Satu pertanyaan mendasar yang sering muncul jika membahas mengenai pemimpin yaitu, mengapa seorang pemimpin harus laki-laki?
Saat ini Indonesia masih mengalami krisis pemimpin perempuan yang begitu nyata. Minimnya pemimpin perempuan dalam dunia politik adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dengan jelas.
Pada sistem pemerintahkan demokrasi, seluruh aspirasi masyarakat harus diserap dengan baik karena aspirasi merupakan kebutuhan dari rakyat.
Di Indonesia, aspirasi masyarakat akan diserap oleh anggota legislatif. Minimnya anggota legislatif perempuan akan berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan itu sendiri.
Hal inilah yang akan memperkuat budaya patriarki.
Budaya patriarki tercipta akibat stigma di masyarakat yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki hak istimewa dalam kepemimpinan politik, moral, dan hak sosial. Artinya, laki-laki mendapat kepercayaan lebih tinggi dalam memimpin suatu kelompok dibandikan dengan perempuan karena terdapat perbedaan dengan gaya kerja dan kekuatan fisiknya.
Menurut saya pemikiran seperti inilah yang sangat menyesatkan.
Sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan titik awal untuk mencapai sebuah kesuksesan serta setiap orang berhak mendapat kesempatan dan jabatan yang sama dalam politik tanpa adanya label bahwa yang berhak hanya laki-laki.
Pemimpin laki-laki tidak selalu lebih baik daripada perempuan, kontribusi kerja dan efisiensi seseorang tidak dapat diukur lewat kesenjangan gender.
Padalah, menghadirkan perempuan jadi seorang pemimpin bukanlah hal yang merugikan karena perempuan merupakan sosok yang multitasking. berkarir, rumah tangga, dan anak, mereka dapat mengelola tugas-tugas tersebut dengan baik.