Mohon tunggu...
Diba Dorothea
Diba Dorothea Mohon Tunggu... -

Masih berstatuskan mahasiswi untuk konsentrasi studi Komunikasi Pemasaran dan Periklanan di salah satu universitas swasta, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk 'bercengkerama' dengan hal-hal yang saya cintai; warna, kata dan anak. Satu hal yang saya catat betul dalam benak saya: pengetahuan yang murni - tak terusik kepentingan apapun - juga yang jujur, didapat dari kehidupan dan alam semesta. Bukan dari sekolah. :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Telepon Asing Dini Hari

17 Agustus 2010   21:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku terbangun sekitar pukul tiga dini hari dengan peluh membasahi dahi dan leherku. Kukerjapkan kedua mata, memegangi dada yang sedikit tersengal sambil mencoba mengingat seperti apa tepatnya mimpi yang membuatku terbangun. Sesuatu yang menakutkan kah? Atau hal buruk terjadi pada orang-orang yang kukasihi?

KRIIIING..! Telepon berbunyi. Aku melirik jarum jam yang menunjuk angka tiga lebih lima belas menit.
KRIIIING..!
"Ya?" jawabku serak.
"Hmm..", suara lelaki bernada berat dan dalam dari dalam telepon.
"Iya, siapa ini?"
"Tadi tidak melihat layar sebelum menerima telepon?"
"Lihat," jawabku mulai sepenuhnya sadar dari tidur, "Unknown number."

"Siapa ini?" tanyaku lagi setelah diam beberapa saat.
"Udara."
"Apa?"
"Kembalilah tidur, pastikan telepon ini tetap dalam genggamanmu."
Dengan segera aku bangkit dan duduk tegak, "Ha? Apa? Siapa ini? Apa maksudmu?"
"Tidurlah, tetap pegang teleponmu."
...TUT.. TUT...
Telepon dimatikan.

Aku bersungut-sungut sambil menyambar rokokku hingga menyulutnya dengan kasar. 'Sialan,' pikirku, 'Orang gila. Membangunkan orang dengan asal memencet nomor lalu bicara aneh-aneh. Sial.' Aku masih bicara pada diriku sendiri sambil duduk gelisah saat pelan-pelan nafasku mulai berat. Bertanya-tanya aku memegang dadaku sambil sesekali mengangkat muka untuk meraih nafas. Sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi, aku memutuskan untuk mematikan rokok dan kembali berbaring.

..*.. ..*.. ..*..

Samar deru kendaraan bergantian singgah di telinga. Setengah menyadari dadaku tak lagi terasa sakit, aku membuka mata dan melotot seketika.

Rumput dan tanah. Lapangan terbuka. Dua pohon beringin di kedua ujung tubuh. Warung-warung tenda di tepi jalan. Satu dan dua kendaraan. Selebihnya sepi. Tak ada manusia, yang ada hanya mentari. Kuseka keringat yang mulai membasahi wajah dan leherku. Pakaianku masihlah daster biru yang banyak terdapat di emperan Malioboro. Kakiku terasa gatal. Saat kubalikkan tubuhku dari satu posisi miring, seorang ibu berkain jarik sedang memandangiku.

"Sering kesini, Nduk?" tanyanya.
Masih kaget dan lemas aku menjawab perlahan, "Beberapa kali," lalu menggaruk kakiku, "Dulu."
"Duduklah. Sudah siang. Ndak baik tidur-tiduran jam segini."
Sambil menghela nafas panjang aku bergerak duduk dan memeluk kedua kakiku. Seingatku, aku tak tidur disini. Yang terjadi terakhir kali adalah nafasku sesak dan aku merebahkan diri diantara bantal-bantal bersarung merah. Bukan di atas rumput. Bukan tanpa atap. Bukan di tengah lapangan.
"Kemana orang-orang?" tanyaku.
Ibu berjarik dengan gincu berlebih tersenyum sinis.
"Ibu siapa?"
Kali ini dia memalingkan muka.
"Begini ya Bu," kurendahkan nadaku bicara untuk menekan takutku, "Saya nggak tau ini mimpi atau bukan. Tapi yang jelas, saya merasa dalam keadaan sadar sekarang dan saya tidak berada dalam kamar saya."
Dia mulai menyentuh gelungan rambutnya dan melepasnya perlahan.
"Kenapa saya ada disini?"
Mukanya ditundukkan sambil menyisir rambut legam berminyak yang panjang.
"Bu!"
Tak bergeming.
"Ibu dengar saya nggak sih? Jawab dong!" bentakku.
Lagu berbahasa Jawa melantun pelan dari bibirnya yang hampir tak bergerak. Rasanya seperti dalam satu bagian film horor. Bedanya, kejadian seperti ini akan mengambil setting malam hari, bukan siang bolong. Kujulurkan telunjuk kanan dan menyentuh kakinya yang terlipat menyamping. Ia tak bergerak. Pelan aku berdiri, melangkah mundur dan mulai berlari ketika cukup jauh dari tempatnya duduk mmenyisir rambut.

Orang-orang masih tak terlihat. Satu dan dua kendaraan lewat namun terlalu cepat untuk dapat melihat pengendara. Aku masih berlari sekencang mungkin hingga mencapai deretan rumah. Beberapa bermodel kuno dan beberapa terlihat mewah. Salah satu pagar di kejauhan terbuka. Aku memutuskan untuk memasukinya, siapa tahu ada yang bisa menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi. Siapa tahu aku dapat meminta segelas air. Atau sekalian saja aku pingsan di halamannya hingga ada yang menemukan dan menolongku.

Pagar itu tinggal beberapa meter di hadapanku, saat sesuatu yang besar dan keras menghantam tubuhku.

..*.. ..*.. ..*..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun