Bukan Jakarta,Bandung, Surabaya, Jawa Tengah, 19 Oktober 2016
Kepada
Yang Mulia Abah Habib Rizieq
Assalaamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh,
Mohon maaf sebutan “Abah” mendahului penyebutan “Habib” sebab tradisi dikampung kami menyebut Habib didahului kata Abah. Mengingat Abah Habib berasal dari zuriat yang dimuliakan umat sebagai keturunan Saidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, maka saya memilih menggunakan kata “Yang Mulia.”
Kemuliaan yang dimiliki Abah Habib menghilangkan nyali saya untuk mengakui atau mengatakan bahwa perbuatan tertentu Abah Habib salah atau tidak tepat menurut pendapat orang, saya memilih diam. Apalagi sampai mencela, mengejek, menghina, mencemarkan nama baik, mengemukakan pendapat yang berseberangan dengan pendapat Abah Habib, saya tidak berani. Karena takut kualat – lebih takut lagi dinilai tidak menjunjung atau memuliakan Abah Habib sebagai keturunan rasul sekaligus ulama.
Abah Habib Rizieq Shihab Yang Mulia,
Sejauh ini pengetahuan agama saya terbilang kurang dan jauh tertinggal dibanding anak-anak zaman sekarang yang mereka peroleh melalui metode pendidikan modern, guru atau ustadz modern, buku dan bahan bacaan melimpah, diajarkan diruang beton serta kelengkapan fasilitas pendidikan yang serba multimedia. Saya adalah salah satu dari generasi masa lalu yang diajarkan lewat kurikulum 1984. Jika dibilang beruntung maka anak-anak zaman sekarang jauh lebih beruntung. Era kami adalah era dimana setiap bulan para orang tua harus membayar SPP. Menyadari itu, mana berani saya berdebat soal ilmu, soal pemahaman, apalagi menyoal Pancasila, menyoal konstitusi, lebih jauh menyoal Ayat-ayat Tuhan.
Pertanyaan Pertama, mulanya saya enggan berpikir, namun diperintahkan oleh Abah Habib untuk berpikir, dan kalau tidak memikirkannya saya kuatir digolongkan sebagai kaum Zindiq yang selalu gagal paham seperti dikatakan oleh Abah Habib. Sehingga pikiran yang dipaksa ini memunculkan pertanyaan yang tentunya amat mudah dijawab Abah Habib, yaitu :
Misalnya saat ini terdapat 2 (dua) calon gubernur DKI Jakarta yang harus dipilih masyarakat muslim, Gubernur petahanan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan Abu Umar Al Bagdadi (Pemimpin Isis), atau Usamah bin Laden, atau Al Hajjaj bin Yusuf At Tsaqafi, atau Marwan bin Hakam, atau Yazid bin Muawiyah, atau Ubaidillah dari Kufah, atau Musa Al Asya’ri, atau kaum Khawariz yang telah membunuh Saidina Ali bin Abi Thalib, atau pengkhianat-pengkhianat yang bertanggungjawab terhadap wafatnya Saidina Hasan dan Hussein bin Ali bin Abi Thalib, mereka semua adalah muslim dan sebagai muslim apakah saya harus memilih mereka dan tidak memilih Basuki Tjahaya Purnama?
Kemudian misalnya saat ini terdapat 2 (dua) calon gubernur DKI Jakarta yang harus dipilih masyarakat muslim, Gubernur petahanan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan mantan presiden PKS Luthfi Hasan, atau Dimas Kanjeng Taat Pribadi, atau Andi Mallarangeng, atau Angelina Sondakh, atau mantan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, atau mantan Ketua MK Akil Mochtar, atau mantan Ketua DPD Irman Gusman, atau Chairunnisa, atau mantan anggota DPR Damayanti, dan lain-lainnya dimana mereka semua adalah muslim dan sebagai muslim apakah saya harus memilih mereka dan tidak memilih Basuki Tjahaya Purnama?
Pertanyaan diatas penting saya ajukan, karena kelak anak-anak kami akan mengajukan pertanyaan serupa kepada saya disaat mereka dewasa nanti hingga berlanjut dimasa cucu serta cicit mereka.
Semoga Yang Mulia Abah Habib Rizieq Shihab sudi menjawab langsung kedua pertanyaan diatas melalui kolom komentar.
Jika terdapat kata-kata yang dinilai kurang berkenan, maupun kekhilafan dalam tulisan ini, saya minta maaf. Tentu masyarakat Indonesia memiliki banyak pertimbangan saat menentukan pemimpin dengan tidak hanya mempertimbangkan faktor agama semata.
Sumber gambar: www.habibrizieq.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H