Menghalang-halangi diskusi soal G30S merupakan salah satu bukti bagaimana pemerintah menghalalkan penyesatan berfikir kepada masyarakat. Karena kebenaran seputar peristiwa itu hanya dimonopoli oleh negara, seperti saat Soeharto berkuasa. Masihkah negara ini dikatakan demokrasi?
Monopoli kebenaran yang dipegang oleh pemerintah memiliki dampak buruk, terutama untuk masa depan masyarakat. Mereka tak dapat berfikir terbuka saat menemukan fakta baru soal sebuah peritiwa. Dan akhirnya masyarakat akan bertindak represif, tidak dapat menerima kritik seperti kasus "hantu PKI" sekarang.
Selain itu, peradaban sebuah negara akan hilang. Ilmu yang harusnya didapat masyarakat generasi terbaru tak ubahnya seperti orang tuanya. Contohnya mudah, jual beli buku di Indonesia semakin mudah. Pelarangan buku tidak terjadi seperti Zaman Orde Baru. Buku-buku yang dulunya dilarang berjudul "Penghancuran PKI dan Dalih Pembunuhan Masal" kini bisa didapat untuk mengetahui bagaimana peristiwa G30S itu terjadi. Namun tidak semua masyarakat mempercayainya, bahkan yang paling parah adalah tidak membacanya.
Padahal dua buku tersebut dapat menjawab perdebatan-perdebatan menyoal PKI dan peristiwa G30S. Anak-anak sekarang sering terdoktrin oleh kata-kata orang tuanya yang "jijik" dengan komunis, anaknya pun mengikuti. Dua bukti peradaban kelam Indonesia tak ubahnya"sampah" di negaranya sendiri. Karena itulah saya ingin mengakhiri artikel ini dengan kata-kata Joseph Brodsky:
"Ada kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku, salah satunya adalah tidak membaca buku"-Joseph Brodsky-
D.A
Palmerah, 18 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H