Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Seorang Penyintas yang Kesulitan Menerima Bantuan Saat Bencana di Palu

3 Januari 2019   12:41 Diperbarui: 5 Januari 2019   17:35 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin bertiup lembut berbarengan dengan rintik air dari langit. Udara di bulan Oktober kala itu cukup dingin, beda dari cuaca Ibukota Jakarta pada umumnya. Waktu itu, suara bising terdengar dari sebuah rumah dengan luas bangunan sekitar 70 meter.

Setelah masuk ke dalamnya, terlihat 12 layar tv berjejer yang tersambung dengan konsol permainan di bawahnya. Laki-laki, tua muda menghuni ruangan berbentuk persegi panjang tersebut, mayoritas memainkan gim sepak bola, olahraga paling digandrungi di Tanah Air.

Saat dinginnya Jakarta menyelimuti, Kota Madrid juga merasakan tensi serupa. Bukan karena cuaca, tapi iklim sepak bola di sana yang membuat nuansa itu terbentuk. Prestasi salah satu klub ibu kota Spanyol ini sedang kembang kempis di tahun 2018, semenjak ditinggal pelatih terhebatnya, Zinedine Zidane.

Penunjukan pelatih yang sebelumnya sukses membuat Tim Matador tak tersentuh kekalahan, Julen Lopetegui tak bisa menggantikan peran legenda Prancis tersebut di ruang ganti Madrid. Los Belancos lekat dengan kekalahan dan permainan membosankan saat itu.

Puncaknya terjadi pada Minggu (28/10/2018), jabatannya dipertaruhkan kala Real Madrid harus berseteru dengan rival abadinya, Barcelona. Namun seperti yang sama-sama diketahui, hasil akhir menunjukan angka 5-1 buat tim asal Catalan tersebut, dinginnya sepak bola di sana makin kentara, duka menyelimuti seluruh kota bahkan dunia.

Duka ini makin parah bagi para fan Real Madrid di Palu, pasalnya sebulan sebelum pertarungan klasik keduanya berlangsung, dunia digemparkan dengan peristiwa bencana gempa berkekuatan 7,4 skala richter. Sepak bola yang telah mendarah daging di seluruh penjuru Indonesia dianggap jadi satu penawar, suka bagi para pendukung Barcelona di sana dan nestapa bagi pegila Madrid.

Sepak bola bukan sekadar pertandingan, adu banyak bola bersarang di gawang lawan, atau seberapa kuat komposisi dalam tim. Nyatanya sepak bola ialah potret kecil filosofi kemanusiaan yang menuntut kerja sama sebagai cerminan seorang makhluk sosial. Kegiatan itulah yang menentukan hasil dalam 90 menit waktu normal.

Rintik air makin deras menghujam tanah Jakarta, persis bersamaan dengan kekalahan klub kerajaan, Madrid. Suara benturan air yang bertabrakan dengan asbes rental PS makin kencang terdengar dari dalam ruangan, tapi tak mampu mengurangi suara Jon Champion dan Jim Beglin yang keluar permainan Pro Evolution Soccer (PES). "Hey oper itu!" Suara itu terdengar persis datang dari kiri, dari logatnya, dia bukanlah orang asli atau penduduk yang lama tinggal di Ibukota.

Viki namanya. Kulitnya sawo matang, tubuhnya cukup gempal, berperangai sedang. Mukanya tegas menandakan keteguhan hati kuat, dan dia merupakan penyintas yang selamat dari gulungan ombak besar bernama tsunami yang menghancurkan kampung halamannya, Palu.

Dampak Tsunami, Regional Kompas
Dampak Tsunami, Regional Kompas
Dia mengaku masih di Palu selama kurang lebih dua minggu sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Jakarta pasca gempa, mengikuti salah satu kakaknya yang sejak beberapa tahun belakangan telah terlebih dahulu mengais rezeki. Keputusan itu terpaksa diambil atas desakan dari dua adik dan istrinya.

Kondisi Kota setelah dihempas ombak besar yang menurut beberapa ilmuan kecepatannya melebihi pesawat jet itu meratakan banyak rumah. Kota gelap gulita dan hamparan bahan baku rumah dan mayat berserakan. hanya beberapa bangunan dan pohon yang masih setia berpijak.

Pada sela waktu menunggu giliran bertanding PES, kami mulai bertukar cerita, lebih tepatnya mendengarkan keluh kesahnya selama menjadi pengungsi. Waktu itu, katanya, warga takut keluar malam. Ada cerita horor yang melatar belakangi ketakutan ini.

Ditengah berbagai sugesti tentang mayit dan keyakinan terselip dunia hantu. "Abang tahu setan, apa itu namanya ya di sini. Pokoknya hantu kepala tapi tanpa badan. Leak? Ia semacam itulah kalau orang Bali menyebutnya,". Cerita hantu yang beterbangan itu cepat terdengar oleh seluruh warga, menambah ketakutan mereka untuk membangun kembali kepingan mimpi untuk bangkit dari keterpurukan.

"Selain itu bang, di sana karena gelap gulita takut terjadi tindak kejahatan. Takut ada maling, perkosaan, pembunuhan. Pokoknya macam-macam. Karena semua napi itu keluar dari tahanan. Kalau kita yang laki-laki ini mungkin masih bisa melawan, tapi kalau perempuan dan anak-anak macam mana," katanya.

Walau dirundung duka, Viki masih menyimpan tawa. Mungkin begitulah potret kita, bangsa yang selalu berbahagia walau di tengah nestapa. Duka jadi objek lawak dan bahan tertawaan bagi sebagian besar rakyat. Menurut data BPS, indeks kebahagiaan Indonesia mengalami kenaikan dari 68,28 pada 2014 menjadi 70,69 pada 2017 dengan skala 0-100.

Sambil tertawa dia katakan bila sempat kaget bertemu dengan kerabatnya yang seharusnya menjadi pengunjung di hotel prodeo. "Jadi kamu melarikan diri? Dia cerita, 'tidak Viki, gak mungkin lah saya masuk dalam sel sendiri, saya kunci sendiri sel terus kuncinya saya taruh sendiri, buat apa? petugasnya juga gak ada' hahahaha,".

lapas, Regional Kompas
lapas, Regional Kompas
Awalnya, sebagian napi tengah berada di luar sel tahanan karena sedang menjalani ibadah Salat Magrib. Namun gempa tersebut terjadi dan membuat banyak orang panik termasuk petugas lapas. Mereka berhamburan keluar, melarikan diri tanpa memikirkan orang-orang yang seyogyanya harus diayomi.

"Jadi yang dalam sel panik kan. Sebagian yang diluar tanya ke petugas, itu yang dalam sel gimana mau dilepas atau tidak. Petugasnya bilang gak tau saya mau menyelamatkan diri, lari lah dia. Akhirnya tinggal napi sendiri kan akhirnya saling tolong mereka... hahaha."


"Sepupu saya ini karena masa tahanannya gak lama lagi dia pikir kan kalau dia kabur masa tahanannya bertambah. Kejadiannya kan sekitar jam 6 waktu sana, sampai jam 10 malam gak ada petugas yang kembali balik ke lapas, gak ada. Jadi lapas kosong tinggal sebagian napi lah yang masa tahanannya dua bulan, seminggu, dua minggu, kan sayang juga karena bisa bebas secara resmi. Nunggu nunggu akhirnya pulang lah."

Perjalanan ditengah pekatnya malam sedikit mengaburkan pandangannya, sebuah penglihatan yang pasti tak semua orang ingin menangkapnya. Namun pengelanaan menuju rumah dari lapas di dekat titik likuifaksi terparah yakni Petobo sedikit banyak menangkap pemandangan rumah yang masuk ke tanah atau menyisakan genting atapnya saja.

Cerita duka tak habis di situ. Media masa digemparkan dengan aksi penjarahan yang terjadi di sana. Banyak video merekam aksi para penjarah yang membawa barang-barang berharga termasuk sembako untuk menyambung hidup di tengah kondisi serba sulit. Namun saat mengonfirmasi kejadian tersebut hari Selasa (2/10/2018) kepada Ketua PDSKJI Pusat, dr Eka Viora, Sp.K di ruang press room Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta, hal ini wajar terjadi.

Baca: Memahami Kondisi Psikologis Korban Gempa

Terlepas dari dalang di balik penjarahan, tapi satu yang pasti, keterpaksaan mendalangi tindakan tersebut. Prosedur yang tak jelas membuat para pengungsi kesulitan mengakses bantuan dari negara. Kawan ini bercerita bila beberapa bantuan harus disertai dengan surat dari Rukun Tetangga (RT) atau menyertakan KTP, di tengah situasi sulit.

"Di pengungsian umum itu, kalau makan ya Allah menderita! Karena berasa sekali bencananya. Karena di sana saya orang asli situ sedangkan di dalam tenda ada 40 lebih, lupa berapa persisnya. Ditunjuk saya jadi kepala tenda. Tiap tenda di data kan berapa orang di tenda, tapi pas kasih makan mereka gak tanya berapa orang yang di tenda jadi mereka langsung kasih 3 liter dan 4 dus mie instan."

"Bantuan banyak masuk, tapi kalau penyalurannya itu. Kalau bantuan dari organisasi langsung, kalau pemerintah regulasinya dipersulit. Pernah bantuan dari mana itu deh saya lupa, tapi harus bawa KK dan KTP gak masuk akal kan kalau rumahnya masuk (karena likuifaksi) semua gimana? Kalau mau bantuan harus minta surat pengantar dari RT, ada yang bilang 'lah RT-ku sudah meninggal, harus aku minta di tempat dia tenggelam itu?' ini dari pemerintah ada saja yang mempersulit,".

Ketika ditanya mengenai berbagai pihak yang memanfaatkan keadaan dengan mengambil hak-hak pengungsi lainnya. Viki tak menampiknya, tapi dia juga tak tahu pasti akan tindakan ini.

"Sebenarnya saya gak tahu juga, mau nuduh kaya gitu cuman, yang saya tahu yang saya lihat langsung, mungkin pertolongannya betul tapi orang di situ sendiri, pengungsi sama pengungsi yang datang. Ini ibarat kata bantuan datang 8, mereka simpan 5, padahal mereka cuman dua tenda. Kaya gitu ada pihak yang di tengah bencana ada pihak yang serakah. Mereka pikir yang mau hidup cuman mereka, yang lain makan rumput?! Hahahaa."

akibat likuifaksi, Kompas.com
akibat likuifaksi, Kompas.com
Kerja sama dan tenggang rasa penting dalam situasi sulit, setidaknya lewat tindakan tersebut beban tiap korban makin ringan. Beruntung, Viki masih punya keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Selang empat hari setelah bencana, mereka membuat pengungsian sendiri.

Secara urunan, bahan baku memasak dikumpulkan dari stok yang tersedia di rumah. Secara bersamaan bahan baku itu dibuat kudapan lezat, bahkan Viki mengilustrasikan momen ini layaknya sedang terjadi hajatan dalam sebuah keluarga karena makanan melimpah ruah di sana.

AC Milan jadi klub jagoannya. Walau kini Sang Iblis tidak segarang dulu, tapi sejarah masih menaungi klub asal Milan ini. Bahkan saking tenarnya, banyak fan setia di tiap pelosok dunia termasuk Indonesia. Mereka menamai kelompoknya sebagai Milanisti.

Beruntunglah Viki, lewat sepak bola ia mendulang berkah. Kiriman bantuan dari Milanisti seluruh penjuru kota di Indonesia termasuk Jakarta menghampirinya beserta rekan lainnya di Palu. Milanisti yang jadi keluarga keduanya tetap berada disampingnya baik suka maupun duka, selaras dengan filosofi permainan Milan di bawah asuhan legendanya Gennaro Gattuso yang lebih mementingkan taktik, kerja sama, dan kegigihan dalam mengambil poin positif di tiap laga.

Kebutuhan masyarakat terdampak bencana tak hanya soal pangan, tapi juga membutuhkan bahan bakar untuk kendaraan dan generator listrik yang tentu saja penting guna mengisi baterai gawai sebagai sarana berkomunikasi. Cairan ini juga berharga, sama halnya dengan makanan. Mendapatkannya cukup sulit.

"Orang hampir bunuh-bunuhan di pom bensin. Saya saja mau berantem sama bapak-bapak. Kan waktu itu kan bawa jerigen ngantri pertalite. Istilahnya 15 menit maju satu. sekitar 3 jam antre, bawa 2 jerigen waktu itu tapi habis. Satupun gak keisi, gak dapat."

"Akhirnya ngantri premium, baru setengah jam antre sudah habis lagi. Udahlah sebagian orang mau pulang, saya lihat pom bensin. Lihat orang nyoba pompa ternyata masih keluar kan pertalitenya, tapi gak dibayar sama dia, karena dipompa sendiri kan hahaha. Abis dipompa sama dia, saya tarik kan di besinya itu, pencet dulu nanti saya masukin lagi kata saya.

Lalu tiba-tiba ada bapak-bapak yang langsung tarik saja kan. Sama-sama butuh kan. Kalo saya takut kan saya susah sendiri kan, udah saya mau pukul saja, dia sikut muka, saya sikut dada. Tinggal orang tahan kan katanya, 'jangan-jangan itu bapak-bapak'. Biar bapak-bapak saya juga butuh kan. Motor semua abis bensinnya, jenset butuh bensin,".

Dampak Tsunami, Regional Kompas
Dampak Tsunami, Regional Kompas
Dari balik pintu rental PS terlihat genangan air mulai meninggi lantaran hujan yang makin lebat. Dua mie instan dan segelas kopi hangat menemani. Obrolan itu makin cair, secair gulungan ombak yang menyapu Palu dan menenggelamkan rumah. Air juga turut cair, kokohnya terkalahkan. Tanah berubah lumpur, apapun yang diatasnya tenggelam begitu saja, termasuk rumah dan penghuninya.

"Kasihan temen saya itu yang terdampak likuifaksi itu. dia bikin stastus di Facebook-nya kan. Dia foto lokasi rumah, dia bilang 'orang-orang sudah pulang ke rumah terus saya mau pulang ke mana' dia foto rumahnya itu kan, tanah. Betul-betul tanah itu, rata. Rumahnya masuk ke dalam tanah, tanah yang di foto, tanah, tanah! 'Terus saya mau pulang ke mana?' Akhirnya mereka sampai sekarang dia masih di tenda pengungian terus kan, tapi memang yang korban itu yang rumahnya masuk ke tanah rumahnya betul-betul habis. 

Istilahnya kalau kita baju di badan. Modal baju yang penting nyawa selamat. Dari 0 gak ada apa-apa lagi, tingal nyawa. Makanya mereka ambil bantuan banyak baju,"

"Disana tuh sekarang yang rusak itu kena likufaksi katanya tanahnya pengen diganti. Setau saya update terakhir, diratain semua gak dijadiin bangunan lagi ada yang dipindahin tapi gak tau di mana tapi kalau lokasi di Palu banyak sih tinggal pemerintahannya aja mau di mana."

Memang, saat memiliki kesempatan meliput di acara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), di Gedung Kementerian ATR/BPN, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (18/10/2018), Menteri ATR/BPN, Sofyan A. Djalil mengakui bila pemerintah memiliki niatan merelokasi penduduk ke tempat yang lebih aman.

"Tanah itu tidak bisa digunakan lagi dengan perumahan, nanti orang-orang akan dipindahkan. Itu tugas pemerintah melakukan relokasi dan membangun tempat yang lebih aman, jauh dari patahan. Tanah yang tadi sudah tenggelam, mungkin  bisa jadi tanah pertanian, nanti kita lihat,"

"Secara teori dan hukum, hak itu hilang kalau tanahnya musnah tapi kan ini tidak musnah tapi sudah berubah sama sekali. Nanti kita lakukan penataan ulang kalau bisa kita kembalikan, mana tanah siapa tapi tidak bisa dibuat untuk hunian," lanjutnya.

Nantinya akan dibuat rencana ke depan mengenai zonasi rawan bencana untuk mengatur daerah mana saja yang dapat digunakan untuk hunian di Kota Palu dan Donggala. Namun akan ditetapkan zonasi yang disepakati antara pemerintah pusat dan daerah agar perencanaannya dapat dieksekusi secara matang.

"Ada empat stakeholder yang nanti akan menyelesaikan masalah ini, ATR/BPN masalah tanah, ESDM, Badan Geologi mastikan zonasi rawan bencana, dan Kementrian PUPR badan pengembangan infrastruktur wilayah dan dikordinir Bapenas untuk pembangunan Palu ke depan lebih ramah."

"Kita akan tegas kalau tidak tegas mungkin masyarakat akan lupa di 10 tahun ke depan RDTR (Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang) kita masih banyak yang harus diselesaikan sekitar 2000 kawasan di Indonesia, sekarang baru sekitar 45 yang memiliki Perda."

pengungsi, UNHCR
pengungsi, UNHCR
Meninggalkan kampung halaman menuju wilayah asing yang, mungkin, jauh lebih tidak beradab dibanding sebuah pedesaan yang mengandalkan toleransi serta tenggang rasa, rasanya sulit. Individualisme telah mengakar di tiap kota yang mengutuk dirinya dengan sebutan metropolitan dan mengagungkan hidup dengan bermacam kemewahan.

Namun apa daya, keadaan memaksanya. Ketiadaan tempat yang layak ditambah berkah dari Tuhan karena memberkatinya anak berusia balita saat bencana berlangsung membuatnya pasrah. Menguatkan langkah kaki menuju tanah harapan harus di siapkan, bermodal nekat dan menumpang hidup dari sang kakak.

Trauma yang dibawa sejak kejadian di Palu masih membayangi. Suara gemuruh membuat hatinya was-was. Alam bawah sadarnya memberi sugesti untuk lari, gemuruh layaknya pistol yang ditembakan oleh juri balap lari untuk memulai start. Lari. siapa yang berani melawan gulungan ombak setinggi 11,3 meter itu.

"Kalau mikirnya pertimbangannya, ya adik perempuan mau, lalu istri mau, anak kalau dia bisa ngomong juga pasti mau. Daripada di pengungsian kan di sini tidur di kamar gak perlu takut bencana. Saking traumanya, bukan saya saja mungkin juga orang Palu pada umumnya dengar orang tutup kulkas atau tutup mobil, pagar, udah ancang-ancang mau lari pokonya yang suaranya seperti gemuruh itu lah yang kenceng. Saya juga gitu pertama kali saya datang itu, 2 sampai 3 hari saya datang ke Jakarta setiap ada yang tutup mobil pasti angkat pantat siap-siap lari."

Dengan matanya yang tak terlalu bulat tapi cukup dalam dari kelopak mata membuat siapa saja yang melihatnya menggangap bila Viki merupakan orang yang tegas. Namun keteguhan itu tetap saja luntur ketika berbicara tentang keadaan sang anak dan detik-detik menegangkan ketika merasakan bencana sedahsyat itu.

www.undispatch.com
www.undispatch.com
Air dengan cepat menggenangi bola matanya, sesekali dia coba tegar dan mendongakan kepalanya ke udara agar air suci itu tak menetes membanjiri pipi yang memiliki bekas jerawat di beberapa titik. Beruntunglah, ajakan dari kawan di sebelah kanan untuk bertanding dapat menyudahi percakapan tersebut.

Akhirnya kami bertanding sepak bola di konsol permainan. Dia memakai Juventus, klub yang tentu saja dia benci tapi Viki pasti lebih tak tega bila klub impiannya, Milan, dengan materi pemain ala kadarnya dijadikan makanan empuk klub raksasa, Paris Saint German kala itu. Skor berkesudahan 2-1 untuk kemenangan Juve, pemenang harus ditentukan melalui babak perpanjangan waktu.

Kemenangan ini sengaja diberikan agar luka Viki sedikit terobati, dalam bertandingpun kami saling bercanda apalagi taktik yang kala itu dipakai adalah parkir bus, sehingga pemain hebat macam Cristiano Ronaldo, Paulo Dybala, dan Blaise Matuidi bebas melayangkan tembakan roketnya dari luar kotak pinalti gawang yang dijaga oleh Gialuigi Buffon.

Elakan seperti itu wajar saja bila dilukiskan oleh penulis, bukan? Toh banyak juga politisi yang berkilah. Apalagi bila menemukan fakta seperti ini, sebuah keadaan nyata yang dirasakan langsung oleh pengungsi.

Mengingat potensi bencana di Indonesia cukup besar, masalah-masalah ini harus segera ditanggulangi dan berbagai alat deteksi bencana kembali diaktifkan atau dilengkapi untuk mengurangi korban. Kembali menertibkan warga yang mendirikan rumah di atas tanah rawan bencana harus dilakukan agar kejadian likufaksi nantinya tak kembali terulang.

Semoga 2019 duka tidak lagi membayangi dan isak tangis menjauh dari perjalanan Indonesia mejejaki tangga menggapai impian yang mirip bola, bergulir ke sana kemari. Menunggu untuk dikontrol oleh kaki-kaki mungil rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun