Jogo bonito telah tergerus dengan waktu itu pasti, tapi filosofi ini bisa eksis jika dikembangkan mengikuti tren sepak bola modern. Sekarang tim-tim Eropa sebagai kiblat sepak bola sekaligus pengasah bakat pemain kerap memainkan tempo tinggi, kecerdasan, memanfaatkan kerja sama tim, etos kerja seluruh individu, dipadu dengan presing untuk mengamankan bola.
Kekalahan Selecao dari Kroasia kemarin menjadi cermin bahwa jogo bonito tanpa peremajaan nampak usang untuk menancapkan hegemoninya di panggung sepak bola dunia. Kroasia yang bertumpu pada pemain tua seperti Luka Modric, Ivan Perisic, Marcelo Brozovic, dan Dejan Lovren mampu mengimbangi Tim Samba.
Kroasia berhasil menampilkan permainan tim, pemahaman akan taktik yang baik, serta kemampuan membaca permainan lawan. Hal ini terlihat dari melempemnya permainan Brasil sepanjang waktu normal. Modric dan kolega berhasil membuat Neymar sebagai roh permainan Brasil mati kutu.
Aliran bola menuju para pemain depan juga terhenti, hal ini tak lepas dari kemampuan tiga gelandang mereka meredam kemampuan gelandang Selecao. Neymar, Lucas Paqueta, dan Casemiro dijaga sangat ketat.
Penghubung lini belakang dan depan Tim Samba yang biasa diserahkan kepada Casemiro, dikendalikan oleh Danilo yang diberi tugas mengisi pos lini tengah untuk menambah jumlah pemain di posisi tersebut. Namun bek kiri ini tak memiliki kemampuan progresi yang baik, Brasil terlihat tak punya peluang untuk berkreasi, aliran bola kedepan telah terbendung.
Kemampuan individu yang dimiliki para pemain Samba sekaligus landmark jogo bonito selama ini seakan tak berarti menghadapi Kroasia dengan sepak bola modernnya. Pembinaan sepak bola dalam negeri menjadi masalah terbesar yang harus dihadapi demi masa depan Selecao.
Selama ini sepak bola jalanan dan futsal menjadi wadah anak-anak untuk mengembangkan kemampuan sepak bola. Mereka dengan DNA jogo bonitonya berfokus pada kemampuan individu, padahal sepak bola modern menuntut pemain memiliki kemampuan di segala aspek.
Pembinaan usia muda yang terukur bakal membuat pemain siap ketika masuk di usia matang. Mereka bisa diarahkan untuk bermain sebagai tim dengan organisasi permainan yang baik, pemahaman taktik, kecerdasan, dipadu dengan kualitas individu sebagai bekal utama.
Kegagalan pembinaan usia muda nampak jelas ketika para pemain mentas di luar negeri. Mereka tak kuasa melepas identitasnya dengan menonjolkan skill individu. Tak heran beberapa pelatih tim Eropa memanfaatkan kehadiran pemain Brasil untuk menambah dimensi dan variasi dari taktiknya seperti yang dilakukan Erik Ten Hag bersama Antony di Manchester United.