Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bunga Api Merekah di Timur Eropa

25 Februari 2022   18:27 Diperbarui: 28 Februari 2022   06:19 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim dingin kali ini di Eropa Timur terasa makin menusuk. Menyeruak ke daging hingga sumsum orang-orang di sana, tatkala bunga api betebaran di udara. 

Eropa, wilayah yang jadi kiblat kemewahan dan kemajuan peradaban kembali menunjukan sisi lainnya, yakni ketamakan. Moncong senjata sekali lagi menjadi jawaban atas keresahan yang mengusik nalar dan pandangan politik bangsa, dalam kasus ini Rusia dan Ukraina. 

Kedua negara yang bertetangga akhirnya menabuh genderang perang. Vladimir Putin dengan kekuatan militernya menggempur pertahanan Ukraina sejak pengumuman invasi pada 24 Februari 2022 kemarin. Situasi begitu cepat berganti, sebab sebelumnya peningkatan tensi hanya terjadi sebatas perang urat syaraf dua negara. 

Perang keduanya merupakan buntut dari kedekatan Ukraina pada NATO. Tentu ancaman di teras rumah Rusia ini merupakan masalah serius bagi mereka, sebab bukan rahasia umum kalau negara Beruang Merah memang anti terhadap aliansi yang digawangi oleh Amerika, bahkan konflik ini sudah mengakar sejak perang dingin beberapa dasawarsa silam, ketika mereka masih bernama Uni Soviet. 

Hagemoni masa lalu menjadi teori lain yang melatarbelakangi penyerangan tersebut. Putin dalam keterangannya pernah berkata bahwa Ukraina merupakan bagian dari Rusia yang "dicuri" ketika Soviet runtuh. 

Namun jika dilihat dari pernyataan Putin saat mengumumkan invasi militer ke Ukraina, pihaknya menyerang dengan alasan melindungi warga dari sasaran pelecehan dan genosida selama delapan tahun. Permintaan perlindungan tersebut dikabarkan datang dari kelompok separatis di Ukraina Timur. 

Sumber gambar: Sky News
Sumber gambar: Sky News

"Dan untuk tujuan ini, kami akan berusaha untuk mendemiliterisasi Ukraina dan mengadili mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap orang-orang damai, termasuk warga negara Rusia." dikutip dari TASS, Jumat (25/2/2022).

Perang lagi-lagi menunjukan seninya. Pertumpahan darah demi gengsi, harga diri, dan tanah kekuasaan kembali terjadi. Peradaban yang katanya makin maju, nampak tak dibarengi dengan akal budi. Sekali lagi, kepintaran mengelabuhi hati. 

Mungkin inilah kutukan manusia dari tanah, bukti erotisme yang tak kita sadari menjadi sebuah sangsi. Bahwa sesungguhnya tak ada yang pasti dan rakyat hanyalah ilusi ketika politik dan kekuasaan memainkan lakonnya, menujukan supermasi demi sebuah pencapaian bernama kejayaan. 

Dalam perang ini Vladimir Putin bukanlah orang tua yang hanya bisa duduk di singgasana. Otaknya pasti sudah menganalisis untung rugi menyerang Ukraina yang rumornya dibantu kekuatan NATO melawan kendaraan lapis baja miliknya. Namun seperti yang dunia lihat, negara yang masuk dalam aliansi NATO hanya mengutuk dan memberi sanksi ekonomi tegas kepada mereka. 

Sumber: CNBC Indonesia
Sumber: CNBC Indonesia

Padahal dampak embargo ekonomi bagi Rusia mungkin tidak terlalu besar, sebab mereka adalah negara kaya dan mampu mengelola kelebihan tersebut dengan baik. Sekitar 24,7 persen minyak Eropa berasal dari negara ini. Utang Rusia hanya 33 persen dari PDB mereka, bandingkan dengan Paman Sam yang mencapai 133 persen. Kelebihan atas sumber daya alam dan teknologi membuat mereka bisa bertahan dari pembatasan tersebut. 

Dewan Keamanan PBB langsung melakukan rapat darurat membahas status invasi Rusia, seakan mereka lupa status Beruang Merah sebagai dewan tetap PBB membuat mereka memiliki hak veto untuk membatalkan sebuah putusan sidang. 

Saat ini Putin dengan segala siasatnya dalam percaturan politik yang ada dalam kepalanya, sedang menunggu langkah kongkret dari NATO dalam perang ini. Ia pasti paham betul betapa kerugian yang bisa mereka terima akibat mengeluarkan banyak uang hanya untuk berperang. Belum lagi merosotnya harga saham negaranya yang bisa menjadi bumerang. 

Naas, angin sejuk yang tadinya bertiup untuk Ukraina dari negara dalam keanggotaan NATO tidak benar-benar terjadi. Washington sudah buka suara untuk tidak menerjunkan pasukannya dalam perang dua tetangga yang sedang bersitegang. 

Padahal sejak jauh-jauh hari, kapal laut dan kapal selam sudah disediakan Putin untuk mengepung dan menghalau bantuan dari dunia. Senjata nuklir yang mereka miliki dan siap mengudara susai perintah sang panglima tertinggi, di darat maupun laut telah dipersiapkan. 

Wilayah sekitar Ukraina yang masih berafiliasi dengan salah satu negara super power tersebut pasti siap membantu. Rusia kali ini selangkah lebih maju dalam membaca tiap skema yang dapat terjadi dalam peperangan. Strategi mereka berhasil membuat Amerika diam tak bergeming. 

Pemerintah Amerika terlihat masih menahan diri untuk membawa pasukannya dalam palagan tersebut. Banyak biaya perang yang dibayar jika meladeni supremasi Rusia di tanahnya sendiri. Lagipula menggebuk Rusia sejak dini tak bisa membuat mereka benar-benar merangsek masuk ke jantung pertahanan Beruang Merah, sebab Paman harus memberi contoh baik pada seluruh keponakannya soal tatakrama. 

Jadi lebih baik membiarkan Ukraina jatuh dan militernya dilucuti, barulah mereka datang, taktik yang sama ketika sukses di beberapa negara Timur Tengah seperti Iran dan Afganistan. Membiarkan milisi lokal berkeliaran turut menjadi cara lainnya, sehingga perang tak berkesudahan terjadi. Ceperan penjualan senjata otomatis mereka dapatkan. 

Menerjunkan tentara Amerika melawan negara super power lain seperti Rusia bukanlah perkara mudah. Tak ada yang dapat meramalkan betapa besar eskalasi konflik yang bakal terjadi jika kedua negara kuat dunia mengangkat senjata. Langkah Amerika benar-benar sangat waspada mengingat lawan mereka bukanlah negara ketiga. 

Namun mendiamkan amukan Rusia menjadi tamparan buat Amerika. Kekuatan dunia yang awalnya dipegang oleh satu negara, kini bergeser dan memantik negara kuat lainnya untuk melawan hagemoni Paman Sam selama ini. 

Apapun itu, politik, ilmu yang kotor ini sudah menampakan muka hitamnya dihadapan rakyat miskin kedua negara konflik. Mereka yang tak memiliki uang hanya bisa pasrah tertegun di bangunan rumahnya untuk berdoa meminta keselamatan. Berlari ke negara lain melalui jalur ilegal. 

Walau baru seumur jagung, koflik ini sudah memberi dampak besar pada perekonomian dunia. Saham di beberapa negara termasuk Indonesia terjun bebas. Ekonomi global yang masih merangkak setelah badai pandemi kembali tiarap akibat cekcok kedua tetangga. 

Rusia dan Ukraina merupakan dua wilayah yang menjadi pengekspor beberapa komoditi. Keduanya menjadi pemasok beberapa barang mentah dan bahan jadi. Beragam mesin produksi industri berasal dari kedua negara tersebut. 

Jadi jika konflik ini berlangsung panjang, bukan tak mungkin kondisi ekonomi dunia kembali terguncang, harga komoditas pangan naik, tentu minyak dan emas turut mengalami gejolak. 

Sumber: Time.co
Sumber: Time.co

Situasi di Timur Asia bisa memanas. Tiongkok seakan mendapat tutorial pembelajaran dari Putin tentang cara memainkan bidak politiknya untuk mendapatkan wilayah kekuasaan. Negara yang beberapa waktu kebelakang bemesraan dengan Rusia memiliki konflik berkepanjangan dengan Taiwan, negara yang masih bertetangga dengannya. 

Taiwan yang selama ini mempersenjatai diri dengan alutsista asal Amerika bisa jadi ancaman, sekaligus mengukuhkan supremasi mereka sebagai salah satu negara super power dunia. Melalui dalih mengembalikan wilayah yang tercecer, Tiongkok bisa saja memanfaatkan situasi keruh di Timur Eropa sebagai waktu terbaik memulai invasi. 

Palagan di Timur Asia bisa terjadi, Paman Sam dan negara NATO lainnya yang selama ini membela kedaulatan Taiwan bakal dibuat pusing dengan masalah baru. Invasi bisa saja berlanjut sampai perebutan laut cina selatan, termasuk wilayah Natuna, Indonesia. 

Jika kejadian itu berlangsung dan benar-benar terjadi, apa yang akan kita lakukan? Belanja alutsista besar yang sudah Indonesia lakukan terasa belum cukup memenuhi kebutuhan, mengingat kekuatan militer Tiongkok yang begitu besar dan kuat. 

Sebagai warga yang baik kita perlu belajar dari kutukan tanah di Timur Eropa sejak dini. Setidaknya ingat, bahwa persoalan pembagian tanah bisa jadi bumerang buat saudara, seperti jamak kita lihat dalam berita. Berbagi itu indah dan legowo adalah jalan mudah menuju perdamaian.

Menghargai merupakan sifat mahal dewasa ini dan peradaban modern sudah membuangnya jauh dalam tanah. Toh rakyat khususnya kelas bawah merupakan bidak empuk yang mudah disingkirkan atas nama kekuasaan dan politik praktis. Namun jangan tanyakan golongan ini soal menghargai, merekalah pihak yang dekat dengan tanah. 

Terbiasa mencium bau tanah kala tidur dan hujan membasahi bumi. Mereka sudah kenyang tentang pelajaran dari tanah yang suka memberi ditengah keangkuhan langkah kaki yang melewatinya. 

Mulai sekarang tumbuhkan tenggang rasa dengan warga lain khususnya mereka yang terpinggirkan, yakinlah itu akan membuat kehidupan makin indah. Bantulah mereka yang kesusahaan sebagai amal. Jika bukan kepada Tuhan dan amal baik, pada siapa lagi kita, warga Indonesia yang minim alutsista, meminta perlindungan.

Jatipadang
D.A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun