoalan ekonomi politik di masyarakat. Ya, Pak Arief memang juga terkenal sebagai aktivis dan pemikir kiri yang memperkenalkan teori dependensia (ketergantungan) pada masyarakat Indonesia. Padahal Pak Arief dulunya bersama beberapa pentolan Horison adalah penandatangan Manifesto Kebudayaan yang terkenal sebagai kelompok liberal. Tapi mereka akhirnya bersebrangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun