Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Indonesia Melalui Moderasi Beragama

22 Desember 2022   22:41 Diperbarui: 22 Desember 2022   22:43 4602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: news.detik.com

Bangsa Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang heterogen dengan keberagaman ras, suku, agama, hingga golongan. Keberagaman ini merupakan anugerah yang tak bisa dielakkan mengingat letak geografis kita yang terdiri dari pulau, diapit oleh dua benua dan samudera, hingga tercipta akulturasi budaya di dalamnya.

Merawat keberagaman menjadi salah satu langkah dasar dalam mencapai Indonesia maju. Para pendiri bangsa telah meletakkannya dalam Pancasila poin pertama yang menyebutkan "Ketuhanan Yang Maha Esa", sebuah ungkapan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk beriman sesuai kepercayaannya masing-masing dan menjunjung toleransi beragama.

Pada sejarahnya, butir pertama ini menuai perdebatan alot, Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim ingin mencantumkan Allah sedangkan pemeluk agama lain ingin nama Tuhannya dimunculkan. Akhirnya mereka sepakat, Tuhan sebagai penamaan universal untuk zat yang menciptakan alam semesta digunakan dalam Pancasila.

Naasnya beberapa waktu lalu cita-cita bangsa tersebut tercoreng dengan kasus pencopotan label bantuan tenda yang diberikan oleh salah satu rumah ibadah. Pencopotan yang dilakukan secara paksa membuat tenda tak berfungsi dengan layak karena bekas yang dihasilkan.

Kejadian ini menuai kecaman dari banyak pihak baik untuk pemberi bantuan maupun pelaku pengrusakan. Apapun itu, tindakan pengrusakan ini jelas menyalahi norma dan semangat keberagaman di Indonesia yang sudah ada dalam Pancasila.

Jika peristiwa intoleransi seperti ini dibiarkan, dapat menimbulkan perpecahan dan konflik agama bisa terjadi karena nilai religi adalah kebutuhan batin yang sulit dipisahkan. Masalah yang menyinggung prinsip fundamental ini amat berbahaya dan kebanyakan membawa seseorang menjadi ekstrimis, tak jarang berujung pada kekerasan bahkan merenggut nyawa seseorang. Padahal, tiap agama amat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berdampingan dengan nilai ketuhanan.

Jauh sebelum peristiwa ini mencuat, Indonesia yang dulunya dikenal dengan nama Nusantara, mengenal ragam kepercayaan yang berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat. Sunan Kudus, salah satu tokoh yang memperkenalkan ajaran Islam di Kota Kudus menunjukkan kalau perilaku toleran amat penting.

Pada saat itu masyarakat Kota Kudus mayoritas beragama Hindu. Dalam ajaran ini, sapi dianggap sebagai hewan suci yang menjadi kendaraan bagi para dewa.

Namun pria bernama asli Ja'far Shadiq tersebut membawa sapi besar dari India ke pekarangan rumahnya. Warga tertarik dengan pemandangan ini, kemudian berkerumun melihat hewan dengan ukuran sangat besar ini sambil mempertanyaan tujuan dari keberadaan hewan suci ini.

Sunan Kudus kemudian berkata kalau sapi tersebut adalah peliharaannya. Ia melarang para pengikutnya untuk menyakiti apalagi membunuhnya. Sampai sekarang umat Islam di Kudus memilih berkurban menggunakan kerbau maupun kambing.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Keindahan toleransi dan wujud implementasi Pancasila sila pertama juga pernah saya rasakan ketika berkunjung ke wilayah timur Indonesia, tepatnya di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur pada 2017.

Kedatangan saya ke sana bertepatan dengan acara Semana Santa yang dirayakan oleh umat Katolik sebagai pemeluk agama mayoritas. Waktu menunjukan pukul 17.40 WITA, suara lonceng berbunyi dari sebuah gereja.

Setelahnya, seseorang dari balik mikrofon itu menyerukan kepada umat Katolik untuk bersiap ikuti prosesi Adorasi Umum Sakramen Maha Kudus dan Ziarah Cium Tuan Ma dan Tuan Ana sebagai upacara menyambut Semana Santa.

Setelah seruan itu reda, isi pengumuman berganti menjadi peringatan kepada umat Islam untuk mempersiapkan diri menggelar ibadah sholat magrib walaupun masjid maupun musala sangat jarang di wilayah ini. Bahkan, saya hanya dapat mendengar suara adzan dari kejauhan.

Pada malam hari, prosesi ibadah umat Katolik berlangsung. Nampak beberapa aparat kepolisian berpakaian lengkap berjaga mengamankan prosesi yang berlangsung khidmat. Umat Katolik berjalan membawa lilin menyala melantunkan kidung pujian.

Sekeliling jalan yang dilewati rombongan umat Katolik itu dibatasi dengan pagar kayu. Terlihat beberapa warga menyaksikan prosesi ini dari balik jalan. Ada pula warga yang berada di dalam jalan, mengenakan sebuah selempang yang menandakan bahawa mereka adalah petugas.

Ternyata sebagian besar dari petugas ini merupakan umat Islam yang membantu jalannya prosesi tersebut. Perayaan Semana Santa juga seperti itu, umat Muslim akan menjaga jalannya prosesi ini demi kelancaran.

Sebaliknya, ketika Ibadah Salat Idul Fitri maupun Idul Adha, umat Katolik akan melakukan hal serupa pada saudaranya. Mereka akan berjaga sampai acara selesai dan membantu proses dari awal hingga akhir.

Sumber: nasional.kompas.com
Sumber: nasional.kompas.com

Indahnya keberagaman dan toleransi beragama sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI sekaligus menciptakan sebuah harmoni dalam tatanan masyarakat. Langkah ini merupakan sebuah kebiasaan yang telah ada di bumi Nusantara.

Kini semangat ini biasa disebut sebagai moderasi beragama. Moderasi merupakan kata sifat, dalam KBBI berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Moderasi beragama dibentuk untuk mencari titik temu antara pandangan ekstremis dan ultrakonservatif yang mendewakan akal.

Sikap ini penting apalagi sebentarlagi konstelasi politik akan memanas pada Pilpres 2024 mendatang. Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan dalam pidatonya untuk menghindari politik identitas dalam meraup suara rakyat.

Sebaiknya pemerintah termasuk KEMENAG mulai mengkampanyekan pentingnya moderasi beragama untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa menuju Pilpres nanti. Tindakan ini juga dilakukan untuk mengurangi paham ekstrimisme dan ultrakonservatif melalui segala platform yang ada.

Memunculkan tokoh-tokoh beragama yang menjunjung toleransi antar umat serta jiwa kebangsaan yang tinggi juga menjadi cara lainnya sedangkan masyarakat dapat mencari sumber pengetahuan dari mereka demi mendapat pemahaman baru untuk menciptakan satu titik tengah yang bisa diterima demi merawat toleransi.

Makin banyak pemahaman keagaman akan memberi keragaman pola pikir seseorang. Hal ini lama kelamaan akan mempertebal toleransi tiap individu dan menambah pemahaman mengenai esensi dari nilai kemanusiaan yang harus dijunjung berbarengan dengan ketuhanan.

Seperti kata-kata Gus Dur yang sering berleweran di lini masa.

"Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya,". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun