Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengar Jeritku di Atas Sekilo Sabu-sabu, Tuhan

16 November 2021   17:02 Diperbarui: 17 November 2021   00:57 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam makin pekat dan jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Namun waktu tak membiarkan sebagian penduduk Jakarta berbaring diatas ranjang empuknya. Tak seperti daerah lain yang sudah sepi senyap. Suara bising yang terdengar disana hanyalah teriak katak, nyanyian jangkrik, dan kepakan sayap nyamuk yang melengking. 

Jakarta belum tidur tuan dan puan, mungkin anekdot ini yang bikin segelintir warganya butuh doping untuk terus semangat beraktivitas. Doping dengan efek meningkatkan semangat, stamina, dan tentunya menina bobokkan sensor mengantuk pada otak penggunanya. Doping itu bernama sabu-sabu. 

Menurut UU no 35 Tahun 2009 tentang narkotika, sabu-sabu masuk dalam jenis narkotika golongan I. Barang yang berwarna putih ini mengkristal dengan bentuk serta ukurannya tak beraturan dan cenderung kecil, sekecil orang yang ada di hadapan saya. 

Sebuah warung kopi kecil pinggiran Jakarta jadi saksi cerita mendebarkan ini. Sebelumnya saya sudah berkomunikasi dengan tokoh utama dalam lakon ini dan akhirnya niat pertemuan tersebut terealisasi pada (7/10). Sebelum mencapai lokasi, ia menjemput saya di rumah sebab saya tak rela motor putih kesayangan kotor terkena cipratan air, sebab Jakarta habis dilanda hujan saat itu. 

Setibanya di sana, kami mengobrol ringan. Saya memesan minuman berenergi dingin dan dia segelas es teh manis. Awalnya saya tak tahu ceritanya akan bermuara pada salah satu perjalanan besar dalam hidupnya. Selama berbincang, suaranya bersahutan dengan knalpot, sebab lokasinya berada di pinggir jalan raya yang menjadi penghubung selatan Jakarta dan jantung peradaban Ibu Kota. 

Dia yang dalam cerita ini akan dipanggil sebagai sosok Begu, bicara banyak soal pengalamannya baru-baru ini. Sebuah kisah yang tak terlupakan dalam hidupnya saat mengantar paket sabu-sabu seberat 1 Kg.  

Pada akhir September gawai Begu berbunyi, ternyata satu pesan singkat masuk. Pesan yang akan membawa cerita ini kedalam bentuk kompleksnya. Pesan singkat itu ternyata datang dari kawannya, yang tinggal berdekatan dan pernah mendekam di rutan yang sama. 

Inti rangkaian pesan itu adalah ajakan untuk membantunya membawa paket sabu-sabu dari wilayah Jakarta Utara. Maklum, kawannya ini belum keluar dari masa tahanannya dan kini masih berada di sebuah lembaga pemasyarakatan daerah Jawa Tengah, jadi butuh tangan orang kepercayaan "diluar" untuk mengambil paket berharga itu. 

Begu awalnya diminta membawa paket itu ke daerah Jawa Tengah, kota tempat kawannya mendekam di penjara. Namun mengingat risikonya yang amat besar, ia menolak. Setelah rangkaian pesan itu, komunikasi makin intens.

Layaknya seorang pencari karyawan dan calon pekerja yang masuk tahap interview, teman Begu menghubunginya melalui metode video call dari balik jeruji. Tidak hanya Begu dan rekannya, kali ini percakapan dihadiri pula oleh sang bos, dalang di balik layar lingkaran setan yang berada di LP serupa dengan kawan Begu si penyedia lowongan kerja. 

Tanggal penjemputan paket sabu sudah diberitahukan dua hari sebelumnya. Sang bos bahkan mengintruksikan Begu untuk membeli nomer baru yang akan dijadikan alat komunikasi antara Begu dengan orang yang ada di Jakarta Utara. Nomer tersebut awalnya dikirim kepada pemilik uang, lantas diteruskan ke "orang gudang" di utara Ibu Kota. 

"Itu mah gudang, kamu pikir saja menunggu antrean dari jam 6 pagi saya disuruh standby hari ini jemput. Dari 2 hari sebelumnya sudah dikabarkam. Malemnya saya disuruh beli nomer dan diaktifkan nomer barunya, dikasih ke bos yang ngasih kerjaan. Nanti nomer baru ini bakal diteruskan ke gudang. Yang jadi komunikasi nomer itu. Kalau sudah dapatbahan (sabu-sabu) baru buang itu nomer," Ucapnya. 

Hari penjemputan akhirnya tiba. Begu yang waktu itu merasa tidak nyaman menjalani oprasi ini seorang diri, akhirnya mengajak seorang teman yang rumahnya berdekatan. Ia diharuskan untuk bersiap-siap memegang gawainya sambil menunggu intruksi sang bos sebelum jalan. 

Suara bising kendaraan yang hilir mudik membuat Begu meningkatkan sedikit volume suaranya. Matanya selalu memandangi jalan raya juga memperhatikan motor dan mobil yang lewat sambil menceritakan kisahnya. Sesekali ia melihat tamu yang datang, menganalisis mereka dengan seksama karena tahu bila cerita ini berisiko ketika diungkapkan di keramaian.

Dengan penuh kewaspadaan Begu bercerita jika ia akhirnya mendapat intruksi untuk jalan pukul 17.00 WIB. Ia bersama seorang rekannya langsung melincur menggunakan motor metic, sambil berdoa tak ada aral melintang yang akan dihadapinya hingga mendapat rupiah. Pria berkulit sawo matang itu mengatakan kalau lokasi persis penjemputan tidak diketahuinya terlebih dahulu. 

"Kan saya kalau pertama diarahkan dulu patokannya, misal kamu ke kampus ini, terus baru diarahkan lagi sama dia. Beberapa meter kamu jalan ke depan di motor ada tas biru itu kamu ambil. Pas saya lihat isinya, 'buset ayo jalan', begitu tuturnya kepada temannya kala itu. 

Sambil memamerkan muka keheranannya mendapati paket yang tak sesuai perjanjian dan baru pertama kali dilihat sebanyak itu, Begu dan rekannya langsung tancap gas menuju pemberhentian selanjutnya, yakni kediaman seorang kawan yang dirasa aman di daerah Jakarta Selatan. 

"Saya dari arah sana lewat Monas. Nah monas saya putari, saya takut. Saya cari jalur yang dirasa aman saja yang penting terpampang plat penunjuk arah ke arah Jaksel. Ada mobil dikit yang ikut, saya suruh teman melaju kencang, kadang saya suruh belok. Paling takut pas lampu merah, takut di templok. Kalau seperti itu tidak bisa berkutik," ulasnya ketika membawa barang haram itu. 

Selama perjalanan perasaannya campur aduk,  tak lupa ia berdoa pada Tuhan untuk melindunginya. Begu merasa kesal dan dikhianati oleh rekannya yang memberi pekerjaan ini, apalagi ia tahu bagaimana kehidupan di hotel prodeo serta bayang-bayang  hukuman seumur hidup yang bisa jadi diterimanya jika kedapatan membawa barang haram ini selama perjalanan. 

Pada tahun 2019, Begu merupakan seorang pesakitan. Saat itu dia diselamatkan oleh sihir ajaib bernama uang. Kemampuannya mampu membalikan kertas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sehingga berkas itu tak sampai hati meluncur ke meja hijau. Tentu sihir itu tak berlaku buat seluruh penegak hukum tapi tak perlu munafik siapapun yang tipis iman akan tergoda, apapun profesi dan pangkatnya. 

Begitupun dengan begu. Dia tersihir dengan iming-iming uang besar jika sukses mengantar paket yang awalnya diberitahu seberat 100 gram, tapi semua itu berubah menjadi 1 Kg sabu-sabu setelah begu mencapai lokasi.

"Tadinya ada tiga paket, tapi uangnya kurang. Saya tidak diberitahu jalan ke sananya. Awalnya dia ngomong 100 gram terus jadi 300 gram. Terus saya tegaskan sebelum jalan, kata dia 300 gram. Sampai sana beda," Ujarnya dengan mata yang mantap membuncahkan seisi kekesalannya. 

Menurut pengakuan Begu, paket satu kilo gram sabu-sabu tersebut dibungkus plastik yang biasa digunakan untuk mengemas baju. Kemasan itu kemudian diberi lakban hitam. Paket dibuat seperti kue bolu sehingga bentuknya menyerupai tabung. Lalu bahan tersebut dimasukan ke dalam tas belanjaan berukuran besar. Selama perjalanan ke tempat aman, Begu menggendong tas itu dibahunya. Nomer untuk menghubungi pihak gudang langsung dipatahkannya untuk menghilangkan jejak. 

Sampai di lokasi aman, ia langsung mengabarkan temannya yang memberi pekerjaan. Berbagai macam sumpah serapah dikeluarkannya melalui sambungan telepon. Namun rekannya malah tertawa dan melarang begu keluar rumah setelah kejadian tersebut sampai beberapa hari. 

Pekerjaan Begu tak selesai di sana. Sambil gemetar dan jantung tak karuan, ia harus memisahkan 15 gram sabu-sabu untuk diberikan kepada dua pembeli yang sudah memesan, sekaligus jatah yang sudah dijanjikan untuk dipakainya dari sang bos. 

Sisanya begu melakukan pengemasan ulang paket sabu-sabu tersebut agar sampai ke daerah Jawa Tengah. Kali ini dia mengakalinya dengan menyisipkan barang haram tersebut dalam kardus minuman gelas. Sebanyak 8 gelas dikeluarkan untuk memberi ruang bagi barang berharga tersebut, lalu kardus itu ditutup rapih seperti baru. 

"Disuruhnya misahin 15 gram, pakai sendok makan gak mungkin, yaudah saya raup saja. Kalau saya niat jahat sudah saya congkel batu (bongkahan sabu) tuh. Tapi sudah diingatkan sih, tangan kamu jangan jahil, apes nanti gak lama kalau gituan. Terus pas bahan jalan ke sana, saya menyesal kenapa gak diambil ya, " ucapnya sambil sedikit tertawa. 

Awalnya paket tersebut akan dikirimkan dengan menyisipkannya ke dalam bantal leher. Namun mengingat banyaknya barang, tempat sekecil itu tidak muat digunakan. Agar barang itu sampai ke daerah Jawa Tengah, sang bos telah mengutus orang kepercayaannya datang ke Jakarta. Orang tersebut sudah dijemput Begu di hari yang sama saat pengambilan paket, tepatnya pukul 04.00 WIB dan langsung diajaknya ke lokasi aman tempatnya mempersiapkan pengantaran paket menuju sang bos. 

Malam makin pekat dan hawa dingin mulai terasa di sekitaran warkop, tapi tak menyurutkan pria didepan saya yang ditaksir berusia 24 tahun ini menceritakan kisah pertama kalinya mengambil paket sebesar 1 kilogram sabu, bahkan terbesar diantara teman lainnya. Menurutnya paket itu dibawa ke daerah Jawa Tengah melalui jalur darat karena minim pemeriksaan. 

Biarpun begitu Begu bukanlah orang yang nekat membawa beban berat sebagai seorang pengantar paket sabu keluar kota. Dengan nada datar ia merasa salut dengan orang yang berani membawa paket ini yang diketahuinya tidak suka mengkonsumsi obat terlarang.

"Orangnya seumuran saya. Saya diajak ke sana, saya tidak mau. Saya disuruh melihat jalur dia membawa paket tersebut. Dia sudah biasa katanya. Biasanya yang membawa paket si bos ini, teman saya yang sekarang ada di dalam (bui)," katanya. 

Menjalani bisnis di lingkaran hitam ini memang menjanjikan. Begu mengatakan bila sabu-sabu seberat 1 gram biasa dijual dengan harga Rp 1 juta, nominal tersebut merupakan harga teman. Jika orang luar yang membelinya bisa mencapai Rp 1,4 juta. 

Upah yang didapat Begu atas pekerjaan penuh risiko ini benar-benar membuatnya kecewa sebab ia hanya mendapat uang sebesar Rp 2 juta yang dibagi dua dengan rekan yang mengantarnya. Nominal tersebut didapatnya setelah barang dampai ke Jawa Tengah, tepatnya 2 hari setelah ia mengambil paket ini. Sebenarnya sudah ada pakem yang biasanya digunakan dalam siklus peredaran sabu-sabu. 

"Sebenarnya ada hitungannya jemput kaya gitu harusnya. Per 1 gram itu Rp 50 ribu. Kalau saya dihitung seperti itu coba aja pikir berapa yang saya dapat. Biasanya kaya gitu kalau mau adil," jelasnya. 

Gelas berisi es teh manis yang sudah bercampur air bening hasil lelehan es batu kenbali diangkat lantas ditegukan ke tenggorokan yang kering. Begu kembali bercerita. Dari pengakuan rekan yang memberinya pekerjaan ini, sabu-sabu tersebut dikirim melalui Batam menuju Jakarta Utara. Uang yang dikeluarkan untuk membawa barang ini sampai ke Ibu Kota sebesar Rp 80 juta, tapi Begu tak tahu persis peruntukannya.

Selama melakukan video call dengan sang bos, Begu melihat kamar tahanannya beda dari biasanya. Salah satu yang mencolok adalah adanya walpaper yang biasa menghias dinding rumah. Selama melakukan kordinasi, ia juga memberitahu bila di beberapa waktu tidak bisa berkomunikasi sebab sedang dilakukan inspeksi. 

Peredaran narkoba di Jakarta bukanlah hal baru. Sejak Verenigde Oost indische Compagnie (VOC) memonopili perdagangan di Nusantara, narkoba bukanlah barang ilegal. Candu, madat, atau opium adalah komoditi dagang yang menghasilkan. Bahkan saat Gubernur Jenderal Gustaaf Baron van Imhoff menjabat, telah diberlakukan sistem perdagangan bebas candu. 

Pinggir  jalan raya Kota Batavia Centrum (Weltervreden) jadi saksi bisu kejayaan narkotika pada era tersebut. Lokasi yang sekarang berada di jalan kecil kawasan Cikini Kramat dulunya merupakan pabrik pembuatan candu. Agar penyebarannya dilakukan dengan cepat, Pemerintah Hindia Belanda membangun stasiun khusus, mengakomodasi lalu lintas barang haram ini. 

Namun selama hidupnya mengkonsumsi sabu-sabu, Begu mengaku tak pernah melihat pabrik pembuatannya. Bahkan ia tak pernah tahu bagaimana cara membuat barang haram ini di masa modern. 

Sumber: Tribun news. com
Sumber: Tribun news. com

Matanya berubah pilu, kepalanya didongakan ke atas. Ia mengingat lagi bagaimana kengerian yang harus dirasakan untuk selamat saat membawa barang terlarang ini. Sambil memintal rambut sepundaknya dengan jari telunjuk, Begu merasa kapok atas perbuatannya.

"Lah sekilo, jarang orang selamat. Besok-besok kalau disuruh jemput, saya gak mau lagi. Tadinya mau 3 gulungan gitu, satu saja sudah gemeter gimana 3," terangnya. 

Lamat-lamat pilu nampak keluar dari wajahnya. Begu masih tak habis pikir atas perbuatan dan risiko besar yang diambil apalagi dengan upah tak sepadan. Lewat kondisi keuangan yang tidak baik karena tak bekerja dan kegemarannya bermain judi online yang jamak dimainkan kaum bawah Jakarta saat perekonomian memburuk akibat pandemi, semua itu diterjangnya. 

Selama beberapa saat ia terdiam. Mungkin batinnya bergejolak dan tahu bila perbuatannya salah. Nuraninya berontak tapi hasrat tak dapat dibendung sebegitu mudahnya. Begu masih kalah dengan nafsunya sendiri, sebuah hal lumrah yang sulit ditaklukan oleh manusia biasa. 

Sebetulnya setelah kejadian tertangkap oleh pigak berwenang, Begu bisa berpikir jernih dan keluar dari lubang kelam ini. Namun ketenangan itu hanya sesaat. Ia kembali terjerumus dalam dunia hitam berkat hasutan dari rekan sepermainannya di lingkungan rumah.

Namun fase tersebut dilaluinya lebih baik dari sebelumnya, sebab menurutnya ketergantungan akan obat terlarang jenis sabu-sabu yang diidapnya tidak separah sebelum masuk sel. Salah satu kuncinya adalah hatinya yang lebih tenang akibat dekat dengan Tuhan, melalui ibadah dan pengajian yang saban bulan pasti dihadirinya. 

Begu yang dalam bahasa Batak adalah setan, seperti orang kesetanan jika tidak terkena efek sabu-sabu sebelum mendekam di penjara. Ia selalu mencari barang ini kemanapun sehingga  dirinya banyak mengenal orang yang bekerja di lingkaran setan. Berbagai macam jenis obat terlarang pernah dikonsumsinya mulai dari obat-obatan penenang, ganja, dan terkahir sabu-sabu yang membuatnya merasa hidup, walau dalam semu. 

Pekerjaannya sebagai penjaga toko membuatnya harus prima. Ia merasa makin rajin saat menggunakan doping ini, kuat dalam mengangkat barang, awas saat menghitung angka, dan sigap saat dibutuhkan diluar maupun dalam toko. Namun bukan manusia namanya jika hati kecilnya tak meronta, setidaknya untuk sesekali. Ia tahu tindakan ini tidak benar, tapi kadung dikerjakan. 

Pada 15 November kemarin adalah pertemuan pertama kami setelah berbincang di warkop. Pertemuan ini dilakukan di rumah seorang kawan sekaligus menjadi kabar dimulainya era baru dalam hidupnya. Sambil menatap kosong ke arah langit sore Jakarta yang jingga berkilauan ia berucap "tanggal 27 kemarin saya tertangkap. Saya gak mau mengulai kesalahan itu. Saya mau tobat dan menjauh dari barang haram ini," tungkasnya. 

Alat hisap sabu telah dihancurkannya setelah pulang dari penjara. Ajakan rekannya untuk mengkonsumsi atau dimintai tolong mencari sabu-sabu tidak digubrisnya. Dia tak ingin membuat keluarga dan neneknya tercinta sakit akibat ulahnya yang berulang, sekaligus menjadi sosok pria baik bagi kekasihnya yang sudah dikencaninya selama 5 tahun belakang. 

Mungkin inilah cara Tuhan menyentuh hati Begu, menyelamatkannya dari jurang kesengsaraan di masa depan. Begu yang saya temui sekarang, berbeda dari sebelumnya. Pupil matanya tak terlihat besar, mukanya tak lagi pucat padam, dan tingkahnya lebih tenang, mungkin karena efek sabu tidak menjnagkiti tubuhnya saat itu. 

Semoga kali ini Begu mampu menahan godaan  sampai kelak ia menemui Tuhan dan menjadi seorang yang lebih baik, serta bisa saya panggil Jhon, sebuah nama yang diciptakan manusia untuk memanggil seseorang, bukan lagi Begu karena sifat dan kekalahannya melawan godaan. Jhon bukan nama yang asal saya sebut karena penamaan ini diberikan sang bos pada teman begu yang menemaninya melakukan penjemputan sabu-sabu. 

Sebab berawal dari ajakan Begu, rekannya harus keluar dari tempat ia bekerja karena ketahuan membawa sabu-sabu yang telsh dipisahkan ke pelanggan yang dikenal sebagai sosok pengedar dan namanya telah mashur di kalangan pemakai, khususnya di daerah begu tinggal. Mungkin jika lulus ujian kali ini dan melalui panggilan tersebut, Begu akan tersadar ketika hendak melakukan hal serupa, banyak pihak yang dikorbankan termasuk keluarga serta teman dekatnya sendiri. 

D.A
Jatipadang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun