Neymar terduduk sambil menangis sendu di tengah lapangan. Kepalanya sering dibenamkan kebawah, dihalangi siku yang melingkar di atas tumit seakan tak kuasa melihat tetes air mata penonton di tribun yang jauh-jauh datang ke Qatar untuk menyaksikan Brasil berlaga pada panggung Piala Dunia ditengah krisis yang menimpa negerinya.
Brasil secara mengejutkan takluk oleh Kroasia dalam partai perdelapan final Piala Dunia 2022 pada 9 Desember lewat drama adu penalti, padahal Tim Samba datang sebagai unggulan. Tim ini diisi oleh pemain-pemain hebat yang berlaga di klubnya masing-masing dengan bekal skill individu mempuni.
Mereka menjadi pilihan alias selecao dalam bahasa portugis untuk memenangkan turnamen ini. Tite yang bertugas sebagai pelatih, percaya dengan modal skill individu tim untuk bermain berlandas kemashuran filosofi negerinya yakni jogo bonito.
Brasil dikenal dunia dengan sepak bola indah, sebuah pola yang menunjukkan kecintaan warganya dengan olahraga ini. Dalam praktiknya, sepak bola dibuat menyenangkan dan menarik dengan kemampuan olah bola seperti seorang pemain sirkus yang membuat decak kagum penonton.
Para pemain yang dibentuk dari lapangan futsal dan sepak bola jalanan, menjadikannya individu atraktif. Para pemain Samba muncul dengan kelebihan skill di atas rata-rata yang menjadi senjata ampuh menghancurkan pertahanan lawan, inilah pola permainan utama jogo bonito
Filosofi permainan tersebut membuat mereka memegang rekor sebagai negara kampiun Piala Dunia terbanyak mencapai 5 kali. Namun jogo bonito seakan terkikis oleh usia, seperti sosok yang mencetuskan istilah ini sekaligus raja sepak bola, Pele.
Sang legenda yang kini menginjak usia 82 tahun dikabarkan terserang infeksi pernapasan yang diperparah oleh Covid-19, disamping itu Pele masih menjalani kemoterapi kanker. Bahkan sebelumnya banyak kabar beredar kalau Pele berada di ruang paliatif, tempat pasien menunggu ajalnya karena sakit yang tak bisa disembuhkan.
Informasi apapun yang benar, Pele tetaplah seorang manusia biasa. Umurnya tak bisa diperbarui karena kematian adalah kepastian, tapi tidak dengan jogo bonito. Filosofi ini masih bisa diandalkan selama rakyat Brasil tetap mencintai olahraga ini dan kiamat tak datang ke bumi.
Filosofi sepak bola mereka sudah ada dalam DNA yang terbentuk melalui kultur serta budaya seperti tarian, festival, dan pesta di negara tersebut sebagai akar kegembiraan di tengah situasi sulit sekalipun. Kegembiraan ini diekspresikan pula melalui sepak bola.
Jogo bonito telah tergerus dengan waktu itu pasti, tapi filosofi ini bisa eksis jika dikembangkan mengikuti tren sepak bola modern. Sekarang tim-tim Eropa sebagai kiblat sepak bola sekaligus pengasah bakat pemain kerap memainkan tempo tinggi, kecerdasan, memanfaatkan kerja sama tim, etos kerja seluruh individu, dipadu dengan presing untuk mengamankan bola.
Kekalahan Selecao dari Kroasia kemarin menjadi cermin bahwa jogo bonito tanpa peremajaan nampak usang untuk menancapkan hegemoninya di panggung sepak bola dunia. Kroasia yang bertumpu pada pemain tua seperti Luka Modric, Ivan Perisic, Marcelo Brozovic, dan Dejan Lovren mampu mengimbangi Tim Samba.
Kroasia berhasil menampilkan permainan tim, pemahaman akan taktik yang baik, serta kemampuan membaca permainan lawan. Hal ini terlihat dari melempemnya permainan Brasil sepanjang waktu normal. Modric dan kolega berhasil membuat Neymar sebagai roh permainan Brasil mati kutu.
Aliran bola menuju para pemain depan juga terhenti, hal ini tak lepas dari kemampuan tiga gelandang mereka meredam kemampuan gelandang Selecao. Neymar, Lucas Paqueta, dan Casemiro dijaga sangat ketat.
Penghubung lini belakang dan depan Tim Samba yang biasa diserahkan kepada Casemiro, dikendalikan oleh Danilo yang diberi tugas mengisi pos lini tengah untuk menambah jumlah pemain di posisi tersebut. Namun bek kiri ini tak memiliki kemampuan progresi yang baik, Brasil terlihat tak punya peluang untuk berkreasi, aliran bola kedepan telah terbendung.
Kemampuan individu yang dimiliki para pemain Samba sekaligus landmark jogo bonito selama ini seakan tak berarti menghadapi Kroasia dengan sepak bola modernnya. Pembinaan sepak bola dalam negeri menjadi masalah terbesar yang harus dihadapi demi masa depan Selecao.
Selama ini sepak bola jalanan dan futsal menjadi wadah anak-anak untuk mengembangkan kemampuan sepak bola. Mereka dengan DNA jogo bonitonya berfokus pada kemampuan individu, padahal sepak bola modern menuntut pemain memiliki kemampuan di segala aspek.
Pembinaan usia muda yang terukur bakal membuat pemain siap ketika masuk di usia matang. Mereka bisa diarahkan untuk bermain sebagai tim dengan organisasi permainan yang baik, pemahaman taktik, kecerdasan, dipadu dengan kualitas individu sebagai bekal utama.
Kegagalan pembinaan usia muda nampak jelas ketika para pemain mentas di luar negeri. Mereka tak kuasa melepas identitasnya dengan menonjolkan skill individu. Tak heran beberapa pelatih tim Eropa memanfaatkan kehadiran pemain Brasil untuk menambah dimensi dan variasi dari taktiknya seperti yang dilakukan Erik Ten Hag bersama Antony di Manchester United.
Walau dijagokan dalam berbagai turnamen, ekosistem sepak bola di sana tak sehebat Eropa, pemilik klub menjadi enggan keluar uang banyak untuk berinvestasi pada masalah pengembangan usia muda. Klub-klub lokal yang seharusnya menjadi wadah mengasah talenta berbakat, tak kuasa menjalankan perannya.
Namun kondisi ini dibarengi dengan keinginan para pemilik klub untuk meningkatkan pamornya. Kekalahan dalam sepak bola seperti aib karena olahraga ini amat dicintai warga Brasil. Mereka ingin hasil maksimal tapi instan untuk meraih kejayaan.
Jangan harap ada proses panjang dalam pembangunan tim seperti Sir Alex di Manchester United maupun Jurgen Klopp di Liverpool dalam pengembangan sepak bola di Liga Brasil. Para pemilik lebih suka menyalahkan pelatih atas hasil minor.
Liga Brasil menjadi salah satu yang terkejam di dunia dalam urusan memecat pelatih. Majalah Meksiko El Ecomonista menyebut rata-rata pelatih di tim lokal Brasil hanya bertahan 15 pertandingan sebelum dipecat. Akibatnya selain pengembangan usia dini yang macet, nyaris tak ada nama pelatih Brasil dengan prestasi mentereng di sepak bola.
Sialnya Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF) menginginkan pelatih lokal menangani timnas untuk menjaga filosofi sepak bolanya tetap lestari. Padahal dalam sepak bola, filosofi permainan terus berkembang dan beradaptasi.
Para pelatih tim lain sudah paham dengan gaya baku permainan Brasil yang mudah terbaca melalui kekuatan individunya. Hasilnya selepas memenangkan turnamen pada 2002, Selecao tak pernah menginjakan kaki ke partai puncak.
CBF sepertinya lupa dengan kasus tim dengan memainkan filosofi usang tanpa pembaharuan, terakhir adalah Barcelona dengan tiki takanya. Setelah merajai dunia, filosofi ini sudah terbaca kelemahannya, peta kekuatan sepak bola jadi tergeser.
Pep Guardiola yang kala itu percaya diri dengan filosofinya bahkan tahu celah tersebut. Imbasnya dia mulai mengembangkan tiki taka di beberapa aspek untuk membuatnya cocok dimainkan bersama klub yang dilatihnya.
Sekarang saat dia menjadi nahkoda Manchester City, tiki taka dimainkan lebih fleksibel, memanfaatkan kekuatan, serta kemampuan individuya untuk mengkreasikan angka. The Citizen yang dulunya dianggap klub biasa, kini menjelma sebagai raksasa Britania.
Sedangkan Luis Enrique yang kemarin menjadi nahkoda Spanyol di Piala Dunia 2022 dengan tiki taka "orisinil" gagal membawa Matador lolos ke babak perdelapan final. Spanyol bahkan menempati urutan ke dua dalam babak grup di bawah Jepang dan mendapat banyak cibiran karena permainannya yang membosankan.
Sekarang hanya kesadaran untuk memulai perubahan yang diperlukan demi mengembalikan jogo bonito sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan warga Brasil dalam sepak bola. Seperti Pele yang sadar kalau adik-adiknya di timnas perlu penguatan moral setelah mereka memberi dukungan pada sang legenda dalam perang melawan penyakitnya.
Kekalahan ini tak membuat sang raja sepak bola tenggelam dalam lara, ia masih bisa menghibur adik-adiknya, terutama Neymar yang kalah dramatis lewat untaian kata. Dia mengaku kalau Neymar telah memenangkan sesuatu yang tak bisa dilakukan orang lain selama 50 tahun yakni menyamai rekor golnya untuk timnas Brasil.
"Sayangnya, hari ini bukanlah hari yang paling membahagiakan bagi kita, tetapi kamu (Neymar Jr) akan selalu menjadi sumber inspirasi yang dicita-citakan banyak orang," tulis Pele dalam akun Instagramnya.
Ditengah sakitnya, Pele bersikeras untuk menyaksikan pasukan Tite berlaga, mungkin sepak bola yang masih membuatnya berjuang melawan penyakitnya. Sebuah penantian teguh yang terpintal dengan ketabahan melihat tim kebanggaannya mengangkat trofi Piala Dunia keenam.
Sumbangsih Pele kepada sepak bola dunia terutama Brasil memang menginspirasi dunia. Namun apakah kematian akan terinspirasi dengan ketabahan pencetus jogo bonito ini dan mengunci diri sampai penantian itu berbuah manis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H