Aneh, itulah pemikiran saya menyoal pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang mengizinkan stasiun televisi memutar film berjudul "Penumpasan Penghianatan PKI". Jujur saja, film itu tidak berfaedah. Lebih baik saya menonton film "biru" buatan Jepang atau Amerika ketimbang menghabiskan sekitar dua jam waktu yang tak bisa dikembalikan itu untuk menonton film yang berisi kekejaman.
Seandainya film ini benar diputar, saya yakin banyak stasiun televisi akan terkena somasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, merujuk pada kebiasaan stasiun tv menyensor adegan berbahaya dan erotis dengan memotong sin yang mengandung kedua unsur tersebut, film itu hanya akan menampilkan tentara yang berlari, keluarga yang menangis, serta mobil-mobil seliweran di jalanan ibukota.
Kalau saja film ini tetap diputar utuh dengan mengaburkan adegan berbahaya dan sensual, film yang menurut Tjahjo Kumolo berisikan sejarah Indonesia ini jadi tak memiliki esensi, lebih tidak berfaedah, dan "kesakralannya" pudar. Untuk yang disebut terakhir tadi, saya sungguh meyakininya. Kehebatan Soeharto sebagai sutradara memang ciamik.
Kesakralan film ini terletak pada kehebatan propaganda yang amat kentara dalam film tersebut. Penyebar luasannya juga tepat, menyasar anak-anak yang masih sekolah pada saat Soeharto masih menjadi Presiden RI. Sehingga anak-anak yang tiap tahun menontonnya pasti hafal dan ingatan soal kekejamam PKI.
Doktrin tersebut terbukti ampuh hingga hari ini, ketika anak-anak itu tumbuh dewasa. Kebanyakan dari mereka menganggap PKI itu anti islam dan memecah belah bangsa, untuk itu semua yang berbau komunis ditumpas dan dilarang. Sampai-sampai isu ini menyasar pada Presiden Jokowi, ia dituduh sebagai keturunan PKI, padahal isu ini belum terbukti.
Namun jika melihat seabrek penelitian dan buku yang membahas soal isu G30S, nampak peran Soeharto dalam aksi tersebut untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, unsur keterlibatan Amerika untuk menumpas komunis mengingat saat itu sedang terjadi perang dingin dengan Uni Soviet, serta keceburuan TNI dengan si "anak emas" PKI. Jadi masihkah masyarakat terus menuding PKI sebagai dalang dalam aksi berdarah tersbut? Saya hanya bisa berdoa, semakin tahun masyarakat makin melek literasi.
Beda dengan tindakan Tjahjo yang mengizinkan pemutaran film "Penumpasan Penghianatan PKI" di televisi, nyatanya diskusi seputar peristiwa 1965 pada 16 September 2017 yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta dihalang-halangi oleh aparat. Saat itu aparat keamanan melarang peserta diskusi untuk hadir, bahkan banner acara diturunkan.
Keesokan harinya tepatnya pada 17 September 2017, terjadi konsentrasi masa yang mengerumuni kantor LBH Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat. Masa berniat merangsek masuk ke kantor LBH. Aksi saling dorong tak terhindarkan, batu dan pecahan kaca beterbangan ke arah lembaga yang selalu membantu masyarakat yang merasa dirugikan oleh kekuasaan.
Melihat ketidak adilan yang terjadi ini ---penayangan film propaganda dan diskusi mencari pembenaran--- rasanya sulit mewujudkan iklim demokrasi di negara yang katanya menganut sistem asal Negeri Paman Sam tersebut. Demokrasi pada dasarnya memberikan kebebasan untuk menentukan masa depan individu beserta negaranya. Dan masa depan yang lebih baik sulit diraih jika tidak ada diskusi serta kritik yang membangun, untuk itu kebebasan berpendapat dan berekspresi amat di junjung tinggi di negara-negara penganut sistem ini.
Diskusi seputar peristiwa G30S tersebut berguna untuk pelurusan sejarah yang telah salah kaprah di mata masyarakat. Selain itu, diskusi ini mungkin dapat menghindarkan Jokowi dari isu keterlibatanya sebagai salah satu keturunan komunis. Diskusi sejarah semacam ini harusnya diapresiasi oleh negara, bukan dihalang-halangi. Jika diskusi semacam ini diperbanyak, tugas seorang sejarawan atau guru sejarah tak terlalu berat.
Dosa-dosa pemerintah di masa lalu bisa diceritakan secara gamblang, tak ada lagi kesesatan berfikir soal seorang Pahlawan bernama Tan Malaka yang komunis merupakan ateis sejati. Mungkin nantinya, namanya boleh masuk ke dalam buku sejarah anak-anak di bangku sekolah dasar. Termasuk cerita seputar peristiwa G30S. Sehingga tiap tahun masyarakat tidak melulu bicara soal peristiwa ini, terutama menyoal PKI, dalang dari pembunuhan tujuh jendral tersebut.