Siapa tak mengenal aplikasi Tik Tok? Saya rasa hampir semua kalangan menggunakannya, dari selebritis sampai bayi yang baru lahir pun sudah dikenalkan. Sehingga menjadi sebuah keharusan kita untuk melakukan "wajib lapor" kepada aplikasi ini jika sedang melakukan aktivitas apapun. Â
Aplikasi besutan Bytemod Pte. Ltd ini telah mampu membuat sekitar 50 juta orang di seluruh dunia rela memasangnya di gawai mereka. Sungguh, aplikasi ini mampu memberikan kesegaran bagi warganet.
Penggunaannya yang relatif mudah dengan berbagai fitur menarik di dalamnya membuatnya menjadi lebih familiar untuk digunakan.Â
Semuanya tampak bahagia dalam merayakan keberadaan TikTok di negeri ini. Lalu muncullah para influencer baru di dunia maya dan serta merta mereka dipuja-puja bak kerang ajaib milik Spongebob Squarepants. Bahkan rela menjual nalar dan nurani mereka demi bertemu sang idola.
Sebenarnya sah-sah saja mereka mengunduh aplikasi tersebut, toh saya juga tidak membelikan kuota dan gawai mereka. Tetapi ada yang menarik untuk dikaji sejak meledaknya aplikasi tersebut di pasaran.Â
Menyitir Koentjaraningrat bahwa teknologi merupakan bagian dari sebuah kebudayaan, maka dapat disimpulkan pula bahwa aplikasi Tik Tok mau tidak mau menjadi bagian kebudayaan di Indonesia.Â
Secara spesifik fenomena ini dapat disebut sebagai pop culture. Mengacu pada pengertiannya, pop culture merupakan sebuah budaya yang sedang tren atau mainstream di kalangan masyarakat. Dan tampaknya, negeri ini sedang merayakan budaya populer tersebut. Wacana mengenai pop culture sebenarnya tidak hanya terbatas pada aplikasi saja melainkan bisa juga membincangkan mengenai sastra, film, musik dan produk kebudayaan lainnya.
Tak dapat dipungkiri Tik Tok telah menjadi kesadaran kolektif bagi para remaja di Indonesia. Semua beramai-ramai untuk ikut dalam kehebohan massal ini.
Memang, Tik Tok akan membuat mudah meraih eksistensi dan pundi-pundi uang dan itu sudah terbukti. Mudahnya mengakses aplikasi Tik Tok membuat orang dengan mudahnya menjadikannya sebagai media pembelajaran bagi kehidupannya apalagi sifatnya yang kekinian.Â
Tik Tok yang digunakan sebagai contoh dalam proses pembelajaraan kebudayaan membuat para penggunanya mengalami kejutan budaya (culture shock).
Perlu diingat bahwa kebudayaan itu adalah cara berperilaku manusia dalam merespon lingkungannya. Jadi menjadi sebuah kewajaran jika semakin banyak orang yang menjadi anggota generasi tunduk alias menunduk menghadap gawai.
Budaya instan yang ditawarkan oleh Tik Tok mereduksi sebuah budaya yang menghargai proses. Tak mengapa jika memang kita tetap teguh untuk ber-Tik Tok ria, asalkan kita memiliki basis literasi yang kuat.Â
Setidaknya kita mampu menyaring dari pesatnya kemajuan teknologi informasi. Tentu jika kita mau (mencoba) mengingat, banyak artis yang meroket namun juga dibarengi turunnya popularitas secara cepat. Menjadi idola ataupun influencer tentunya bukan hanya bermodal viral semata. Perlu adanya sebuah proses panjang untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas. Bukannya malah menyebarkan paham kesadaran semu.
Bukan berarti tulisan ini anti dengan perkembangan teknologi, tulisan ini hanya sekadar menjadi pengingat bahwa teknologi memiliki dua sisi dan dapat menggerus kebudayaan. Â
Generasi milenial sebenarnya hanya membutuhkan pengakuan akan proses pencarian identitasnya. Tentu kita masih bisa membangun sebuah ruang-ruang diskusi baik di rumah ataupun di sekolah.Â
Jadilah sosok yang mampu menjadi teman cerita para generasi milineal. Jika diizinkan meminjam istilah teman-teman zaman kini adalah kita harus mampu memberikan pendampingan agar mereka bisa menentukan yang berfaedah ataupun tidak bagi kehidupannya. Perbanyak literasi dan jadilah dirimu sendiri! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H