Pada sela waktu menunggu giliran bertanding PES, kami mulai bertukar cerita, lebih tepatnya mendengarkan keluh kesahnya selama menjadi pengungsi. Waktu itu, katanya, warga takut keluar malam. Ada cerita horor yang melatar belakangi ketakutan ini.
Ditengah berbagai sugesti tentang mayit dan keyakinan terselip dunia hantu. "Abang tahu setan, apa itu namanya ya di sini. Pokoknya hantu kepala tapi tanpa badan. Leak? Ia semacam itulah kalau orang Bali menyebutnya,". Cerita hantu yang beterbangan itu cepat terdengar oleh seluruh warga, menambah ketakutan mereka untuk membangun kembali kepingan mimpi untuk bangkit dari keterpurukan.
"Selain itu bang, di sana karena gelap gulita takut terjadi tindak kejahatan. Takut ada maling, perkosaan, pembunuhan. Pokoknya macam-macam. Karena semua napi itu keluar dari tahanan. Kalau kita yang laki-laki ini mungkin masih bisa melawan, tapi kalau perempuan dan anak-anak macam mana," katanya.
Walau dirundung duka, Viki masih menyimpan tawa. Mungkin begitulah potret kita, bangsa yang selalu berbahagia walau di tengah nestapa. Duka jadi objek lawak dan bahan tertawaan bagi sebagian besar rakyat. Menurut data BPS, indeks kebahagiaan Indonesia mengalami kenaikan dari 68,28 pada 2014 menjadi 70,69 pada 2017 dengan skala 0-100.
Sambil tertawa dia katakan bila sempat kaget bertemu dengan kerabatnya yang seharusnya menjadi pengunjung di hotel prodeo. "Jadi kamu melarikan diri? Dia cerita, 'tidak Viki, gak mungkin lah saya masuk dalam sel sendiri, saya kunci sendiri sel terus kuncinya saya taruh sendiri, buat apa? petugasnya juga gak ada' hahahaha,".
"Jadi yang dalam sel panik kan. Sebagian yang diluar tanya ke petugas, itu yang dalam sel gimana mau dilepas atau tidak. Petugasnya bilang gak tau saya mau menyelamatkan diri, lari lah dia. Akhirnya tinggal napi sendiri kan akhirnya saling tolong mereka... hahaha."
"Sepupu saya ini karena masa tahanannya gak lama lagi dia pikir kan kalau dia kabur masa tahanannya bertambah. Kejadiannya kan sekitar jam 6 waktu sana, sampai jam 10 malam gak ada petugas yang kembali balik ke lapas, gak ada. Jadi lapas kosong tinggal sebagian napi lah yang masa tahanannya dua bulan, seminggu, dua minggu, kan sayang juga karena bisa bebas secara resmi. Nunggu nunggu akhirnya pulang lah."
Perjalanan ditengah pekatnya malam sedikit mengaburkan pandangannya, sebuah penglihatan yang pasti tak semua orang ingin menangkapnya. Namun pengelanaan menuju rumah dari lapas di dekat titik likuifaksi terparah yakni Petobo sedikit banyak menangkap pemandangan rumah yang masuk ke tanah atau menyisakan genting atapnya saja.
Cerita duka tak habis di situ. Media masa digemparkan dengan aksi penjarahan yang terjadi di sana. Banyak video merekam aksi para penjarah yang membawa barang-barang berharga termasuk sembako untuk menyambung hidup di tengah kondisi serba sulit. Namun saat mengonfirmasi kejadian tersebut hari Selasa (2/10/2018) kepada Ketua PDSKJI Pusat, dr Eka Viora, Sp.K di ruang press room Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta, hal ini wajar terjadi.
Baca:Â Memahami Kondisi Psikologis Korban Gempa
Terlepas dari dalang di balik penjarahan, tapi satu yang pasti, keterpaksaan mendalangi tindakan tersebut. Prosedur yang tak jelas membuat para pengungsi kesulitan mengakses bantuan dari negara. Kawan ini bercerita bila beberapa bantuan harus disertai dengan surat dari Rukun Tetangga (RT) atau menyertakan KTP, di tengah situasi sulit.
"Di pengungsian umum itu, kalau makan ya Allah menderita! Karena berasa sekali bencananya. Karena di sana saya orang asli situ sedangkan di dalam tenda ada 40 lebih, lupa berapa persisnya. Ditunjuk saya jadi kepala tenda. Tiap tenda di data kan berapa orang di tenda, tapi pas kasih makan mereka gak tanya berapa orang yang di tenda jadi mereka langsung kasih 3 liter dan 4 dus mie instan."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!