Persyaratan ini terpenuhi sepanjang tempat usaha tadi tersedia untuk digunakan SPLN sehingga SPLN tersebut memiliki akses yang tidak terbatas untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Selain itu, tempat tersebut memang digunakan oleh SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Ketiga kriteria tersebut harus terpenuhi semua atau bersifat kumulatif agar suatu BUT dapat terbentuk. Ketiga kriteria yang dimaksud di atas adalah untuk penentuan BUT berupa tempat usaha tetap (Basic Rule). Adapun jenis kriteria BUT lain selain BUT yang berupa tempat usaha tetap tersebut, yaitu yang dikenal dengan Deemed BUT. Deemed rule artinya bahwa BUT dianggap terbentuk meskipun basic rule tidak terpenuhi, sehingga tidak perlu memenuhi 3 kriteria di atas. Jenis BUT yang termasuk Deemed BUT yaitu:
- BUT Jasa
Konteks BUT Jasa dalam hal ini yaitu pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dengan syarat:
- pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh SPLN atau subkontraktor dari SPLN tersebut;
- pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
- pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.
   2. BUT Proyek (Konstruksi, Instalasi, Perakitan)
BUT Proyek disini didefinisikan sebagai adanya proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan yang merupakan usaha atau kegiatan SPLN di Indonesia.
   3. BUT Agen
BUT Agen dalam hal ini yaitu adanya orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas sepanjang orang pribadi atau badan tersebut bertindak untuk dan atas nama SPLN, dengan syarat:
- menerima instruksi untuk kepentingan SPLN dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya; atau
- tidak menanggung sendiri risiko usaha atau kegiatannya.
  4. BUT Asuransi
BUT Asuransi dalam konteks ini adalah adanya agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat:
- menerima premi asuransi di Indonesia; atau
- menanggung risiko di Indonesia dimana pihak tertanggung bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau berada di Indonesia.
Contoh Permasalahan Kasus Sengketa Pajak Atas Penentuan BUT di Indonesia
Dalam lingkup perpajakan internasional, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus selalu memperlihatkan kinerja yang terbaik terkait pemajakan WPLN, yang dalam hal ini WPLN berbentuk BUT. Untuk memajaki suatu BUT, tentunya DJP harus bisa membuktikan dengan jelas bahwa keberadaan BUT tersebut terpenuhi dan terdapat kewajiban perpajakan atas objek pajaknya. Pada beberapa kasus yang saya ketahui, sering kali DJP mengalami kesulitan apabila terdapat sengketa pajak terhadap suatu entitas yang dianggap sebagai BUT dalam penentuan sebagai BUT di Indonesia. Kesulitan tersebut dapat berupa kurangnya bukti yang jelas dan nyata, serta terkadang ada sangkut pautnya dengan ketentuan yang diatur dalam P3B negara yang berkaitan dengan sengketa tersebut, sehingga DJP mengalami kekalahan pada saat di pengadilan. Selanjutnya, untuk lebih jelas memahami terkait bagaimana kronologi lebih rinci mengenai sengketa pajak, terdapat salah satu contoh sengketa pajak dalam penentuan BUT sebagai Kantor Perwakilan Dagang Asing yang ada di Indonesia.
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI (PK) Nomor 1518/B/PK/PJK/2017
Pokok Sengketa   : Penentuan Status BUT Wajib Pajak sebagai Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA) yang Terutang PPh Pasal 15 atas Objek Pajaknya.