Sebuah Pesta yang (Seharusnya) Berkelanjutan
Dalam pesta sederhana tersebut, Jogja Mendongeng 2023 menampilkan 10 pendongeng. Para pendongeng yang tampil pun berasal dari berbagai macam latar belakang. Inilah yang membuat keunikan tersendiri. Ada Kak Aio, Kak Rungki, Kak Nita, Teh Tarik Rasa Vanta, Kak Aqila, Kak Padma Kebon, Kak Anin dan Pra, Kak Ana dan Viki, Kak Henokh, dan ditutup oleh penampilan Kak Asita yang berkolaborasi dengan Kak Pupuh dan Kak Oscar Artunes.Â
Kesemuanya memiliki kekhasan sendiri dalam merespon tema yang diberikan. Tidak ketinggalan, para penonton juga merespon dengan sangat aktif dari para penampil. Auditorium IFI LIP berubah menjadi "arena bermain". Tak nampak lagi sekat-sekat antara penampil dengan penonton. Mereka sumringah dan tidak ada raut wajah lelah.
Di balik pesta yang sederhana tersebut, ada sebuah makna yang seharusnya menjadi perhatian khalayak umum. Membicarakan dongeng, tidak dapat dilepaskan dari ranah pendidikan. Dongeng-dongeng sedehana yang ada merupakan sebuah manifestasi dari sebuah pola pikir yang mendasar. Dongeng juga mampu menuntun alur berpikir individu.Â
Sebuah cerita yang ada di dongeng biasanya akan memuat pola problematik yang diselesaikan dengan didaktik. Penikmat dongeng diajak untuk mampu menguraikan masalah dan menemukan solusi dengan proses belajar. Adanya proses belajar inilah yang menjadikan dongeng memiliki peran dan fungsi penting dalam tumbuh kembang anak-anak. Seperti yang dijelaskan kurator oleh Apri Damai Sagita Krissandi, kurator yang juga ahil di bidang sastra anak.Â
Pastinya penyelenggaraan Jogja Mendongeng juga masih harus belajar banyak karena ia masih bayi. Namun, ia harus selalu tumbuh dan berkembang. Membicarakan mendongeng sejatinya juga membicarakan investasi, khususnya di bidang literasi.Â
Kebudayaan dan pendidikan yang saling beririsan menjadi salah satu argumen kuat. Mengapa acara seperti Jogja Mendongeng harus berkelanjutan. Kita belum bisa merasakan dampaknya sekarang. Tetapi dengan adanya konsistensi dan keberlanjutan maka bukan tidak mungkin investasi tersebut akan mendapatkan hasil. Mengutip pepatah dulce et utile, jika belajar bisa dilakukan dengan cara yang nikmat atau menyenangkan. Jika bisa dilakukan, mengapa tidak? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H