Piala Dunia menjadi masa yang paling menyenangkan bagi seluruh penggemar sepakbola, bahkan masyarakat dunia. Perhelatan akbar ini selalu memancarkan kegembiraan bagi dunia dipelosok bagian manapun.
Walau belum pernah menjadi tuan rumah dalam gelaran ini, tapi kegembiraan ini kerap dirasakan ke Indonesia. Tak memandang usia, gender, maupun warna kulit, masyarakat akan membicarakannya setiap saat, di momen manapun.
Namun gegap gempita itu tak terasa, Piala Dunia 2022 Qatar terasa hampa. Tak ada banyak acara yang digelar untuk menyambutnya, hanyanya sedikit pula kreativitas masyarakat yang keluar untuk merayakannya.
Dulu masih ada penjaja jadwal pertandingan, walau kini kita bisa mendapatkan informasi ini melalui internet, tapi usaha untuk menggaungkannya hanya sedikit. Area nonton bareng juga dibatasi akibat kebijakan yang dikeluarkan pemegang hak siar.
Pihak yang ingin menyelenggarakan nonton bareng Piala Dunia perlu meminta hak siar kepada pemilik yakni Grup SCM atau mitra mereka, PT IEG. Pihak yang tak melakukannya akan melanggar UU tentang Penyiaran, Hak Cipta, serta Informasi dan Transaksi Elektronik.
Masyarakat yang melanggarnya bisa mendapatkan sanksi berupa hukuman maksimal 4 tahun penjara atau denda mencapai Rp 1 miliar. Sebuah peraturan yang sangat memberatkan untuk situasi perekonomian negara saat ini.
Dulu ketika perekonomian masyarakat masih carut marut, televisi merupakan barang mewah yang tak semua orang punya. Kakek pernah bercerita kalau warga sekitar kerap datang ke rumah hanya untuk menonton tv.
Kebersamaan makin hangat tatkala mereka bisa tertawa bersama sambil bercerita apa saja setelahnya. Penjaja makanan yang memikul dagangan sering diundang masuk untuk diborong barangnya, menjadi persembahan kepada hadirin yang datang.
Sejak dulu pula, sepakbola merupakan olahraga yang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia, disana terdapat celah ekonomi besar. Langkah yang dilakukan oleh Grup SCM dan pemerintah masuk ke ranah tersebut.
Namun langkah ini merenggut kebahagiaan dalam sepak bola itu sendiri. Gelaran yang biasa dijadikan ajang bercampurnya orang dari segala lapisan, khususnya di pinggir kota dan desa, bisa ambruk begitu saja.
Wadah untuk melupakan sejenak letihnya mencari nafkah jadi menghilang. Percakapan antara si kaya dan terpelajar dengan masyarakat miskin serta intelektual rendah makin jarang. Transfer ilmu yang dulu bisa dilakukan dengan mudah walau hanya sebulan saja jadi sirna.
Padahal sekarang adalah awal yang bagus untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, tak hanya soal ekonomi tapi politik. Beberapa kali menyambangi warung kopi ataupun sekedar rehat sejenak di pinggir jalan, perbincangan yang dikatakan adalah soal berita bohong mengenai pemerintahan, perang, dan segala tetek bengeknya.
Di tengah geger perekonomian tahun 2023 yang lebih suram dari sebelumnya dan pelampiasan yang terasa kurang, tingkat stres semakin meningkat dan jadi bom waktu yang bisa meledak di tahun depan jika semua tafsiran ekonomi ini terjadi.
Saat itu, setelah semua kebencian memuncak karena informasi bohong merasuk kedalam pikiran, ditambah kesulitan ekonomi, demo, huru hara bisa terjadi. Kemunduran bangsa menjadi ujung yang paling menakutkan.
Agenda media memperparah masalah ini. Kebanyakan dari mereka menitik beratkan pada masalah yang terjadi pada penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah beberapa minggu sebelum gelaran ini resmi berlangsuing pada 20 November 2022.
Isu-isu mengenai peraturan yang ditetapkan oleh otoritas di sana turut menjadi perhatian. Banyak pihak menyebut kalau negara Timur Tengah ini melanggar hak seseorang untuk berekspresi dan mengkebiri kebebasan.
Semua ini membuat Piala Dunia kehilangan gegap gempita dan kebahagiaan. Semua tergantikan oleh kemewahan yang berujung pada pendapatan penyelenggara bersama FIFA sebagai induk organisasi sepakbola dunia.
Presiden FIFA bahkan membela habis-habisan Qatar sebagai penyelenggara turnamen tahun ini walau tahu nada sumir nyaring terdengar di depan pintunya. Gianni Infantino bahkan pindah ke Qatar selama penyelenggaraan Piala Dunia nanti.
Padahal dia adalah Presiden sepakbola, bukan presiden dari turnamen empat tahunan ini. Urusan sepakbola sepertinya telah habis dikupas untuk kepentingan bisnis dan mengkerdilkan nilai pembuatannya di masa lampau.
Seperti yang banyak dibertikan kalau Piala Dunia kali ini jadi edisi paling mewah yang pernah dibuat. Dia ingin menjadi gerbang terdepan untuk menghalau semua berita miring penyelenggaraan turnamen tersebut.
Apalagi Qatar menggelontorkan dana senilai 220 Miliar Dollar untuk membangun stadion baru, angka yang sangat banyak dibanding negara penyelenggara lainnya dalam kurun waktu 5 edisi kebelakang. Nilai yang sangat besar dan Infantino tahu bagaimana dunia ini bekerja.
Pengeluaran harus lebih kecil dari pemasukan. Makin banyak pihak yang mengganggu jalannya turnamen, maka pemasukan bisa tersendat. FIFA juga memberikan surat kepada 32 negara peserta untuk fokus kepada sepakbola.
Setidaknya kehadiran orang nomor satu di sepakbola dunia menjadi alarm kalau Piala Dunia ini aman dan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Namun tidak bagi saya dan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di sekitar lingkungan rumah saya.
Hingga tiba saatnya sebuah ajakan datang untuk membangkitkan kembali kebersamaan antar rekan. Sebuah ajakan nonton bareng Piala Dunia di kediaman rekan-rekan yang membeli paket nonton Piala Dunia.
Seperti yang diceritakan kakek saya sebelumnya. Nonton bersama, berbagi kehangaan dan kelakar ditemani makanan ringan, seadanya. Sebab hanya acara seperti ini yang tidak melanggar Undang-Undang yang telah dibeberkan dalam artikel ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI